19

692 108 11
                                    

"Ini rumah Senna, Bi?" Tanya Nala ketika dirinya sudah turun dari motor dan melepas alat keamanan, helm.

"Setau gue," balas Bian singkat.

"Kok sepi?"

"Denger-denger dia cuma tinggal sama Ibunya. Ayahnya kerja di Australia dan gak pernah pulang."

"Dia anak broken home?"

"I don't know."

Nala menatap rumah yang terbilang cukup besar itu. Entah kenapa perasaan aneh mulai memasuki pikirannya.

"Jadi gimana, La? Mau masuk atau mau tetap di sini?" Tanya Bian namun Nala terdiam hingga suara memekik terdengar jelas dari dalam rumah disertai suara gelas dan piring yang pecah jatuh ke lantai.

"Bi?" Panggil Nala yang masih terkejut, tangannya tidak sengaja berpenggangan kepada lengan Bian saking kagetnya

"Aku mau kamu tetap di sini, please jangan pergi!!!!" Teriakan dari dalam rumah itu terdengar sampai keluar rumah.

"Aku cuma beli makanan sebentar Senna. Gak lama, habis itu aku balik lagi."

"Gak! Gak mau! Kamu harus di sini."

"Senna, kalau kamu tadi gak melempar makanannya aku gak bakal keluar buat beli makanan lagi buat kamu. Kamu makan apa seharian ini? Perut kamu juga perlu diisi, ya?"

"Janji deh, aku gak bakal lama." Lawan bicara Senna itu mengusap pipi Senna yang mulai dibanjiri air mata.

Sesaat pintu rumah itu terbuka menampilkan sosok Arkan dengan pakaiannya yang acak-acakkan dan wajahnya yang benar-benar pucat, disertai kantong mata yang ada wajahnya. Bola mata Arkan dan Nala saling bertemu, sama-sama terkejut, ada perasaan kecewa dan kesal yang tak dapat dibendung dari balik mata Nala.

Padahal kalau ingin Nala bisa menampar Senna saat itu juga dan menarik Arkan pergi dari sana karena Nala sudah berjanji pada diri sendiri akan melindungi Arkan dari orang-orang yang telah menyakitinya, apalagi kalau orang itu adalah Senna. Namun, di sini pertahanan Nala lemah, air matanya mengalir begitu saja ketika ia tahu Arkan memilih untuk tidak memberi tahunya dan menghindar.

Nala segera berbalik dan ingin beranjak pergi namun badannya ditahan oleh Bian. Nala gak kuat, ternyata apa yang keluar dari mulut Luna benar, perkataan yang Nala anggap sebagai lelucon itu sebenarnya tak main-main. Ia tak tahan membendung air mata yang sebentar lagi akan meluap.

Mata Bian dan Arkan saling pandang, keduanya saling beradu sampai Arkan melihat gadis berambut panjang yang ada disebelah Bian.

"Nala?" Lirihnya.

Baru saja Arkan ingin melangkah menghampiri mereka berdua tetapi pelukan erat Senna dari belakang membuat langkahnya berhenti. "Jangan tinggalin aku, Arkan," bisiknya.

Sialan, Arkan lupa satu hal.

"La, tunggu di sini ya?" Perintah Bian ketika melihat tangan gadis melingkar bebas di perut Arkan. Bagaimana mungkin Arkan tidak bergerak sedikit pun ketika ada gadis lain yang memeluknya di depan pacarnya sendiri?

"Gak usah, Bi." Nala menahan lengan Bian, ia tau kalau sebenarnya Bian ingin sekali memukul Arkan, disaat yang seperti ini siapa yang tidak tega melihat seorang gadis menangis karena kekasihnya bersama orang lain sekarang?

"Kita pergi aja ya, Bi? Gue gak kuat."

"Tapi La??" Nala menggeleng dan meringis membuat Bian membuang jauh-jauh niat awalnya. Sementara Arkan masih diam ditempat tak bergerak dengan pelukan Senna.

Bian mengenggam tangan Nala, ditatapnya bola mata yang penuh dengan air mata itu seraya tertunduk. Sekarang ia tidak peduli bagaimana reaksi Arkan saat melihatnya mengenggam tangan pacarnya itu. Bian menjalankan motornya, pergi menjauh dari hadapan rumah Senna.

"Ngebut aja, Bi. Gak papa," ujar Nala dengan suara yang sedikit serak.

Bian menoleh ke arah kaca spion, sesekali ia memperhatikan wajah Nala yang merah dan dibanjiri air mata sampai Nala tersadar kalau Bian memperhatikannya dan segera menutup kaca helm.

"Gak usah diliat gue lagi jelek!"

"Dimata gue, lo mau gimana pun tetep cantik kok, La."

"Diem!!"

"Iya ampun, kanjeng."

"Nala?" Nala yang tengah sibuk memilih makanan di antara deretan rak supermarket tertegun. Tentu, bagaimana tidak? Dihadapannya kini adalah sosok Arkan yang sama sekali terlihat bukan Arkan. Kenapa ia harus bertemu Arkan sekarang?? Ahh semesta tidak mendukung perasaanya

Wajahnya masih sama pucat, namun ini lebih parah. Sialan, apa yang dilakukan gadis gila itu kepada lelaki bermata sipit manis ini???

"Ada yang perlu aku omongin," ujarnya lagi bersuara karena Nala tak merespon apapun.

"Gak usah Kan, udah jelas. Sana, Senna minta ditemenin pasti dia udah nangis gak jelas minta kamu supaya tetep sama dia."

"La?"

"Santai, aku gak cemburu kok. Cuma kelewat marah aja kemarin." Nala mengambil beberapa makanan di deretan rak tersebut lalu tersenyum.

"La please!"

"Kalo gak penting pergi aja, Kan!!" Pekik Nala membuat orang-orang yang ada di dalam supermarket menoleh. Nala yang tidak nyaman karena menjadi pusat perhatian langsung membayar seluruh barang belanjaannya dan berjalan keluar, dan tentu saja lelaki itu tak tinggal diam.

"Nala!! Ini penting. Ada kesalahpahaman yang harus aku jelasin." Panggil Arkan ketika sudah keluar dari supermarket, lagi-lagi Nala menghela nafas.

"Bentar, jadi ini rahasianya?" Tebak Nala.

"Hah rahasia??" Alis Arkan berkerut tanda tak mengerti.

"Rahasia yang konsekuensinya bakalan nyakitin. Tapi dibanding tersakiti, aku lebih kecewa karena kamu gak jujur."

"Oleh karena itu aku dateng ke sini buat jujur dan nge-lurusin kesalahpahaman kamu. Kamu juga kemarin ngapain dateng sama Bian? Kamu gak mikir perasaan aku? Ada hubungan apa kamu sama Bian??"

"Loh kok malah ngebalikkan fakta si?Kamu juga kemarin ngapain sama Senna? Gak mikir perasaan aku? Ada hubungan apa kamu sama Senna??"

"Shit." Arkan menghembuskan nafas kasar, ia mengusap wajahnya, lalu ia kemudian bersuara, "Senna butuh aku, La!"


Sialan, Nala merasa dejavu

Pura Pura Lupa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang