Nala menggigit ujung pulpennya ketika berusaha memindai mana jawaban yang paling tepat dari selembar kertas bertuliskan sejarah-sejarah yang diulang kembali diruang guru. Iya, Nala ulangan sejarah susulan. Sebenarnya cara Nala menyembunyikan bahwa dia belum ulangan sudah tertutupi sampai dua minggu, namun siapa sangka mulut ember milik Kinan malah berkata lain ketika guru sejarahnya itu merasa ada yang kurang dengan nilai mata pelajaran muridnya.
Rasanya Nala ingin menyumbangkan mulut ember Kinan kalau dia bisa.
Nala mengacak rambutnya, pulpen yang ada ditangannya terhenti di nomor 4 dari 20 soal.
"Anjir, perasaan gue udah pernah baca yang ini, tapi kok nggak inget lagi ya?" Ucapnya pelan mengingat sedang berada diruang guru, ia kembali lagi menggigit ujung pulpen yang telah menjadi kebiasaannya ketika grogi, kesal, atau lupa akan sesuatu. Apalagi di tambah guru sejarah yang berdiam diri di dekatnya.Nala mengulang sejarah? Sejarah dia dulu saja belum kelar.
"Jangan digigitin ujung pulpennya, kebiasaan."
Nala menoleh ke sumber suara, terdengar seperti bisikan namun Nala dapat mendengarnya. Di tatapnya lamat-lamat sosok Bian yang memasang tampang datar ke arah Nala, menaruh buku-buku latihan yang mungkin sengaja ia kumpulkan ke depan meja yang sekarang Nala tempati, iya meja guru sejarah.
"Makasih ya, Bian."
"Iya sama-sama Bu," jawab Bian disuguhi senyuman manisnya namun tak beranjak dari tempatnya.
"Bu saya boleh ikutan ulangan sejarah susulan, nggak?" Tanya Bian yang membuat wanita paruh baya itu mendongak, menaikkan sebelah alis. Sedangkan Nala, menoleh ke arah Bian yang sama sekali tidak peduli dengannya sambil mengerutkan alis.
"Bukannya kamu sudah ulangan Rabu kemarin?"
"Yang pas kemarin saya operasi Bu, kata Raka ada ulangan sejarah dadakan. Saya nggak bisa ikut."
"Padahal nggak papa loh bi, kalau kamu nggak ulangan. Udah saya kasih nilai di atas rata-rata, mengingat nilai kamu di mata pelajaran saya baik-baik saja."
Bian menggaruk lehernya, "Tapi Bu, saya nggak enak sama temen-temen. Mereka udah susah-susah belajar, tapi saya dengan semudah itu mendapat nilai di atas rata-rata karena hanya izin operasi. Biarin saya ulangan susulan ya Bu?" Pinta Bian memasang mimik wajah yang dibuat-buat, hingga wanita yang menjabat sebagai guru sejarahnya itu mengeluarkan selembar kertas berisi soal sejarah dan memberikan kepada Bian. "Ya sudah, kalau kamu memaksa."
"Di sebelah Nala ada kursi kosong, kamu duduk di sana ya?" Ujar guru sejarahnya membuat gadis yang juga sedang ulangan susulan itu melotot. Tapi senyum Bian malah merekah, entah apa yang ada dipikirannya sekarang semesta?!
Bian duduk disebelah Nala tanpa menganggap Nala ada disampingnya. Lelaki itu mengeluarkan pulpen dan menjawab soal dengan lima pilihan yang disediakan. Nala juga berusaha tetap fokus pada soalnya walau selalu nihil, lelaki yang ada disampingnya itu cukup menyita sedikit perhatiannya. Satu kata yang terlintas ketika ia melihat Bian dalam benaknya 'kangen'. Sialan rasanya Nala ingin menghilangkan kata itu dari kamusnya.
"Jangan ngeliatin gue, fokus sama soal lo," ujar Bian, namun matanya masih terfokus pada soal miliknya. Nala yang merasa tertangkap basah langsung mengalihkan pandangan, menggigit kembali ujung pulpennya yang membuat Bian berdecak.
"Ckk, kebiasaan banget." Bian menjauhkan pulpen Nala tersebut dari mulutnya. Kebiasaan Nala ini sebenarnya bukan kebiasaan baik baginya.
"Kenapa sih? Hidup juga hidup gue," kesal Nala.
Bian tidak menanggapi ucapan Nala, ia lebih memilih menjawab soal sejarah tersebut. "Senna kembali ya?" Tanya Bian.
"Hmmm." Nala hanya berdehem menjawab, malas mengucapkan sedikit kata apapun kepadanya.
"Oh."
Ting!
Bunyi notifikasi yang terdengar pelan muncul dari sang pemilik, Bian. Di sana tertera sebuah nama seorang gadis yang tidak asing bagi Nala, yang pasti bukan Luna. Bian mengambil ponselnya, mengetikkan balasan dengan cepat lalu meletakkannya kembali di atas meja.
Hati Nala sedikit meringis melihat nama yang sudah lama tidak muncul di dalam hidup Bian. Entah rasa apa yang mengelabuinya, dia malah melontarkan pertanyaan yang seharusnya tidak ditanyakan. "Bi, lo sengaja ya?" Bian menghentikan aktivitas menjawab soalnya, beralih menatap gadis cantik pemberi pertanyaan yang ada disebelahnya. "Apa?"
"Nyakitin hati seseorang?"
Bian terkekeh, menghadapkan seluruh badannya ke arah Nala, "Bukannya kebalik?"
"Lo balikan sama Aleta?" Satu pertanyaan yang keluar dari mulut Nala malah membuat senyuman remeh di wajah Bian.
"Ya terserah gue dong, kenapa gue nggak bisa? Lo aja rela sama Arkan kenapa gue nggak bisa sama Aleta?"
"Terus Luna gimana?"
Pertanyaan yang satu ini makin membuat Bian yakin akan satu hal. Sang pemilik hati bernama Nala sudah pindah ke pemilik hati sahabatnya. Bian pikir, Nala akan marah karena dia kembali bersama Aleta tapi dia malah memikirkan bagaimana nasib Luna.
"Bukan urusan lo." Bian kembali lagi fokus ke soalnya.
"Bian, please jangan nyakitin hati orang lain lagi. Udah cukup, biar gue aja yang lo sakitin. Lo udah nyakitin hati Luna, dan lo malah kembali ke Aleta. Apa it—?"
"Apa urusan lo sama gua ?" potong Bian.
"Tau nggak? Lo itu lebih parah dari gue. Melarang gue mengungkap kebenaran kepada Arkan dan gue dengan bodohnya membiarkan orang yang gue sayang merawat sahabat gue sendiri dengan alasan sahabat."
"Gue tau kalian berdua sahabat sedari kecil. Tapi lo nggak ada sedikit pun rasa perhatian ke gue pas gue kecelakaan dan operasi."
"Udah puas kan nyakitin hati gue La?" sambungnya
Nala terdiam menunduk ke bawah. Bian menghela nafas panjang lalu menghembuskannya. "Maaf sebelumnya, gue pergi." Bian mengumpulkan kertas ulangannya kepada guru sejarah tersebut dan meninggalkan ruangan guru tanpa sedikit pun melirik ke arah Nala.
Sebenarnya Nala juga bingung apa yang diinginkan hatinya. Dia ingin bersama keduanya, Bian dan Arkan tapi bagaimana bisa? Itu egois kalau kata Kinan.
Biarkan selembar kertas soal ulangan sejarah menjadi saksi.
Tapi, tokoh baru lagi, sialan. Visualisasinya nanti ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Pura Pura Lupa
Teen Fiction"Dulu, kita sempat mengenal cerita indahnya berbagi perasaan. Tapi sekarang, kita bahkan merasakan pedihnya berbagi rasa kehilangan." Pernah percaya dengan yang namanya pura-pura lupa? Atau kamu adalah bagian dari yang sering mengabaikannya? Karena...