"Sudah, kamu masuk sana. Aku takut kalau besoknya kamu sakit." Begitu kata Arkan setibanya di depan rumah Nala, tubuhnya benar-benar basah kuyup, Nala yakin besoknya bukan dia akan jatuh sakit melainkan Arkan melihat kondisinya seperti ini.
"Kamu mendingan masuk dulu. Ini hujannya deras banget, aku malah takut kamu yang kenapa-napa."
"Cieee, perhatian ya sama aku?" Goda lelaki itu. Sempat saja bercanda di bawah turunnya hujan sang semesta.
"Nggak ada waktu buat bercanda, ayo masuk! Parkirin motor kamu di garasi aku."
Nala dengan terpaksa harus menarik lengan pemuda itu sampai dia mau, untungnya Arkan tidak menolak dan memakirkan sepeda motornya itu di garasi. "Aku nggak enak sama orang tua kamu, mendingan aku pulang aja ya?" Nala menggeleng kukuh, tidak mengacuhkan ucapan Arkan dan segera membuka pintu rumahnya.
"Masuk dulu, aku ambilin handuk sama baju ganti."
"Tapi la—"
"Kamu kalau terus mengelak aku pukul!" Ancam Nala.
Bukannya takut, Arkan malah memamerkan eyes smilenya. "Aduhh gemes banget sih kalau lagi marah begini," ucap Arkan sembari mencubit pipi Nala yang tampak memerah. Semesta! Ada apa dengan Nala? Nala berpaling dan pergi lalu mengambil handuk dan baju ganti yang ia ambil secara asal dari lemari orang tuanya.
"Ganti baju dulu kamu sana!"
"Iya-iya," ujar Arkan kembali tersenyum, gemas sekali dia dengan gadisnya yang satu ini.
Tidak butuh waktu berapa lama, Arkan keluar dari kamar mandi, lengkap dengan rambut yang lepek dan basah seakan menggoda iman kaum hawa. Astaga! Apa yang sudah dipikirkan Nala sekarang???
Benar saja, Nala sempat bengong menatap sosok Arkan yang benar-benar tidak nyata sekarang. Tunggu, apa Nala baru sadar seorang Adinatya itu benar-benar tampan??.
"La? Kok bengong?""Euhm.. nggak kok! Siapa yang bengong?"
"Ya kamu lah, siapa lagi yang ada di dalam rumah ini?"
Nala meneguk ludah kasar, "Sini, aku bantu ngeringin rambut kamu," ujarnya mengalihkan pembicaraan.
"Serius?"
"Ya kalo kamu nggak mau ya sudah." Nala mengambil ponselnya kembali, pura-pura tidak peduli sampai Arkan duduk di bawah Nala yang sedang duduk di atas sofa, lagi-lagi ia memamerkan senyum yang membuat matanya itu menghilang. Ya ampun gemas sekali!.
"Bantu aku ya?" Ujarnya seraya memberikan handuk kecil kepada Nala sebagai kode yang membuat Nala mengulum senyumnya.
"Baju Ayah aku kegedean ya?" Tanya Nala membuka suara di sela-sela dia mengeringkan rambut basah Arkan.
"Nggak, pas kok! Tapi Ayah kamu emang nggak marah aku makai bajunya?"
Nala menghela nafas, "Ayah udah meninggal setahun yang lalu, dan baju itu rencananya mau disumbangin tapi Ibu nggak mau."
"Setahun yang lalu? Berarti waktu aku udah amnesia ya?" Nala dalam diam mengangguk, otaknya kembali menayangkan beberapa kenangan tentang bagaimana dia harus merawat Ayahnya dan menjaga Arkan saat itu. Hanya Nala dan Tuhan yang tahu bagaimana sulitnya dia dalam posisi tersebut. Dan untuk kejadian Bian, Nala sendiri yang memutuskan untuk tidak menjenguknya setelah sempat hadir insiden yang tidak diharapkan terjadi.
"Aku udah lupain berapa banyak hal, La?" Tanya Arkan dengan nada sendu. Bagi Arkan, rasanya itu seperti ada yang kurang dalam bagian dirinya. Sepotong kenangan masa lalu yang tersusun acak, hadir dalam memorinya.
"Lumayan banyak," jawab Nala
Termasuk bagaimana seharusnya hubungan aku, kamu dan Bian, Nala berujar dalam hati.
Arkan tersenyum miris kemudian berbalik menatap Nala, meraih tangan gadis itu dan menggenggamnya. "La, apapun yang terjadi. Bantu aku mengingat semuanya ya?"
•
"Bian? Kamu demam?!" Luna seketika membuat heboh seisi kantin hanya dengan memegang dahi Bian. Bagaimana tidak? Bian yang baru saja masuk sekolah langsung berpacaran dengan Luna? Apa tidak terkejut se-antero sekolah? Apalagi dulu waktu kelas 10, Bian dan Nala termasuk deretan couple goals, tapi sekarang sepertinya posisi itu berubah.
"Kamu habis nganterin aku, pasti main hujan-hujanan ya?" Tebak Luna.
"Astaga, enggak. Orang langsung pulang kok," bohong Bian seraya melirik ke arah gadis yang sedang khidmat menikmati semangkuk bakso dengan pemuda di hadapannya, Arkan yang tidak jauh dari tempat Bian.
"Anjir punya temen pacaran semua, cuma kita yang ditinggal ka," ucap Arsa serta merangkul Raka dan tiba-tiba datang mengambil seenaknya makanan Bian.
"Kita nggak pacaran," elak Bian yang membuat gadis disampingnya itu melotot kaget.
"Kamu katanya suka sama aku?"
"Kapan gue bilang?"
"Kemarin! Sebelum kita pulang bareng. Aku nemenin kamu nugas sebentar sampai kamu ketiduran dan kita kehujanan."
"Maaf, kayaknya gue cuman mimpi pas ketiduran." Nafas Luna membara, ia menatap jengkel netra Bian, menggebrak meja lalu pergi dari kantin yang membuat seisi kantin lagi-lagi bergosip ria. Nala yang sedang menikmati baksonya pun juga menatap gadis primadona itu meninggalkan Bian dengan tatapan kecewa dan marah.
"Udah berapa banyak hati cewek yang lo sakitin demi melampiaskan isi hati?" Tanya Raka dengan tatapan mengintimidasi.
"Baru juga dia," jawab Bian santai.
"Anjir, makin hari gue pusing sama sikap lo bi. Sumpah ya lo tuh berubah!" Ujar Arsa.
"Tanya dulu sama pikiran lo, siapa yang berubah," jawab Bian yang melayangkan pandangannya ke arah Arkan dan Nala.
"Mau sampai kapan kalian berdua nggak jujur gini sama perasaan masing-masing?" Raka memutar bola mata malas, memainkan sedotan dari minumannya itu. Bian meneguk minumannya, memperhatikan pasangan tersebut sambil tersenyum kecut. "Udah jelas kali ka, hatinya buat siapa sekarang."
"Seenggaknya selesain baik-baik dulu masalah satu tahun yang lalu. Gue yang nggak ngejalanin aja kadang risih, apalagi lo!"
"Masalah yang itu? Hahaha, seharusnya kalian sadar, dari sana dia udah mulai berubah sampai kejadian itu terjadi."
"Kalian liat kan? Apa dia peduli pas gue operasi kemarin? Nggak kan?! Menampilkan batang hidung aja nggak pernah, apalagi menyelesaikan masalah," sambung Bian yang kemudian beranjak pergi dari kantin dan membayar semua makanannya.
"Nggak tau ah! Pusing gue sama masalah mereka!"
Sama, gue yang ngetik pusing juga π_π
KAMU SEDANG MEMBACA
Pura Pura Lupa
Teen Fiction"Dulu, kita sempat mengenal cerita indahnya berbagi perasaan. Tapi sekarang, kita bahkan merasakan pedihnya berbagi rasa kehilangan." Pernah percaya dengan yang namanya pura-pura lupa? Atau kamu adalah bagian dari yang sering mengabaikannya? Karena...