22

300 58 7
                                    

Note : alurnya ada yang aku ubah sedikit biar nyambung, cuma sedikit kokk

Happy Readingg !

Kabut mendung menyelimuti suasana pagi ini, hari Minggu yang seharusnya damai dan tentram itu tidak terjadi, ini sudah hari ke-tiga sejak Senna hilang dan dari hasil pencarian pun semuanya nihil. Beberapa hari yang lalu juga mereka telah mencoba melaporkan kasus anak hilang ini ke pihak kepolisian namun jawaban mereka sama tetap tidak ada bukti-bukti yang kuat kalau misalnya Senna diculik atau apa.

"Jadi kita mau nyari kemana lagi? di kota seluas ini? tidak ada petunjuk? rasanya agak mustahil." Arsa merebahkan tubuhnya di sofa rumahnya sendiri, dirinya merasa lelah  dan hampir menyerah.

"Guys, diantara kalian ada yang tau gak tempat tempat yang sering Senna kunjungi?" tanya Kinan, sontak semuanya menoleh ke Arkan, namun dihadiahi tatapan polos Arkan, secara bersamaan mereka menghela nafas melupakan fakta bahwa 'Arkan kan amnesia' ucap diri mereka di dalam hati masing-masing.

"Maksud nyari tau tempat yang sering Senna kunjungi buat apa?" Raka bertanya balik.

"Ada dua kemungkinan sama apa yang terjadi dengan Senna, diculik atau kabur. Kita masuk ke kemungkinan yang kedua dulu, yaitu kabur dia bisa aja kan pergi ke tempat yang dia sering kunjungi," ujar Kinan memberi penjelasan.

"Tapi bisa aja kan sebaliknya? kalau misalnya dia kabur, terus nyari tempat sembunyi yang cocok biar orang-orang gak semudah itu bisa buat nemuinnya," jawab Bian yang memutar balikkan penjelasan Kinan.

"Astaga bentar rumit anjer, biarin tenang hari ini dulu napa, gua mau istirahat bentar ya, kalian kalau mau apa-apa ambil aja di kulkas bunda udah nyediain banyak makanan, gua mau ke kamar dulu mau tidur."

"yoi bro, thanks!" Arsa hanya menjawabnya dengan lambaian tangan lemah lalu berjalan ke arah kamarnya.

Sedangkan mereka berlima masih fokus di ruang tamu. Kemudian Nala bersuara, "Kenapa gak coba tanya Luna aja?" usul Nala.

"GOOD IDEA! tapi gua gak ada nomor Luna, ada yang punya?" tanya Kinan

"Gua— ada tapi udah gua block seminggu yang lalu, hehe," jawab Bian disertai sengirannya yang tidak bersalah.

"Lah kok diblock?"

"Menganggu privasi dan kenyamanan."

"Yaudah buka lagi apa susahnya, ini sangat urgent," paksa Kinan.

Bian mendengus, kemudian mengambil handphone-nya yang ada di dalam saku celana, tangannya dengan lihai memainkan ponsel tersebut dan membuka kontak Luna yang telah dia block seminggu yang lalu. Kemudian dia menekan tombol telpon berharap orang yang di tuju menjawabnya.

"Hal—LOH BI BLOCKNYA UDAH DIBUKA?!" pekik Luna dari seberang sana.

"Lun, gua mau—"

"IHH YA AMPUN, abis buka block langsung nelpon kenapa yaa, Bi?"

Nala dan Kinan yang duduk berseberangan dari sofa Bian menoleh secara bersamaan dengan menampilkan mimik wajah yang tak dapat dideskripsikan setelah mendengar ekspresi Luna terhadap Bian.

"Diem dulu gua—"

"Apa? Apa??? Cepett apaan?!"

Raka yang tidak sabaran merebut ponsel Bian dari genggamannya. "Gua mau nanya."

"Loh Bi, kok suara kamu agak berubah ya?"

"Gua Raka, gausah banyak bacot depan Bian, geli. Sekarang cepet jawab pertanyaan gua."

"Anjir, pertanyaan apa sih kok serius banget?"

"Lo kan dulu sahabatnya Senna, inget gak tempat apa yang sering Senna kunjungi?"

"What apa urusannya sama gua? dia hilang masih belum ketemu ya? emang dari dulu ngerepotin banget anjir."

"Gua nanya bukan dengerin bacotan lo."

"Lo mau tau apa enggak si?"

"Ck, cepet buang buang waktu aja ngomong sama lo."

"Seingat gua dia sering nongkrong di taman deket rumahnya, terus di cafe deket kantor ibunya, atau gak di jembatan."

"Hah? jembatan? maksud lo?"

"Orangnya kan udah aneh, tempat nongkrongnya juga aneh lah."

"Luna anjir, dia dulu itu sahabat lo!! Bisa bisanya lo ngomong se-simple itu." teriak Kinan agar bisa terdengar oleh Luna dari sambungan telpon itu. Luna hanya tertawa mendengarnya.

"Jembatan mana yang lo maksud?"

"Agak jauh si, jembatan penyebrangan kota deket pantai, if u know. 3 jam lebih dari sini."

"Ngapain anjir jauh jauhh kesana," ujar Bian

"Rumah ibu kandungnya ada deket sana," jawab Luna yang ternyata mendengar ucapan Bian.

Semuanya memekik terdiam, bahkan Arkan yang sedari tadi diam seperti patung tanpa bersuara sedikit pun disana terperanjat kaget. Bersamaan dengan heningnya suasana ruang tamu, Arsa keluar dari kamar layaknya orang yang habis dikejar oleh penagih utang.

"WOYY WOYY ANJIR, TADI GUA GA SENGAJA LIAT BERITA ADA YANG MAU BUNUH DIRI DI JEMBATAN DEKET PANTAI PORA, CEK ARTIKEL DI INTERNET DEH MUKANYA DI BLUR TAPI GUA YAKIN MIRIP SENNA, bentar guys nafas dulu deg-degan gua." Arsa pelan pelan mencoba menetralkan pernafasannya.

"Arkan coba sekalian lo inget baju yang terakhir Senna pakai apakah sama dengan baju yang ada di artikel... ini?" tanya Kinan yang menyodorkan ponselnya ke arah Arkan.

"ck, bangsad sama." Arkan meraih kunci motor yang tergeletak di atas meja, membuat semua orang langsung berinisiatif mengikuti jejak Arkan.

"Oke, Lun telponnya gua matiin du—"

"WAIT RAKA, gua mau ikut," lirih Luna yang terdengar agak menahan tangisnya di seberang sana.

"sharelock "























kalo ada yang bilang : kok fokusnya malah ke Senna? fren, ini alur ʕ˵– ᴥ – ˵ʔ nanti jg km bakalan tau 

Pura Pura Lupa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang