21

736 88 13
                                    

Katanya ketika kita kehilangan sosok orang yang kita cintai, maka sedikit bagian dari perasaan kita juga perlahan akan menghilang. It is true??

-Adriani Nadyanala

"KAMU ITU GIMANA SIH??!!" Entah untuk yang ke berapa kalinya tamparan keras itu mendarat di kedua belah pipi Arkan hingga membuat keduanya benar-benar memerah.

"TANTE UDAH KASIH KAMU TANGGUNG JAWAB BESAR BUAT JAGAIN SENNA TAPI SENNA MALAH DI CULIK!!! GINI BALASAN KAMU SETELAH MEMBUAT DIA DEPRESI???!!!"

Ibunda Senna menampar Arkan, melampiaskan seluruh emosinya pada anak itu. Walau di sana ada ada Bian dan yang lainnya tak ada satu pun yang berani menghentikan wanita paruh baya itu menampar sahabatnya. Bahkan untuk sedikit berucap saja, Ibundanya Senna sudah mengacungkan pisau yang sedari tadi ia pegang.

"Dasar anak gak bertanggung jawab!!" Wanita paruh baya itu menarik kerah baju Arkan, terlihat jelas wajah Arkan yang sudah babak belur serta di ujung sudut bibir sudah mengeluarkan darah. Arsa saja sampai bergidik ngeri melihatnya.

"Inget ucapan Tante. Kalau kamu gak berhasil menemukan Senna, kamu yang akan Tante buat depresi, bahkan lebih dari depresinya Senna. Ingat kan siapa yang menyebabkan Senna menjadi seperti itu? Kamu. Orangnya itu kamu, dan Tante udah ngasih kamu kesempatan buat memperbaiki Senna tapi kamu malah lengah." Ibunda Senna mendorong badan Arkan ke lantai, melempar pisau itu ke sembarang arah, ia memijat pelipisnya dan berjalan keluar rumah dengan segala emosinya.

"Langsung ke rumah sakit aja gimana?" Usul Bian yang memegang lengan Arkan membantunya berdiri, diikuti dengan Arsa dan Raka.

"Cuma luka gini doang, ngapain ke rumah sakit??" Elak Arkan.

"Gak usah banyak bacot, Kan. Luka lo gak bisa dibilang cuma gini doang!!!" Bentak Kinan.

"Gak usah, gue langsung mau nyari Senna aja," tolak Arkan mentah-mentah.

"Sok-sok'an mau nyari, buat berdiri saja harus dibopong," sindir Arsa.

"Arkan, kita ke rumah sakit aja ya?" Kali ini Nala segera bertindak, ia memegang lengan Arkan dengan lembut dan tatapan yang sedikit memelas.

"Nala, Senna butuh aku," Arkan mengelus tangan Nala di lengannya itu. Dengan senyuman pahitnya, ia mencoba melepaskan genggaman tangan Nala.

Nala kini melihat cerminan dirinya dulu. Rasa dejavu menyelimuti dirinya. Betapa ia dulu sangat terobsesinya demi kesembuhan orang yang ia sayangi, terobsesi dengan tanggung jawab yang ia punya hanya untuk menyelamatkan jiwa yang ingin bahagia, melupakan orang lain yang juga membutuhkannya.

Perasaan Nala merosot, di tatapnya punggung Arkan yang mulai menghilang dari balik pintu. Hatinya seperti di tusuk oleh keadaan.

Is this karma?

"Kita juga tetep harus nyari Senna dan gak bisa ngebiarin Arkan nyari Senna sendirian dalam kondisi yang tiap hari semakin menurun. Ya, meskipun Senna bisa dibilang perusak atau penghancur keadaan dalam saat seperti ini tidak harusnya membenci, bukan?" Raka menatap orang-orang di sekelilingnya yang terlihat sendu. Semua orang nampak lelah dan segera ingin keluar dari masalah.

"Ada kabar??" Tanya Bian kepada Arkan yang tengah menyandarkan dirinya pada kursi taman. Jawaban Arkan hanya gelengan kecil seraya meminum air mineral yang ia beli dari minimarket terdekat.

"Gak ke sana?" Arkan bertanya balik menunjuk ke arah teman-temannya menggunakan dagu.

"Mereka pada sibuk makan, kebetulan juga gue pengen jalan-jalan." Balasan dari Bian tak ditanggapi oleh Arkan. Matanya yang kosong tersorot menuju ke depan.

"Lo harusnya gak kayak gitu, bro." Bian diam sejenak, menunggu reaksi Arkan yang ia pikir akan sadar dengan sendirinya. Tapi nihil, lelaki itu masih diam dan termangu dalam lamunan yang ia ciptakan sendiri.

"Lo bukan cuma punya perasaan bersalah ke Senna, Kan. Tapi ke Nala juga. Sadar gak dengan sikap lo yang kayak gini perlahan membuat perasaan Nala semakin hancur?"

"Tapi gue punya penuh tanggung jawab besar dan perasaan bersalah ke Senna. Gue rasa, Nala bisa memaklumi itu."

"Semakin ke sini, sepasang dan sepotong ingatan gue mulai muncul, Bi. Tapi masih dalam keadaan acak dan susah buat dimengerti. Entah kenapa rasanya emang gue yang bener-bener ngebuat dia depresi kayak gitu. Dibalik senyumannya waktu awal gue ketemu dia sama yang sekarang membuat perasaan bersalah itu muncul. Kadang gue juga di timpa depresi. Pikiran gue terbagi dua, antara rasa tanggung jawab dan perasaan gue ke Nala."

"Coba lo ada di posisi gu—"

"Mencoba membayangkan bertukar posisi gak ada gunanya, tiap masalah pasti datang sama setiap orang dan juga ada jalan keluarnya tersendiri. Emang cuma waktu yang bisa ngebuat kita berjalan buat sabar. Dan jangan lupa, di sisi lo banyak orang yang sayang sama lo. Kita juga berusaha nyari Senna, gak cuma lo. Intinya, kita benar-benar fokus nyari Senna ya?" Bian menepuk pelan pundak Arkan, ujung sudut bibirnya tertarik membuat senyuman indah khas Bian.










AYO YANG KANGEN YANG KANGEN....
ada ga ya?

Maaf banget ya baru update

Ini kenapa genrenya jadi
ke arah detektif-detektif gitu atau gimana gak tau, wkwk.
Jadi intinya guise, fokus ke Senna dulu baru balikan. Etdah siapa yang balikan?

Pura Pura Lupa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang