Eheheeheh
Special Bian-Nala nih...
Pelan-pelan ya bacanya^^
Tapi, seneng nggak?Demi neptunus yang ikut berputar mengelilingi matahari, Nala benci situasi ini. Masih ada sosok Bian yang menyenderkan kepalanya di dinding dan menatap ke depan dengan tatapan kosong.
Aleta sudah pergi beberapa menit yang lalu setelah sedikit mengobati beberapa luka Bian, meninggalkan beberapa obat yang harus di minum jam berikutnya. Sekali lagi, Nala benci suasana ini, apalagi dengan Bian. Laki-laki itu dulunya tidak pernah diam ketika di dekatnya, ada saja celotehan ataupun gombalan manis yang keluar dari mulutnya, dan sekarang sangat hampa.
Tiba-tiba ponsel Nala berdering, tertera di sana nomor mas sipit yang mungkin dengan segala rasa kekhawatirannya. Nala melihat ponselnya yang bergetar di atas meja, tapi sesekali melirik ke arah Bian seperti minta persetujuan. Bian yang sedikit mengerti hanya mengangguk kecil kemudian bersandar lagi ke dinding dan memejamkan mata. Mungkin dia lelah akan hari yang panjang ini.
"Halo?"
"Halo, La? Udah baikan?"
"Udah," jawab Nala seadanya.
"Maaf ya La, hari ini aku nggak bisa nganter pulang. Anggota basket di suruh kumpul."
"Emangnya kamu nggak merasa sakit? Lukamu? Masa udah di bawa main basket?"
"Aku nggak sakit sayang. Aku bahkan lebih dari kuat. Udah ya aku tutup dulu, nggak usah di jawab karena aku tahu jawaban kamu pasti omelan. Bye!"
Arkan mematikan panggilannya secara sepihak karena tidak ingin Nala tiba-tiba mendengarnya meringis kesakitan. Iya, dia sengaja memutuskan panggilannya itu dengan cepat karena kepalanya sakit dan terasa pusing. Ia memeganginya dan sekuat mungkin menyangga posisi tubuh agar tidak terjatuh. Otaknya seperti memaksa berpikir lebih jauh tentang kejadian yang pernah ia alami.
Semenjak ucapan Luna dan Senna di UKS tadi, otak Arkan seperti kumpulan abstrak puzzle yang ingin disatukan, tapi pemiliknya tidak pernah melakukan.
"Arkan baik-baik aja kan?" Tanya Bian dengan kedua mata yang masih terpejam.
Nala enggan menjawab dengan kata, dia hanya memberikan anggukan kecil padahal Bian tidak melihatnya.
"Boleh nggak gue bilang satu hal?"
Untuk kedua kalinya Nala mengangguk, tapi kenapa kenapa perasaannya campur aduk?. Bian memposisikan dirinya menghadap ke arah Nala, walaupun jarak mereka yang lumayan jauh, Bian mampu menatap manik mata kecoklatan milik Nala yang terlihat gugup itu.
"Cantik," gumam Bian seraya memiringkan senyumnya.
"Hah? Lo ada bilang apa?"
"Lo cantik."
Demi apapun sekarang, pipi Nala merah merona sekarang.
"Tapi itu bukan satu hal yang gue bilang."
Seperti dihempaskan oleh tetesan hujan, wajah dan hatinya ikut mendung sesaat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pura Pura Lupa
Teen Fiction"Dulu, kita sempat mengenal cerita indahnya berbagi perasaan. Tapi sekarang, kita bahkan merasakan pedihnya berbagi rasa kehilangan." Pernah percaya dengan yang namanya pura-pura lupa? Atau kamu adalah bagian dari yang sering mengabaikannya? Karena...