Seorang ibu berpenampilan lusuh terlihat berlarian di sepanjang jalan sembari meneriaki nama anak perempuannya ; Lisa. Anaknya menghilang beberapa minggu yang lalu tanpa jejak. Setiap hari, setiap menit, setiap detik ia terus meneriaki nama anaknya pada setiap orang yang ada di sana. Menangis, meraung bahkan berjalan tanpa arah terus ia lakukan, setiap pagi ia akan keluar dari rumah dengan tampilan yang sama ; wajahnya kusam, rambutnya kaku bahkan menggumpal seperti tak di cuci selama setahun. Ia akan berjalan dari rumah ke rumah untuk menanyakan dimana anaknya. Ia terus melakukan itu hingga fajar menyingsing, setiap gelengan kepala dari orang-orang di sekitarnya membuat dirinya benar-benar frustasi dan menggila tak sedikit dari mereka yang malah mendorong serta mencaci makinya karena risih dengan tingkah gilanya yang makin menjadi setiap harinya. Namun, tak sedikit pula yang memberikan uluran tangan untuk membantu sang ibu, membantu melaporkan kasusnya ke polisi hingga memberinya makan.
Hari demi hari berlalu, dari kasus yang di ajukan oleh beberapa warga yang peduli pada sang ibu tak kunjung mendapat kepastian. Sang ibu yang pikirannya telah kacau itu semakin hari juga semakin terlihat seperti Zombie, wajahnya tak lagi terawat. Apalagi rambutnya, sudah menggumpal dan kaku. Bajunya yang tak pernah ia ganti pun kelihatan sangat kotor, berwarna coklat kemerahan. Beberapa minggu kemudian, kedua polisi yang menangani kasus anaknya akhirnya datang menghampirinya yang kini tengah berjalan di pinggir jalan dengan tatapan kosong. Mereka mendesah pelan dan perlahan mengucapkan permintaan maaf sedalam-dalamnya pada sang ibu yang sudah kacau itu, berkata kalau mereka tak lagi bisa melanjutkan kasus anaknya yang hilang. Perkataan itu sontak membuat sang ibu berteriak dan menangis sejadi-jadinya, tak hanya itu ia bahkan sampai berguling-guling sembari menangis seperti orang gila.
Dengan rasa putus asa yang mendera hatinya, ibu itu mulai melangkahkan kakinya menjauhi kedua polisi di sana, berjalan dengan tertatih-tatih dengan beberapa kali terjatuh, walau begitu ia bangkit kembali dengan gigih. Orang-orang di sana hanya bisa melihat dengan menahan tangisnya, melihat betapa putus asanya ibu yang yang kehilangan satu-satunya anak yang ia miliki. Ia masuk kembali kedalam rumahnya dan menutup pintu dengan perlahan, sebuah rumah yang menampilkan kegelapan di segala sisi. Lampunya yang terus mati menyiratkan hatinya yang selalu hancur. Untuk pertama kalinya ia menyalakan lampu rumahnya dan tersenyum. Kedua kakinya melangkah ke meja makan berwarna merah dan duduk di sana. Senyum terukir lagi di wajah berantakannya itu dan ia berkata, "Akhirnya ibu bisa memakanmu dengan tenang, Lisa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pentigraf Februari LFFL #3
FanficEVENT PENTIGRAF KAMPANYE LFFL #3 Yuk, baca hasil karya anggota kepenulisan LFFL angkatan ketiga! ©2021