Ruang makan sudah di isi oleh Gibran, Tasya, Lio dan Aruna. Mereka siap untuk makan malam tanpa menunggu Lia.
Sebenarnya Tasya ragu untuk makan karena mereka terbiasa makan bersama. Tapi jika sudah Gibran yang memerintah, Tasya bisa apa selain menuruti keinginan suaminya.
Lio nampak gelisah di kursinya. Ia terus melirik tangga berharap Lia akan turun namun itu tidak mungkin terjadi karena Lia di kurung dalam kamarnya oleh Gibran.
Ini Gibran yang terlalu kejam, atau Lia yang memang sulit di atur?
"Udah makan, ga usah mikirin Lia."
Lio mengubah arah matanya pada Gibran yang bicara tanpa beban seakan-akan tiadanya Lia di meja makan adalah hal yang lumprah.
"Ga bisa gitu, Pa. Lia juga harus makan, Papa ga bisa kunciin dia di kamar gitu aja." protes Lio masih dalam nada suara aman.
Mata cokelat tajam milik Gibran menembus luruh mata hitam Lio. Pria berpiyama itu meletakan sendok yang baru saja ia ambil di atas piring dengan pelan namun terasa menegangkan.
"Kalo ga tau apa-apa lebih baik diam. Makan dan bawa istrimu ke kamar untuk istirahat." jelas dan padat. Intinya Gibran tidak mengizinkan Lio ikut campur dalam masalahnya kali ini.
Tasya mengalihkan kegelisahannya dengan cara memberikan lauk pauk di piring Lio dan Aruna. Aruna tersenyum cangung pada ibu mertuanya.
"Makasih, Ma." ucap Aruna.
Tasya tersenyum, "Udah, Runa, Lio makan. Nanti sayurnya keburu dingin jadi ga enak."
Lio terpaksa mengalah dan mengambil sendoknya untuk memulai makan malamnya. Aruna dan Tasya pun ikut melakukan hal yang sama.
Sejujurnya Aruna tidak tau apapun tentang ini. Ia turun sudah dalam situasi tegang dan saat Aruna diam-diam bertanya pada Tasya, Tasya hanya menjawab jika keadaan hati Gibran sedang tidak baik.
Meninggalkan mereka yang sedang makan. Kini di dalam kamar, Lia hanya bisa terkekeh tidak jelas dengan seluruh pandangan pada cermin. Memandangi wajahnya yang terlihat jelek sekali.
Lia tertawa jahat, menertawakan dirinya sendiri lewat pantulan cermin.
"Gue yang cuma balik sore aja di giniin, gimana kalo gue clubbing macem Aruna? Di gantung kali gue,"
"Lo - Lia menunjuk dirinya sendiri yang masih mengenakan seragam sekolah dengan celana leging yang tadi sore ia pakai - lo itu apa sih? Masa cuma gini aja nangis? Bahkan lo udah pernah ngerasain yang lebih parah dari ini,"
Lia melempar kaca dengan sandal rumah yang sedang ia pakai, "Ga guna lo, sumpah, ga guna!" teriak Lia pada dirinya sendiri.
Lia merebahkan dirinya di atas lantai kamar yang dingin, memejamkan matanya berusaha mengigat awal kejadian ini.
Tadi, seingatnya, Lia sedang tidur lalu alarm untuk makan malam yang sengaja ia setel berbunyi nyaring membuatnya terpaksa membuka mata. Ketika nyawanya masih bergentayangan, sosok Gibran tiba-tiba masuk membuat Lia terpaksa menarik nyawanya dengan paksa.
"Ada apa, Pa?" tanya Lia hati-hati.
Papanya tidak menjawab, Gibran memilih diam dengan bola mata cokelat yang terus menatap Lia.
Lia tertawa kecil ketika menyadari jika dirinya masih mengenakan pakaian yang sama sejak sore, apa papanya marah karena ini?
"Lia ketiduran, Pa. Jadi ga sempet ganti baj-
"Ga usah makan."
Brak!
Pintu di tutup kencang dan tidak lama suara pintu yang terkunci terdengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ex-Lover [Selesai]
Teen FictionSeries # 6 MauNinda Series #6 Sekuel : Tasya 1 & Tasya 2 'Adelia story' *** Mencintai adalah hak setiap manusia, tapi tidak jika seseorang yang di cintai itu sudah bukan milik kita lagi. *** Ini tentang Lia yang sedang berusaha melupakan mantan kek...