18. Kita Satu, Bukan?

66 14 1
                                    

"Hyung, cepat sedikit jalannya, menyeramkan sekali di sini." Suara Hoseok dan Taehyung yang mengomel terdengar di belakangku. Sore tadi kami pergi untuk membeli bakso yang cukup jauh dari rumah yang ternyata ramai pembeli, membuat kami harus menunggu sekitar dua jam untuk mendapat pesanan kami. Hoseok yang ketakutan terus memeluk lengan Taehyung, sedang Taehyung terus berkata bahwa Hoseok lebih seperti mencengkeram lengannya. Taehyung menyinari jalan dengan senter dari gawai miliknya, aku yang lebih berani memimpin jalan. Sial sekali, bisa-bisanya lampu jalan mati pada saat seperti ini. Entah dari mana datangnya, asap mulai menemani jalan panjang kami, Taehyung kembali mengomel karena Hoseok yang tambah ketakutan malah memeluk badan Taehyung. Kami sedang melewati pemakaman saat suara-suara aneh terdengar dari semak-semak.

"Hyung, jangan memelukku, kita akan lebih lama tiba di rumah jika terus seperti ini." Taehyung kembali marah-marah, Hoseok yang ketakutan malah berkata bahwa, jika dia tidak memeluk Taehyung dia bakal mati ketakutan, ada-ada saja Hoseok. Di ujung jalan, di bawah lampu jalan yang bersinar satu satunya, kulihat seorang pemuda seperti sedang menunggu seseorang. Pakaiannya cukup rapi mengingat ini sudah cukup malam, kemeja hitam yang lipatannya terbentuk jelas, dengan celana jeans hitam, dan converse putih bersih melindungi kakinya. Hampir saja aku kalah tampan. Ingin aku temani karena sudah malam, tapi takutnya Hoseok malah semakin ketakutan. Saat kami sudah semakin dekat dengannya, rasanya aneh sekali, seperti melihat santiran diri. Akhirnya kuputuskan untuk menemuinya.

"Permisi, tadi aku sedang berjalan bersama temanku, tapi kulihat kaumirip sekali dengan diriku, aku tak pernah mengatakannya, tapi kau sungguh-sungguh tampan, dan aku juga belum pernah bertemu denganmu sebelumnya, boleh kutahu namamu?" Ternyata kalah tampan membuatku berbuat sampai segininya. Pemuda itu hanya tersenyum padaku, sial, dia jadi terlihat lebih tampan. "Seokjin." Senyumku luntur saat dia menyebutkan namanya. Bukankah seokjin adalah namaku? Atau mungkin ini hanya kebetulan bahwa nama dan tingkat ketampanan kami sama? Terserahlah, tapi tunggu, "Apakah mungkin kauternyata adalah aku? Aku adalah kau, dan kita satu?" Hipotesis macam apa ini? Tak masuk akal. Pemuda yang mengaku bernama seokjin itu hanya tersenyum, entah karena terkaan gila dariku atau karena aku yang terkesan bodoh. Taehyung dan Hoseok yang masih terlihat sedikit ketakutan berjalan melewatiku, sambil menggenggam erat bungkusan bakso di tangan. Suara Taehyung yang samar-samar masih terdengar di tempatku berdiri, "Aku jadi merindukan Seokjin Hyung, andai hyung masih di sini bersama kita." Hoseok yang mendengarnya diam sebentar kemudian berkata, "Jangan membahas orang mati, Taehyung, nanti Seokjin hyung tidak tenang." Percakapaan macam apa itu? Jelas-jelas aku masih di sini, masih dapat melihat mereka, sejak kapan aku mati? Pemuda "Seokjin" di hadapanku kembali tersenyum ramah, "Mari pergi bersamaku."

END

Pentigraf Februari LFFL #3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang