"Bian," panggil seorang gadis yang tengah duduk dihadapannya, menatap lekat sosok Bian yang sedang melipat tangan dan pandangan lurus ke depan, tak berniat dari awal mengajak bicara padahal dia yang membujuk minta ditemani.
"Bian, waktu gue nggak banyak please!"
"Lo dulu rela bagi waktu buat gue, tapi kenapa sekarang nggak?"
Gadis berambut panjang agak kecoklatan itu berdecak, memutar bola matanya dan menyandarkan tubuhnya pada kursi penyangga. "Sekarang udah beda, Bi. Yang udah berlalu biarkan menjadi angin lalu."
"Semudah itu ya?"
Aleta, iya gadis itu makin dibuat bingung akan kata-kata yang diucapkan Bian sore hari ini. Di tambah lagi dengan raut wajahnya yang terlihat kesal, marah pokoknya semua bercampur menjadi satu.
"Lo tuh kenapa sih? Ada masalah sama Nala?"
"Dia aja yang buat masalah."
"Bi, lo tuh udah gue bilangin kan? Putus dari gue, pola pikirnya jangan masih kekanakkan kek begini!"
"Siapa yang kekanakkan coba?"
"Masih mengelak juga."
"Kalo ada masalah tuh, di selesain. Jangan di pendem. Gue nggak mau kisah lo dan Nala sama kayak kisah kita berdua dulu," sambung Aleta yang membuang muka.
Bian terpaku memainkan jari-jemarinya. Hatinya serasa ditampar oleh kenyataan akan ucapan Aleta, kakak kelasnya yang sempat menjadi teman berbagi cerita.
"Cepetan! Mau bilang apa?!" Semakin lama, ia juga semakin kesal dengan lelaki yang tidak mengatakan apa tujuan atau alasan pembicaraan ini. Tak lama, Bian menghela nafas lalu bersuara.
"Maaf sebelumnya Al, ini salah gue. nggak seharusnya gue bilang ke Nala, kalau kita balikan lagi."
Nafas Aleta tercekat, jantungnya seperti terlindas ban mobil. "Kita? Balikan?!"
"Udah gue bilang nggak seharusnya gue bilang begitu."
"Tapi lo udah bilang kan? Percuma!" Bian diam seribu bahasa, dia hanya mengangguk dalam diam. "Anjir." umpat Aleta.
"Ehh Bian?" Suara dari lelaki sipit mengalihkan pandangan Bian dan Aleta yang juga kebetulan mampir di depan minimarket. Entah sebuah kebetulan atau sebuah takdir yang sudah ada garisnya. Yang jelas, gadis yang berada di samping lelaki sipit menatap seolah tak menganggap hadirnya.
"Ini yang disebut mbak pacar ya?" Tanya Arkan seraya menaik-turunkan kedua alisnya.
Aleta yang sedang minum justru tersedak, bisa-bisanya kata 'mbak pacar' tertuju kepada 'mbak mantan'?.
Bian yang melihat perubahan raut wajah Nala langsung mengangguk mengiyakan ucapan Arkan, "Iya."
"BIAN?!" Aleta jelas tak terima, ia menendang tulang kering Bian dari bawah meja, namun Bian tak memberikan reaksi apa-apa. Matanya berfokus kepada gadis sok cuek tersebut.
"Ohh baguslah, gue pikir lo sama Luna. Pantes aja tadi Luna nangis sesegukan di ujung kelas, rupanya sudah ada pemilik hati yang lebih jelas, ya?" Goda Arkan. Di sini, hanya Arkan yang tertawa puas. Aleta dan Nala tersenyum miris dan Bian hanya tertawa hambar.
Indah banget hidup Arkan, kayak bayi baru lahir yang nggak tahu apa-apa rumitnya semesta.
"Kita berdua duluan ya?" Pamit Arkan sembari merangkul Nala, merapatkan jarak antara mereka berdua. Justru, pandangan Bian terfokus kepada tangan Arkan yang dengan santainya merangkul gadisnya itu.
Tunggu? Gadisnya? Apa masih bisa Nala dipanggil 'Gadisnya' oleh Bian setelah melontarkan kata putus secara sepihak?
"Tunggu," panggil Aleta membuat sepasang kekasih tersebut berbalik arah. Termasuk Bian yang menatap kakak kelasnya itu dengan pandangan cemas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pura Pura Lupa
Teen Fiction"Dulu, kita sempat mengenal cerita indahnya berbagi perasaan. Tapi sekarang, kita bahkan merasakan pedihnya berbagi rasa kehilangan." Pernah percaya dengan yang namanya pura-pura lupa? Atau kamu adalah bagian dari yang sering mengabaikannya? Karena...