29

150 28 1
                                    

Arkan dan emosinya.

Dua hal yang tak seharusnya muncul hari ini, seperti orang gila lelaki itu mengcengkram gas pedal melajukan motornya membelah jalanan. Tak tahu lagi apa yang ada dipikirannya, terlalu berantakan. Ia tak pernah berharap bahwa gadisnya itu akan berbohong dengan memberikan alasan yang begitu sangat ia percayai.

Pandangannya berkabut, isi hati dan pikirannya kalang kabut. Tujuannya hanya ingin lekas sampai.

Akan tetapi nihil, takdir berkata lain. Lampu kuning di jalanan yang sudah berganti menjadi merah ia terobos tanpa sadar dirinya memekik kaget. Didapatinya mobil taksi dari arah barat melaju pesat menghalangi jalannya. Sebut saja Arkan bodoh, memang benar dirinya terlalu kalut sampai untuk berniat berpikiran jernih pun tak ada.

Motor kesayangannya terlempar jauh dari posisi badan yang terlentang di tengah jalan. Darah mengucur dari pelipis hingga untuk merasakan apapun yang ada di dunia terlalu hampa. Nala dan Bian yang tak jauh dari posisi Arkan menganga tak percaya, tak berpikir apapun Bian menepikan motornya di tengah jalan juga Nala yang tiba-tiba turun terhuyung-huyung menghampiri Arkan. Diangkatnya kepala penuh darah tersebut dan ia letakkan ke pahanya. Semua orang yang ada di tempat kejadian kalang kabut, menelpon ambulan serta mengatur jalan raya.

Mobil taksi yang diduga tertabrak oleh Arkan sempat berhenti, namun tak ada satupun orang yang keluar dari sana. Badan samping mobil yang sedikit penyok serta kaca yang mungkin sebentar lagi akan pecah, dua duanya terdiam dalam sunyi, baik itu sang supir atau mungkin penumpangnya yang tengah diam dari balik kaca, sedikit mengintip ke arah luar, kemudian ia berucap, "Pak, masih bisa lanjut ke bandara? Saya udah buru-buru."

"Tapi no—"

"Saya yang akan ganti rugi semuanya, baik mobil Bapak beserta orang itu. Bapak hanya perlu mengantar saya ke bandara sekarang. Saya yang akan mengurus kasus ini nanti dengan Ayah saya karena beliau pengacara, percayalah, Pak?"

Menggelengkan kepala tak habis pikir, supir itu menginjak gas pedal untuk melajukan mobilnya. Serta banyak sekali lirihan maaf yang terucap dari kursi penumpang.

•••

Pukul 15.30, gadis dengan surai coklat itu nampak gelisah, langkahnya terus berputar kesana kemari di depan ruangan bercat putih menunggu salah satu dokter memanggilnya.

"Orang tua Arkan dimana?" tanya Raka.

"Baru aja gua telpon, bentar lagi sampai," jawab Bian.

"Ya Tuhan, gimana kalau semisalnya Arkan ngga—" Ucapan Nala terputus diiringi dengan tangisan yang awalnya sudah mereda kini turun lagi. Bian segera mendekap tubuh mungil itu dalam pelukan hangatnya, sesekali menciumi pucuk kepala gadis itu.

"Bian, aku takut banget jujur. Kecelakaan tadi benar-benar terjadi di depan mataku, aku ingat banget gimana kronologinya. Arkan pasti..." pembicarannya terputus dengan sesegukan kecil dari tangisannya, ia tak sanggup untuk melanjutkan.

"Nala listen me. Arkan pasti baik-baik aja ya? Kamu cukup doa dan yakin di dalam hati. Sayang kalau kamu inget kecelakaan itu terus kamu bisa trauma."

"Arkan.."

"Baik-baik aja. Buang pikiran negatifmu tentangnya, itu ngga berguna. " Bian mengelus surai hitam legam milik Nala. Ditatapnya manik kecoklatan yang berair itu dengan senyuman, tangannya terulur untuk menghapus air yang menghalangi keindahan Nala.

"Iya Nala, Arkan itu orangnya kuat masa gini aja dia cemen hahahah," tawa hambar Raka mengundang senyum bagi Nala.

Arsa dengan langkah tergesa-gesa menghampiri mereka bertiga, nafasnya tak teratur akibat berlarian.

"Anu itu... bentarr."

"Nafas dulu, Sa. Baru bicara pelan-pelan," usul Raka. Arsa mengikuti usulan dari Raka, dirasa sedikit tenang daripada tadi ia kemudian berucap, "Gua baru dapat info pengemudi taksi yang ditabrak Arkan lalu melarikan diri sudah berada dipihak kepolisian."

"Gimana kondisinya?"

"Kurang tau gue, tapi katanya penumpangnya yang sedikit lebih parah daripada si sopir karena Arkan nabrak bagian samping deket kursi belakang, terus yang jadi masalah penumpangnya hilang, ngga tau kemana."

"Maksud lo hilang??" Dahi Nala berkerut tampak kebingungan dengan pernyataan Arsa.

"Tadi setelah ditabrak Arkan, taksinya kabur kan?" Nala dan Bian sontak mengangguk bersamaan. "Nah, kayaknya si sopir nganterin penumpangnya dulu," jelas Arsa lagi.

"Keluarga dari saudara Arkan?" Beberapa pasang mata serentak menoleh ke arah pintu ruang operasi.

"Iya bener dok, apakah Arkan baik-baik saja?"

Dokter menggeleng tipis sedikit meneguk ludahnya sebelum ia berucap. "Saudara Arkan mengalami amnesia sementara."

Pura Pura Lupa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang