08

776 125 10
                                    

"Nala, nggak papa? Yakin masih mau ikut olahraga?" Tanya Kinan setelah melihat keseluruhan wajah Nala yang menjadi pucat. Nala hanya mengangguk samar menepuk tangan Kinan yang ada dibahunya tanda bahwa dia baik-baik saja. Lagipula dia tidak mungkin bisa kembali ke kelas kalau sudah berhadapan dengan guru olahraganya itu.

"Balik ke kelas aja yuk? Lo makan dulu, tadi istirahat nggak ada makan apa-apa kan?"

"Nggak ah, kenyang gini."

"Anjir, makan apa lo? Pagi nggak sarapan, istirahat nggak makan. Makan angin?"

"Udah ah, tuh pak Setya udah nunggu," ujar Nala mengalihkan pembicaraan.

Kelas IPA 2 lagi-lagi mendapat jadwal olahraga dadakan yang mengharuskan kelas IPA 2 tersebut dicampur menjadi satu jadwal dengan kelas IPA 1, dikarenakan setelah jadwal pelajaran ini para guru-guru mengadakan rapat.
Bukan berita bahagia atau membuat hati berbunga-bunga. Bukan! Melainkan kali ini malah membuat hati seorang gadis bermarga Adriani sengsara.

Kelas IPA 1 memang perkumpulan kaum-kaum adam yang menarik hati kaum hawa, tapi ini sebuah masalah besar bagi Nala. Kalian ingat tidak kalau Arkan satu kelas dengan siapa?.

BIANTARA DHANURENDRA, SEMESTA!!!.

Nala rasanya mau nyari tiket buat ke neptunus. Kalau tahu, Nala tidak akan ke sini.

"Semuanya ayo kumpul dulu!! Kita pemanasan sebelum mulai." Laki-laki dengan tinggi badan kelebihan kalsium berstatus guru olahraga itu berteriak kencang.

"Baris sesuai absen ya anak-anak."

Kelas IPA 1 dan IPA 2 langsung berpencar mencari tempat yang sesuai dengan urutan nomor absen mereka. Nala, dengan santai berjalan ke barisan paling ujung tapi tidak menyadari seseorang dari kelas IPA 1 yang ada di sebelahnya.

Adinatya Arkan Bratajaya, lelaki itu berbaris hampir paling depan karena nomor absennya, ia melirik ke belakang dan mendapati Nala. Mata yang saling bertemu itu juga saling bertukar senyum termanis yang mungkin akan masuk dalam catatan takdir mereka. Manis sekali. Sampai-sampai mata lelaki Adinatya itu juga ikut tersenyum menatap gadisnya.

"Ayo... Rentangkan tangannya!"

Nala merentangkan tangan dengan wajah malas serta menghela nafas panjang, mata pelajaran olahraga termasuk dalam daftar sesuatu yang ia benci, dengan panasnya matahari dan jadwal olahraga yang dilakukan di siang hari menambah kesan tidak menyenangkan. Sekarang ini, kepala Nala semakin pusing, tapi ia mencoba mengontrol diri. Matanya selalu berkunang-kunang saat melihat ke depan. Sungguh, ingin rasanya Nala pingsan dan ngadem di UKS penuh AC.

Tapi jujur, Nala sudah tidak tahan lagi. Ditambah dengan laki-laki berstatus guru tersebut yang hanya asik mengatur dengan mulutnya dan sepasang bola mata yang sedari tadi terus memperhatikan gerak-geriknya. Gadis primadona yang juga ikut berbaris di bagian ujung kanan selalu menatap ke arahnya membuat Nala semakin kesal saja. Ia juga lupa satu hal, kalau Luna termasuk dalam bagian IPA 1. Gadis itu seperti menabur kebencian di lubuk hatinya terhadap Nala.

Bersamaan dengan rentangan tangan yang bermalas-malasan, tanpa sengaja jari jemarinya menyentuh jari jemari lain membuat Nala terkesiap. Tetapi matanya menyipit saat cahaya matahari yang tadinya ditutupi oleh awan kembali bersinar, menghalangi pandangannya terhadap seseorang yang ada disebelahnya.

Hingga, sebuah tangan merapat dan menutupi wajah Nala dari teriknya cahaya matahari sampai ia melihat jelas seseorang dengan tatapan tajam seperti biasa. Tatapan yang selalu membuat jantung dan pikiran Nala tidak karuan.

"Bian...?" Lirih Nala.

"Diem, panas kan?" Nala tak menjawab, sungguh lidahnya kelu untuk berkata sepatah kata pun.

"Jangan pingsan," ujarnya yang entah kenapa membuat hati Nala menghangat.

"Pucat banget, tadi pagi sarapan nggak?" Tanya Bian yang hanya dijawab dengan gelengan singkat dari Nala.

"Kebiasaan!"

Nala tertawa dalam hati, masih saja dia bisa menasehati.

"Hey kalian berdua yang di sana, jangan diem aja!" Tegas guru olahraga sembari menunjuk ke arah Nala dan Bian membuat seluruh pasang mata melirik ke arah mereka. Jangan lupakan tatapan mengintimidasi dari sosok Arkan. Matanya kali ini menyipit bukan karena bahagia, tapi berusaha melihat apa yang sebenarnya. Begitu juga dengan gadis primadona tersebut, tampangnya agak terkejut dan memberikan tatapan geram.

Pandangan Nala mulai buram, terakhir yang ia lihat adalah ekspresi kesal Luna, langkah Arkan yang segera bergerak menghampirinya dan wajah Bian yang hampir sempurna menangkap tubuhnya ketika ia perlahan mulai pingsan.

Bau obat-obatan tercium menusuk dalam hidung gadis yang terbaring di ranjang UKS, sebuah handuk kecil menempel di kepala dan tangan mungilnya digenggam oleh tangan yang berbanding terbalik dengannya. Dia Arkan, seraya menidurkan kepalanya di atas genggaman tangan mereka.

Ia baru sadar beberapa detik kemudian. Dirinya pingsan ketika mengikuti pelajaran olahraga, tidak sekuat itu ya? Padahal Nala pengen sok kuat aja di depan mantan.

Pintu ruangan UKS terbuka lebar dan membuat kebisingan, masuklah kedua makhluk bumi paling ribut diiringi gadis primadona yang menuntun Bian berjalan ke sebuah ranjang yang ada di dalam UKS. Dahinya memar, sudut bibirnya berdarah, wajahnya sedikit bengkak dan juga cara berjalannya yang agak pincang.

Apa hanya karena bermain bola jingga, lukanya bisa separah itu?

"Ayo nggak ada paksaan! Sini biar gue obatin." Tau kan siapa? Arsa, lelaki itu menarik-narik tangan Bian agar duduk di ranjang UKS dan diobati tetapi, Bian tetap dengan kukuh menolak.

"Jangan lo deh, nanti yang ada ngasihin salep buat jerawat ke luka gue."

"Yaudah, sana biar Luna aja yang ngobatin, atau nggak Raka nih."

"Raka mah bisanya nyelesain soal fisika, bukan orang yang luka."

"Gue nggak ngerti cara ngobatin orang," timpal Luna, gadis itu sedikit merengek sedih antara melihat darah yang terus keluar di pelipis Bian atau dirinya yang tidak tahu menahu tentang cara mengobati.

Tangan Nala gatal ingin mengobati luka Bian refleks dia berdiri dan sedikit menyingkap selimutnya, baru saja dia ingin bergerak menghampiri Bian tetapi tangannya di tahan oleh Arkan. Arkan bangun dari posisinya, dia menatap bola mata Nala lamat-lamat.

"Ngapain kamu? Masih sakit juga," tegas Arkan. Kali ini nada bicaranya benar-benar berbeda. Bahkan Nala baru pertama kali mendengarnya ketika kalimat itu diucapkan dari mulut Arkan sampai membuat mereka juga menoleh ke arah Nala dan Arkan.

Nala mengurungkan niatnya, dia merasa menjadi orang tidak berguna sekarang.

Pintu UKS terbuka lebar, menghadirkan sosok Aleta yang baru saja memasuki UKS. Tapi di belakangnya seseorang dengan senyum bahagia menyapa orang yang ada di sana.

"Senna??"

"Arkan? Kamu nggak papa?"

Akankah sebuah UKS menjadi tempat beradu mulut, gengsi, dan perasaan selanjutnya??





















Akankah sebuah UKS menjadi tempat beradu mulut, gengsi, dan perasaan selanjutnya??

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nah kan adem kalo akur gini :)

Yang nungguin mbak mantan mau ngomongin apa ke mbak mantan yang lain, sabar ya hehehhehe.

Pura Pura Lupa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang