20

712 98 6
                                    

"Senna buburnya dimakan dong, setelah baru itu minum obat," ujar Ibundanya dengan nada melemah, sudah berapa kali ia menyuruh anak gadisnya untuk segera makan, namun tak ada kemajuan.

"Ck, serius aku pusing sendiri ngurusin anak gila kayak gitu," lirih wanita paruh baya itu seraya memijit pelipisnya. Senna hanya melirik ke luar kamar mendapati Ibundanya yang bersandar di rak-rak dapur lalu kembali meringkuk.

"Tante, Senna masih gak mau makan?" Tanya lelaki dengan kemeja kotak-kotak merah yang baru saja datang dari apotik dan membeli beberapa obat dari sana.

Ibundanya Senna hanya mengangguk pasrah kemudian berucap, "Tante stress sendiri rasanya, Kan. Kalau kayak gini terus mending dibawa ke psikiater atau gak langsung lempar ke rumah sakit jiwa biar gak nyusahin."

Kata-kata itu, kata-kata yang membuat dada Arkan sendiri merasa sakit. Bagaimana mungkin seorang Ibu tega melakukan hal seperti itu kepada putri semata wayangnya?

Arkan meneguk ludahnya dan melirik ke arah Senna. "Saya janji bakal berusaha membuat Senna kembali seperti dulu, Tante."

Ibunda Senna mengalihkan pandangan seraya melipat kedua tangannya. "Bagus, sudah seharusnya kamu berjanji karena kamu yang menyebabkan anak saya menjadi seperti itu."

"Lelaki memang penuh tanggung jawab, Arkan. Jadi saya serahkan urusan Senna ke kamu. Kalau ada apa-apa hubungi aja, habis ini Tante mau ngurus kerjaan di kantor. Tante tinggal dulu ya?" Ibundanya Senna berlalu seraya singgah sebentar di depan kamar anaknya dan sedikit mengelus pucuk kepalanya.

"Pilihlah antara mau bertahan atau melepaskan, Sen?"

"Senna makan yuk?" Sudah lebih dua jam Arkan membujuk gadis yang tengah duduk di ranjang seraya memeluk kedua lututnya itu.

"Sen?" Panggil Arkan yang mencoba menyelipkan rambut Senna ke belakang telinga.

"Arkan pukul berapa sekarang?"

Kedua alis dan dahi Arkan berkerut, diliriknya jam yang melingkar di tangan. "Pukul 20.45? Ada apa? Kamu mau sesuatu, biar aku cariin? Masih banyak orang yang jualan jam segini."

"Enggak, kamu di sini aja." Senna spontan memeluk Arkan, merebahkan dirinya di dada Arkan yang sempat menjadi tempat favoritnya sampai sekarang.

Arkan menghela nafas, lalu membelai rambut Senna dari atas sampai ke ujung. Entah, berapa banyak kesalahan yang telah ia perbuat sekarang, hatinya tiba-tiba berkecamuk ketika bayangan Nala ada dalam pikirannya. Satu telpon atau satu notifikasi pesan pun tak ia dapatkan semenjak ia berkelahi hebat dengan gadis itu.

Arkan jadi bingung, di sini dia hanya sekedar membantu Senna untuk sembuh karena depresinya sebagian dikarenakan olehnya. Dalam situasi ini Senna benar-benar membutuhkan Arkan. Siapa lagi yang mau peduli? Ibunya saja bahkan ingin segera mengirimnya ke rumah sakit jiwa. Ayahnya? Jangan harap.

Tiba-tiba ponselnya berdering, ia dengan semangat mengambil ponselnya yang ia kira seseorang yang menghubunginya itu adalah Nala, tapi nama yang tertera membuat senyum Arkan luntur.

'Kinan'

"Sen? Kamu tidur dulu ya? Aku mau ngangkat telpon sebentar," ucap Arkan yang mencoba melonggarkan pelukannya.

"Dari siapa?"

"Dari Bunda," jawab Arkan seraya memamerkan eyes smile-nya itu dan berjalan keluar kamar, sebelum itu dia memastikan apakah Senna benar-benar tidur atau belum. Karena dirasa sudah ia menutup pintu kamar lalu menuju ke ruang tengah dan mengangkat panggilan berisik tersebut.

"Halo sorry baru bisa ja—"

"Lo dimana anjir??!!" Teriakan itu bukan suara Kinan, melainkan suara Raka yang membuat Arkan sedikit menjauhkan ponselnya dari telinga.

"Di rumah Senna, kenapa?"

"Ini mah bego yang dipelihara," timpal Arsa.

"Kenapa sih nelpon malem-malem begini? Kalo gak penting gue tutup."

"Kinan, ini nomornya Arkan bukan sih?" Tanya Arsa dari seberang sana.

"Ya Arkan yang mana lagi?? Kan lo yang ngirim kontaknya ke hp gue," jawab Kinan.

"Jadi kalian nelpon gue cuma buat dengerin kalian ngomong? Gak penting!"

"Bro lo tuh bego atau gimana sih? Gini, bukannya kita ikut campur urusan lo tapi kan posisi lo di sini masih punya pacar terus ngapain ngurusin cewe lain? Kita frustasi tau gak?" Semprot Raka.

"Kalian gak ngerti." Nada bicara Arkan mulai menurun, ia kemudian duduk di sofa dan menghela nafas.

"Gimana kita bisa ngerti kalau lo-nya aja gak cerita?" Sambung Arsa.

"Lo juga gak ngerti gimana perasaan dan posisi Nala saat ini? Oh iya emang lo pernah nanya dan gak pernah mikirin Nala, kan?" Kali ini Kinan yang bersuara.

"Kalo lo bukan sahabat kita Kan, udah gue biarin Bian mukulin lo," tutur Raka.

"Lo tuh ya Kan, apa-apa dipendam kan kitanya gak tau. Lo anggep kita sahabat atau apa sih?"

Arkan memijat pelipisnya, sungguh ia semakin pusing karena semakin disudutkan. Bohong kalau Arkan sama sekali gak kepikiran Nala terus menerus, rasa bersalah dan penyesalan juga terus berdatangan menghampiri dirinya. Tapi satu kalimat menahannya untuk pergi.

Ia menghela nafas untuk ke sekian kalinya. "Senna butuh gue, benar-benar butuh gue. Dia depresi gara-gara gue dan susahnya gak mau dibawa ke psikiater. Gue udah janji sama Mamanya buat nyembuhin Senna, karena kayaknya ini satu-satunya jalan buat nebus kesalahan gue ke dia di masa lalu yang bahkan gak gue inget sama sekali. Tapi entah kenapa gue ngerasa harus bertanggung jawab ke dia. Tolong banget kalian bisa ngerti posisi gue."

"Seberapa yakin penyebab depresi Senna gara-gara lo?"

"Gue denger dari Mamahnya langsung dan gue yakin kayaknya gue emang pernah salah sama Senna dulu."

"Ya tapi kan lo—"

PRANGGGG...

Tiba-tiba Arkan mendengar suara pecahan kaca tepat dari kamar Senna, segera Arkan berlari dari ruang tengah menuju kamarnya Senna. Anehnya pintunya terkunci padahal tadi dia hanya menutup rapat.

"Sen?? Buka pintunya!!!" Arkan menggedor pintu kamar Senna tetapi tidak ada jawaban dari sang pemilik kamar. Perasaan Arkan semakin gelisah, ia terus mencoba membuka pintu itu dan sesekali mendobrak dengan kaki dan badannya.

"Senna?! Kamu ada di dalam kan?!!" Jangan macem-macem!!" Teriak Arkan yang masih berusaha.

"Arkan?? Arkan? Apa yang terjadi?!" Rupanya sambungan telpon itu masih terhubung.

"Pintu kamar Senna tiba-tiba terkunci padahal tadi gue gak ngunci dia dalem kamar."

"Arkan! Coba tenang dulu bro."

"Gimana gue bisa tenang anjir, Senna tanggung jawab gue!!"

Arkan rasanya semakin emosi hingga dobrakan yang ia buat berhasil membuka pintu kamar Senna itu. Deru nafasnya tidak beraturan apalagi melihat kamar Senna yang lebih berantakan daripada sebelumnya.

"Arkan? Kok diem? Apa yang terjadi? Lo udah bisa dobrak pintunya? Atau gak gue sama Arsa bakalan ke sana."

Arkan memejamkan matanya dan mengepalkan tangannya kuat. "Ka, Senna hilang."

Pura Pura Lupa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang