26

257 46 5
                                    

Suara sirine ambulan beradu di jalanan, membelah padatnya ibu kota tengah hari itu. Ditambah perasaan berkecamuk seorang gadis bernama Nala yang merapalkan segala doa dalam hatinya, berharap sekiranya lelaki yang tengah terbaring di depannya dimobil ambulan ini masih bisa menghembuskan nafas.

Tangis tak kunjung reda, juga darah yang tak kunjung henti untuk mengalir keluar membuat suasana menjadi lebih gelisah dua kali lipat, perjalanan yang kurang lebih 10 menit bahkan terasa lama untuk tiba ditempat tujuan.

Ketika sudah sampai tepat ditempat tujuan, Nala dengan tangis yang sudah membuat penampilan dan wajahnya tidak beraturan masih setia mengenggam tangan Arkan dan juga jemari yang ia tautkan enggan untuk dilepas. Menyusul dengan mobil yang lain, keempat orang itu segera beranjak keluar kemudian Kinan dengan sigap meraup tubuh yang sedang lemah nan kecil Nala tersebut untuk dituntun.

Arkan segera dibawa keruangan IGD, darah yang mengalir di sekitar kepala, dan hampir seluruh bagian tubuh membuat Bian menutup matanya, ia lagi-lagi merasa Déjà vu. Sesekali Raka dan Arsa meringis tak kuasa  melihat kondisi sahabatnya yang terlalu mengenaskan untuk disaksikan dengan langsung.

Suasana rumah sakit hari itu benar-benar tidak beraturan, mulai dari kekurangan pasokan oksigen sampai kekurangan darah lumayan membuat keadaan semakin memusingkan, ah... benar ditambah lagi dengan keadaan gadis yang telah mencoba bunuh diri tadi, Senna.

Beberapa pihak rumah sakit kalang kabut berlarian kesana kemari hari itu, tak ada kabar apapun dari dokter yang menangani Senna, begitu pun sama halnya dengan Arkan. Semuanya terdiam dan membeku, Nala kini tengah menangis dalam pelukan Kinan, sesekali Kinan mengelus surai Nala berusaha menenangkannya walaupun hasilnya nihil.

Hingga Arsa bersuara, "Coba telpon keluarga Arkan sama Senna, mereka harus tau keadaan anaknya, kan?"

Nala menoleh kepada Arsa, melonggarkan pelukannya pada Kinan, "Biar gua aja yang kasih tau mereka."

"Gua aja, lo masih kalut begini, La." Bian menyela Nala.

Malas berdebat dengan Bian, Nala mengulurkan ponselnya kepada Bian menyerahkan semua tugasnya kepada Bian dan kemudian pergi sedikit menjauh agar terhindar dari bisingnya suara.

"Senna, gimana?" tanya Raka.

"Gua ngga punya kontak orang terdekat Senna lagi."

Kinan menjentikkan jarinya seakan mendapat sebuah ide cemerlang, "Luna, coba telpon Luna!" seru Kinan. Raka yang menyetujui itu segera mencari kontak Luna dan juga sedikit menjauh agar bisa mendengar suara dari sambungan telpon.

Kini tengah tersisa Arsa, Kinan, dan Nala yang masing-masing sibuk dengan pikirannya. Arsa memilih duduk disamping Nala yang masih setia dipeluk Kinan, menghembuskan nafasnya secara kasar lalu memejamkan matanya perlahan, sempat jeda beberapa menit untuk menetralkan pikirannya Arsa bersuara,

"Kejadian yang tadi kerasa cepet banget ya?"

Kinan mengangguk setuju, peristiwa yang telah berlalu beberapa menit itu sudah menciptakan cerita yang dimana dua tokoh sedang mempertaruhkan nyawa. Masing-masing kejadiannya hanya berlalu seperti secepat kilat.

Bian dari arah timur berjalan seraya menghampiri mereka bertiga, menatap kosong Nala yang tak henti-hentinya menangis, ia kemudian berjongkok di depan Nala menatap netra coklat kehitaman itu yang sudah dipenuhi dengan cairan bening, sedikit membuat bagian bawah matanya itu bengkak. satu tangannya bergerak untuk mengenggam tangan Nala sambil mengusap pelan dan satu tangannya lagi berhasil menyentuh pucuk kepala Nala, dan perlahan mengusapnya, tak ada penolakan dari Nala.

"Arkan bakalan baik-baik aja kok, jangan nangis terus, dia pasti sedih liat lo begini," ujar Bian. Kata yang selalu diucapkan, kata yang sudah terlanjur basi untuk didengar ketika kita menangisi orang yang sedang mempertaruhkan nyawa, namun Nala mendengarnya berbeda. Entah mengapa ia yakin akan satu hal ucapan Bian ada benarnya dan ia menyakini hal itu. Ia kemudian mengeluarkan senyum tipis dan sedikit mengusap air matanya.

Raka tengah kembali dari kegiatan menelpon Luna, dan ya juga diiringi Luna beserta ibu tiri Senna dibelakang Raka.

"Tante..." gumam Nala pelan.

Berselang 5 detik, wanita paruh baya itu tiba di hadapan Nala dengan nafas yang memburu lalu mendaratkan tamparan di pipi mulus Nala. Dibuat shock, hampir seluruh orang yang ada dirumah sakit menoleh ke sumber suara, namun tak berniat melerai.

"Pasti gara-gara kamu ya??!!" wanita paruh baya itu menunjuk-nunjuk Nala dengan emosinya yang tak bisa ditahan lagi.

"Tante, ken-"

"Kamu tau?? Senna berani seperti itu pasti gara-gara kamu rebut Arkan dari dia??!! Ya Tuhan, asal kamu tau Arkan itu satu-satunya harapan Senna buat hidup, kamu bikin Arkan lupa sama kulitnya, kamu yang buat Arkan biar ngejauh sama Senna, begitu kan??!! Kata Senna, Arkan berubah ngga seperti Arkannya yang dulu, pasti dalangnya kamu."

"Tante, maaf menyela tapi ini tempat umum apalagi tante be-"

"Nggak usah ikut campur kamu," ujar Ibu tiri Senna menepis tangan Arsa di lengannya.

"Tante, salah paham biarin aku bicara. Maaf tapi aku ngga gitu sama sekali ngga seperti yang tante pikirin, Arkan mengalami amnesia dan itu penyebabnya karena Senna, dia kecelakaan hari itu waktu Senna pergi ke Australia, sebagian ingatannya hilang dan itu-"

"Ngga usah ngarang naskah drama kamu, simpan saja buat diri sendiri, tante ngga perlu denger."

"Tante... yang buat naskah drama itu anak tante sendiri, penyebab Senna begitu ngga sepenuhnya salah Arkan." Bian bersuara agak terdengar muak dengan perdebatan yang tengah terjadi.

"Tau apa kamu sama anak saya?"

"Tau segalanya, tentang kecelakaan Arkan pada saat Senna pergi, alasan Senna ke Australia, juga apa yang terjadi pada Senna sekarang."

"Tante ngga tau betul sama apa yang terjadi, berita video porno anak tante udah ke sebar di dunia maya dan tante disini nyalahin anak orang ngga bersalah dan menamparnya di depan umum. Maaf tante, kesannya saya seperti menceramahi tante yang umurnya jelas jauh lebih tua daripada saya, tapi saya harap tante sadar dan buka mata telinga tante sekarang kalau sebenarnya Senna melakukan hal yang tak seharusnya disana, di Australia." Bian mengeluarkan unek-uneknya dalam hati, terasa jenuh melihat Ibu tiri Senna ini sedari tadi menolak penjelasan dari Nala.

"Luna, jangan diem aja kalau ada yang mau disampaikan bilang sekarang, lo yang nemuin obat penenang dari tas sekolah Senna, kan?"

Luna yang sedari tadi diam sejak kedatangannya mulai tersadar, "Iya tante, Senna diam-diam ngebawa obat penenang, tapi-" Luna menggantungkan kalimatnya, menggigit bibirnya seakan ia ragu untuk mengucapkan kata selanjutnya.

"Lanjutkan saja," ujar wanita tersebut.

"Sepertinya Senna diancam."

"Maksud kamu, Lun?"

"Iya, aku ngga sengaja liat ponsel Senna dan layarnya menunjukkan beberapa pesan ancaman, ancaman yang tak sekali dua kali yang Senna dapat."

"Apa isi ancamannya, lo inget ngga?" tanya Raka.

"Sekilas seperti pembicaraan menyebarkan sebuah foto, sisanya ahh gua lupa," keluh Luna.

Semuanya terdiam, dengan alur pikiran yang entah akan sampai kemana. Seseorang keluar dari ruangan IGD dengan jas putih khas dokter berjalan mendekat, peluh terasa nyata di pelipisnya dan tangan yang sudah cukup banyak menampung bercak darah, dalam hal apapun semoga seseorang yang datang itu membawa kabar yang diharapkan.

"Keluarga dari Senna??"

"Saya ibunya, dok."

"Mari ikut saya sebentar, oh... apa disini ada keluarga dari Arkan juga?"

"Keluarganya belum tiba, dok. Mereka sedang diluar kota."

"Kalau begitu, perwakilan saja. Ikut saya setelah ini ya?"

"Baik, dok. Saya akan segera kesana."

"Nala, gua temenin ya?" Nala memandang Bian seraya mengangguk, dokter dan ibu tiri Senna berlalu dari sana, ia kemudian mendudukkan dirinya kembali ke bangku namun tawaran Bian membuatnya kembali berdiri.

"Nala, bisa ikut gua sebentar?"

Nala hanya mengangguk lalu mengekori Bian dari belakang, entah kemana akan pergi dan tempat pemberhentiannya.










kapan ini end ya allah (╥﹏╥)

Pura Pura Lupa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang