01

5.1K 270 19
                                    

Pemuda itu menyesap coffe manis yang menurutnya sangat pahit sampai setengah cangkir, menambahkan beberapa sendok gula pasir putih ke dalamnya dan mengaduk secara perlahan. Seleranya memang agak aneh jika kata orang-orang yang pernah berada disekitarnya. Terutama apa kata orang yang sempat mengisi hatinya beberapa tahun silam. Kalau diingat-ingat lucu juga dengan orang yang selalu melarangnya untuk jangan terlalu sering minum coffe terutama pada pagi hari dan menambahkan gula dengan takaran yang tinggi.

Pemuda yang diketahui namanya Biantara itu mengetik sesuatu pada keyboard laptop diselingi acara minum coffe di sore hari yang cukup tenang. Entah mengapa, dia rindu dengan salah satu tempat ini, tempat yang menjadi cerita awal bertemu dirinya dan orang itu. Bukan Bian tidak ingin melupakan, sedikit bernostalgia tidak apa-apa bukan?.

Dentingan suara bunyi lonceng cafe yang menandakan bahwa ada orang yang memasukinya terdengar menggema ditelinga sang pemuda ini. Bian dengan sisi penasarannya melirik ke arah pintu utama yang membuatnya sempat menegang beberapa saat, sosok yang hadir itu adalah bayangan yang benar-benar ia rindukan selama ini. Gadis yang bernama Nala, orang yang Bian sebut-sebut sebagai gadis pengisi hatinya dan tengah bersama dengan salah seorang sahabatnya-Arkan.

Tertawa saja Bian dalam hati, jenaka juga kalau semesta rupaya membuat takdir ceritanya akan menjadi seperti ini.

Mengalihkan atensi, Bian sekali lagi meneguk coffenya, menetralisir rasa rindu dan juga rasa iri dalam hati. Gadis yang dulu sangat dia sayangi sekarang sudah bersama sahabat yang sangat dia percayai. Tidak apa, hanya saja hatinya sedikit terluka.

"Bro? Lo beneran ada di sini?" Suara yang benar-benar tidak pernah Bian harapkan itu datang menghampirinya. Benar saja, itu suara Arkan sembari memamerkan eyes smile andalannya yang memikat hati kaum hawa. Bian mau tidak mau tersenyum hangat dan mematikan laptopnya, berjabat tangan seperti dulu dengan Arkan. Bagaimana pun juga, lelaki itu tetaplah sahabatnya.

"Apa kabar? Udah sehat kan? Gimana operasi lo? Hampir satu tahun loh, gue kira lo ada kenapa-napa. Tapi untunglah, bahagia gue liat lo sekarang sehat gini, " ujar Arkan panjang lebar yang kemudian duduk di hadapan Bian, diikuti dengan Nala yang terlihat sedikit terpaksa.

"Astaga baru sehat udah minum kopi pahit aja," ujar Arkan yang tak habis pikir.

Bian hanya terkekeh kecil kemudian meneguk lagi kopi-nya sebelum berbicara, "Kabar gue baik kok. Soal operasi gue kemarin, maaf nggak bisa ngasih tau banyak orang, takut khawatir. Terutama sama satu orang yang sempat berharga dalam cerita." Bian menjeda kalimatnya, "Pengen banget bilang makasih ke dia udah jadi penyemangat dalam diam di mimpi gue saat operasi, tapi kayaknya dia udah nggak inget gue," tawa Bian hambar sembari menatap netra hitam Nala yang terus-menerus menghindari kontak mata dengannya. Pemuda ini sepertinya sedang menyindir gadis yang ada di depannya itu.

Jujur, bohong sebenarnya kalau seseorang seperti Nala nggak 'kangen' dengan sosok manusia gombal yang satu ini. Tapi kembali lagi ke aturan semesta, sekarang posisi dia berada dimana??.

"Anjir parah tuh orang, masa udah nggak inget lo sih?" Ujar Arkan.

Bian menatap Arkan dengan senyuman miris. Jika saja tidak ada sesuatu yang menimpa Arkan waktu itu, hubungannya dengan Nala tidak akan serumit yang ditakdirkan semesta kembali.

"Kalian berdua nggak pesen makanan?" Tanya Bian yang sepertinya tidak ingin membahas hal itu terlalu dalam.

"Astaga kan keasyikan bicara sama lo, bi. La, kamu mau pesen apa?" Tawar Arkan lembut, siapapun yang mendengarnya pasti sudah luluh dengan suara sang pemilik eyes smile menggemaskan seperti salah satu makhluk bumi ini.

"Pulang aja yuk?"

"Kok pulang? Tadi bukannya mau ke sini pengen makan pasta?"

Nala menggeleng cepat, "Enggak, pulang aja ya? Tiba-tiba aku mules." Bian tahu, Nala beralasan karena ingin cepat-cepat beranjak dari sini. Ternyata sifat Nala masih tetap nggak berubah, Nala yang dulu masih ada dalam dirinya sekarang, mulai dari ciri khas tawanya, senyumnya, cara dia menatap semuanya masih sama. Hanya saja kabar isi hatinya sudah untuk orang lain.

"Kan kita baru dateng la."

"Lain kali kan bisa, kamu kalau nggak bisa anterin aku pulang biar aku sendiri saja," ucap Nala yang kemudian menyambar tasnya dari kursi lalu pergi.

"Anjirlah... Sorry bi, gue nggak bermaksud ganggu suasana gini, tapi maafin sifat Nala ya?"

Bian mengangguk, bahkan sebelum hari ini datang dan Arkan minta maaf sifat Nala ke dia, Bian sudah jauh-jauh hari memaafkan kesalahan Nala.

"Kasih Nala cokelat aja, ntar udah nggak inget sama ngambeknya," saran Bian.

"Oke oke thanks bro, gue pergi dulu. Sekali lagi maaf." Arkan berlari mengejar Nala yang sudah jauh dari pandangan meninggalkan Bian yang tersisa di sini dengan kenangan.

Bian sedikit menyunggingkan senyumnya. Sifat Bian dan Nala yang sama-sama keras kepala dan nggak mau mengalah termasuk dalam suatu faktor pemisah yang terjadi antara mereka. Bian pikir, dengan hadirnya Arkan yang kesannya lebih baik dan lebih lembut darinya dalam cerita Nala, mungkin Nala juga bisa membenahi dirinya sebelumnya daripada bersama dirinya.

Nyatanya semesta lebih ingin ada perubahan pada rasa Nala untuk Bian, bukan pada rasa Bian untuk Nala.

Visual Character :


Biantara Dhanurendra

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Biantara Dhanurendra

Biantara Dhanurendra

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Adriani Nadyanala

 Adinatya Arkan Bratajaya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Adinatya Arkan Bratajaya



Note:

Diperuntukkan buat kamu yang terjebak dalam zona move on tapi bertingkah pura-pura lupa padahal masing sayang :).


Publish:
27 November 2019

Pura Pura Lupa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang