Jam tangan hitam bertengger manis di tangan seorang gadis yang kini berteduh akan derasnya hujan mengguyur sebagian ibu kota. Jarum jamnya menunjukkan pukul 17.45, itu artinya sebentar lagi langit akan benar-benar gelap gulita. Bukan sebentar lagi, tapi sekarang sudah terjadi bersama tetesan hujan yang tanpa henti berkunjung ke bumi.
Adriani Nadyanala, gadis itu menyesali penolakan sebelumnya akan tawaran Arkan yang ingin mengantarnya pulang dengan alasan ingin pulang bersama salah satu sahabatnya, akan tetapi nyatanya sahabatnya itu sudah pulang duluan.
Nala juga memikirkan perkataan Bian yang tak hentinya memutar memori di dalam otaknya. Salah dia sendiri tidak pernah sama sekali menjenguk atau sekedar bertanya keadaan Bian satu tahun belakangan. Nala terjebak dalam memori masa lalu Arkan yang kini semakin menghantuinya. Sahabat semasa SMP-nya itu ternyata dulu pernah memendam rasa lebih dulu kepadanya daripada Bian, dan untuk amnesia yang terjadi akibat kejadian dua tahun lalu tebakan Nala benar, Arkan hanya mengingat dia pada awalnya. Tapi Nala benar-benar tidak pernah menyangka Arkan berpikiran bahwa dia yang pacaran dengannya. Sebuah kesalahpahaman yang mengejutkan.
Hujan sore ini sekali lagi benar-benar membuat Nala kesal, gadis yang dulu sangat menyukai hujan namun pada detik itu juga dia membencinya ketika dua orang yang terlihat tidak asing nampak seperti pasangan kekasih juga ikut berhenti di tempat yang sama dengan Nala.
"Maaf ya, gara-gara gue pulangnya telat. Kita kehujanan."
Sebentar, semesta apa ini permainan selanjutnya??.
Nala, gadis itu sangat mengenali ciri khas suara ini. Sedikit melirik saja dia tahu bahwa lelaki yang sedang memakai helm full face itu adalah sosok Bian. Astaga, musnah saja Nala sudah dalam dunia ini. Ia menghela nafas berat seraya menatap dua orang tersebut Bian dengan Luna. Ingin rasanya pergi namun keadaan menahan. Nala tidak bego harus hujan-hujanan kalau tidak ingin melihat sepasang kekasih tersebut.
Tapi, ada rasa iri yang terbesit dalam benaknya akan Luna. Kalau di bandingkan dengan Nala dia tidak ada apa-apanya dengan Luna, gadis primadona satu sekolah. Berbanding terbalik dengan Nala seorang gadis biasa yang terlibat dalam permainan rasa sang semesta.
Senyum manis terpancar di wajah Luna sambil berseri-seri. Pantas saja sekarang seorang Bian bersama gadis itu. Nala terkekeh iri saja dalam hati, lagipula dia siapanya Bian sekarang?.
"Eh, Nala? Nggak pulang?" Tanya Luna yang menyadari kehadiran Nala disampingnya, sementara Bian hanya membuang muka ketika Nala melirik ke arahnya sebentar.
"Iya, lagi nunggu temen," bohong Nala.
"Loh? Biasanya juga bareng Arkan. Dia kemana? Apa dia juga amnesia dengan seseorang yang dia anggap pacar ini?" Sindir Luna.
"Ck, lun udah ah jangan bicara sama dia. Bahaya, nanti kamu yang kena marah sama pawangnya," jawab Bian yang disertai sengiran sembari merangkul gadis itu ke dalam pelukannya. Hebat sekali makhluk bumi yang satu ini, tadi pagi mengecewakan sorenya membuat geram. Rasanya Nala ingin menyiram mereka berdua dengan air hujan jikalau ada ember di sini.
"Eh hujannya udah lumayan reda. Pulang yuk bi," ajak Luna dan dibalas dengan senyuman yang sama ketika Bian bersamanya. Oh ternyata senyuman itu sudah ada yang punya dan menemukan tempat persinggahan yang baru ya?.
"La, duluan ya! Gue doain aja Arkan inget sama lo."
Setelah dua orang menjengkelkan itu pergi, Nala mengepal tangannya berlagak seperti ingin memukul kepala Luna kalau saja dia punya keberanian lebih. Tahu kok kalau Luna lebih sempurna dibanding dia, tapi kata-katanya itu tadi perlu direvisi.
Nala mengeluarkan ponselnya lagi, berharap mungkin dengan sisa baterai yang 1% masih bisa digunakan. Namun baru saja ingin membuka log panggilan layar ponselnya berubah menjadi hitam. Musnah saja sudah Nala dari dunia lagi. Dia berjongkok di depan toko yang sudah tutup itu sendiri, berharap kali ini saja semesta berpihak padanya. Jujur Nala lapar, ingin cepat-cepat bertemu kasur, dan mengganti seragamnya dengan baju tidur yang nyaman. Astaga, membayangkannya saja membuat Nala ingin cepat-cepat pulang namun lagi dan lagi keadaan tak berpihak. Hujan semakin deras setelah kepergian Bian dan Luna, seakan tahu kalau hatinya juga turut ikut kesal dan sedih, mungkin.
Nala menutup wajah dengan kedua tangannya, sepertinya dia bisa sampai besok di sini mengingat hujan yang tak kunjung berhenti sedangkan waktu semakin berjalan. Sudah dua jam Nala disini sampai ia mendengar suara klakson dari sebuah motor yang membuatnya terperanjat kaget.
"Arkan??"
"Udah, buruan naik. Nih pakai helm sama jaket aku!"
"Tapi nanti kamu—"
"Cepetan!" Bentak Arkan yang membuat Nala sedikit terkejut, mau tidak mau akhirnya dia memakai jaket dan helm kebesaran yang Arkan pakai sebelumnya. Alhasil, Arkan yang hanya memakai kaos putih oblong dan celana jeans sudah basah kuyup, di tambah lagi dengan kepalanya yang ia biarkan hujan turun dari langit membasahi diri. Dia hanya tidak ingin gadisnya itu kehujanan.
Arkan menjalankan sepeda motornya dengan kecepatan yang sangat tinggi, mengharuskan Nala memeluk pinggang pemuda sang pemilik mata sipit tersebut kalau tidak ingin pergi dari dunia sekarang. Bullshit kalau Nala tidak merasa nyaman, nyatanya dia merasa hangat hanya dengan memeluk seorang Adinatya Arkan Bratajaya di bawah derasnya hujan kali ini.
Semesta, lagi-lagi kau mengaturnya dengan sangat baik. Di saat dua sepasang kekasih yang salah satu hatinya untuk orang lain masih bisa merasakan arti kenyamanan bagi masing-masing. Namun, tanpa di sadari dari jarak yang tidak jauh dari posisi, terparkir jelas motor sport milik lelaki yang menatap mereka berdua secara diam tak bergeming. Matanya memindai setiap pergerakan dari dua orang tersebut sampai hilang dari pandangan.
"Bego lo Bian!" Ucapnya pada diri sendiri dan menyalakan motornya itu melaju ke jalanan kota yang cukup licin.
Visual other character
Aluna Yudita
KAMU SEDANG MEMBACA
Pura Pura Lupa
Teen Fiction"Dulu, kita sempat mengenal cerita indahnya berbagi perasaan. Tapi sekarang, kita bahkan merasakan pedihnya berbagi rasa kehilangan." Pernah percaya dengan yang namanya pura-pura lupa? Atau kamu adalah bagian dari yang sering mengabaikannya? Karena...