Flamboyan puluhan abad ini masih gagah berdiri. Batangnya telah lahirkan ratusan dahan yang membengkar hingga payungi sebagian atap jalan sunyi. Mekaran puspa yang kurindu sudah ranggas, sebab angin bulan Juni menggoyangnya jadi taburan ruby di udara. Hanya sisahkan kaki ranting kurus yang bergerak lihai tertiup nafas kehidupan. Lambaiannya terjulur hampiri telingkaku,lalu berbisik manis,"Sudah lama tak jumpa,Kawan." Suaranya buatku bergeming, rasanya asing disapa oleh teman lama. Mataku masih sibuk perhatikan ujung jalan, menanti seorang yang berhasil buatku penasaran. Sepuluh tahun tak merubah apa-apa, jalanan ini masih sama, hingga beberapa menit lalu kuhentikan mobil hitamku tuk uapkan penat. "Waktu berlalu tak buatmu berubah ya?" lanjutnya serak penuh heran. "Kalau masih sakit hati,lebih baik..." seketika flamboyan jadi diam setelah kutatap nyalang. Banyak bicara sih. Tak kugubris saat pohon tua itu gugurkan banyak daun kuningnya di atas kepalaku, biarkan saja. Wanita di depan sana lebih curi atensiku. Cara jalannya yang pincang dan semua yang ada pada dirinya buatku tak habis pikir.
Lihatlah, ladang berlian di tanganya dulu , kini kering tandus. Hanya sisahkan keriput bercampur tanah yang masih selimuti tulang dari badan setengah abad itu. Kain sutra tak lagi nampak, eksistensi piyama kembang kumuh dan serbet sebagai tudung kepala sudah jadi identitas barunya. Punggungnya terbungkuk karena bawa beban berat setiap saat. Ada baju, selimut dan baju lagi. Penghuni jalanan ini sepertinya hafal di mana tempat paling nyaman untuk istirahatkan badan dalam semalam, lalu tinggal mencari lagi di hari berikutnya. Kabar burung memang sering tandangi telinga, tapi logikaku gigih menolak,"Ah, sepertinya tak mungkin." Kupikir harga dirinya tak akan dilucuti oleh sang Penguasa kelewat begini, karena dulu pernah dicicipi masa kejayaan. Hingga tak jarang buatnya lupa diri, banyak tanamkan belati di raga para pejuang yang meminta belas kasih. Tapi, setelah melihat rupanya kini, aku jadi mengerti. Mungkin cara Tuhan memanglah begini, tahu kapan jadwal hambanya akan diuji. Ah, atau barangkali ini bukan ujian , tapi balasan untuk tingkah laku yang tak cerminkan nilai ajaran dari kitab pedoman semesta . Aku masih bisu saat tubuh ringkih itu sudah lewati mobilku , lebih dekat lagi menuju diriku. Ekspresinya tampak biasa,tapi sialnya tubuhku yang jadi tegang. Dia makin dekat, menadahkan tangan di depanku, lalu bicara,"Nak,tolong.Saya belum makan seharian." Getaran suaranya yang lemah buatku terperanjat. Apa benar, orang ini yang pernah buat hidupku tak seperti hidup? Sungguh, dia lupa siapa aku ? Tak lelah mataku menyusuri perawakan kecil ini dari bawah ke atas. Kaki kecil yang pernah tendangi badanku kini tak pakai alas, buat tumitnya pecah dan mengelupas. Wajahnya jadi kusam dan tirus penuh kerut di setiap sudut. Aura yang menyala dulu, sudah mengeruh. Tatapan kosong nan sayu itu nampak kelabu, ada dendam, amarah, dan juga pasrah menerima luka yang disuguhkan semesta. Harusnya dia jadi orang yang lebih taat, kan? Tapi kenapa malah terlihat seperti tak punya iman. Miris sekali. Hatiku diambang rasa puas dan iba saat tatap dia. Jadi serba salah.
Sungguh benar ocehan banyak orang, kalau jiwanya kini terguncang. Katanya, tubuh kurus itu sering mengejang, nafasnya jadi tak beraturan ketika lihat orang lain pamerkan senyum bahagia di depan mukanya. Tangisan, teriakan dan umpatan dilantunkan mulut jahatnya tanda tak terima saat tahu emas dan berlian menempel ditangan para pejalan. Saat hancur pun dia tak berubah, iblisnya makin sayang tempati hati kecilnya. Dulu pun dia begitu hingga berani runtuhkan bahagiaku. Biarkan aku tidur disisi flamboyan, sendirian. Tak ijinkan aku makan seharian, lebih pilih buang kentang goreng yang aku inginkan, hingga jadi kelaparan. Aku tak bisa mengeluh, sungguh. Tak ada umpatan juga yang keluar dariku untuk sumpahi nasibnya jadi begini. Kuucap terima kasih atas doa dari banyak hati yang telah disakitinya, serta pada kentang goreng yang menjelma lagi , mengadu pada Tuhan karena pernah jadi saksi kesedihanku. Berkat mereka, aku bisa sunggingkan senyum untuk menyapanya dengan hangat. "Aku kembali," ibu tiriku jadi tegang tatap rupaku. Tubuhnya bergetar hebat hingga keluarkan air dari mata. Mungkin saja ingatannya tentangku sudah kembali. Hembusan angin makin kencang selimuti kami, buat tubuhnya menggigil hingga tersungkur memeluk kakiku."Yang pernah tumbuh itu akan layu, lalu mati," ucapku penuh getir mengingat dia sudah jatuh sedalam ini. Dengan melutut, kuusap surainya lembut. " Masih banyak jalan untuk kembali,Bu. Rayulah Beliau lagi, sebelum kau benar-benar pergi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pentigraf Februari LFFL #3
Fiksi PenggemarEVENT PENTIGRAF KAMPANYE LFFL #3 Yuk, baca hasil karya anggota kepenulisan LFFL angkatan ketiga! ©2021