27

289 45 2
                                    

Bian berhenti tepat di depan pohon kemudian duduk di bangku putih yang sedikit berbunyi ketika ia duduki, ia menepuk tempat kosong meminta Nala duduk disampingnya, dengan ragu gadis itu duduk perlahan di samping lelaki dengan surai coklat tersebut.

Sudah lama tidak berdua seperti ini dan yang terjadi hanya kecanggungan. Nala memutar otak mencari topik yang harus ia ucapkan untuk mematikan hawa canggung ini.

"Tadi lo ma—"

"Pipi lo masih sakit ngga?” Bian memotong pertanyaan Nala, ia menangkup pipi Nala dan melihat pipi gadis itu yang sedikit memerah sekarang.

"Mau gua kompres ngga biar agak mendingan?"

"Ngga usah." Nala memalingkan wajahnya yang otomatis melepas tangkupan Bian dari wajahnya.

"Yakin?" tanya Bian yang terdengar sedikit ragu.

"Sakitnya ngga seberapa, Bi. Masih sakit Arkan."

Bian mengulas senyum, lagi-lagi ia mengulas surai milik Nala. Bukan berarti bermaksud mengambil kesempatan ketika Arkan tidak ada, ini hanya sebuah bentuk rasa kasihan dan ingin membuat rasa ketenangan bagi Nala.

"Dua tahun yang lalu, Arkan begini juga kan?" Nala menoleh sebentar ke arah manik mata Bian yang menatap lurus, seakan tahu kemana arah dan tujuan pembicaraan ini. Ia kemudian mengikuti pandangan mata lelaki tersebut.

"Hahah, iya..." tawa yang hambar, ada sedikit rasa pedih kita mengingat hal yang terjadi dua tahun belakangan.

"Harusnya dari awal kita kasih tau Arkan ngga si?" tanya Nala. "Ah... bukan kita tapi gua, salah gua yang ngga pernah cerita dan ngga pernah mau cerita ke Arkan. Soalnya gua takut kalau Arkan tahu semua masalahnya dengan Senna dia bakalan trauma jadi gua milih diam aja, ngga taunya serumit ini," sambungnya.

Bian melipat kedua tangannya di dada, menyenderkan punggung mulusnya di sandaran kursi, ia membalas menatap gadis itu dengan dipenuhi wajah yang banyak memiliki penyesalan.

"Kenapa berpikir begitu?"

"Yaa... coba aja dari awal gua kasih tau Arkan semuanya pelan-pelan, pasti keadaannya ngga kaya gini, kan? Dan kita..."
Nala menggantung ucapannya, sepertinya ia terlalu banyak mengeluarkan emosi dalam hati yang ia simpan selama ini.

Bian terkekeh, "I know how you feel. Tapi takdir semesta ngga akan pernah salah, semuanya punya tujuan dan makna diakhir, sebentar lagi lo pasti tau kenapa semesta ngasih takdir kayak gini."

Nala diam mencerna ucapan Bian. "Karena lo kuat, La. Arkan, Senna, gua, lo, juga yang lainnya emang ngga tau takdir sejahat ini sama kita. Jangan cuma salahin semesta sama salahin diri lo sendiri, percuma."

"Habis ini bicara sama dokter, kan? Kalau ada sesuatu yang ngga pengen lo denger dari dokter itu, kuatkan hati lo terus doa sama Tuhan. Apapun yang bakal lo denger nanti, bukan salah lo, sepersen pun bukan salah lo."

Nala mengangkat kepalanya, matanya sudah dihiasi dengan butiran air mata yang dalam hitungan detik pasti akan jatuh.

"Gua boleh peluk lo ngga? Sumpah rasanya sakit banget, Bi."

Bian membuka lebar tangannya, menerima Nala ke dalam pelukan agar bisa memberi ketenangan. "Anything you want."

Nala menangis sejadi-jadinya dalam dekapan Bian, sementara Bian yang dipeluk memberi segala rasa nyaman dan ketenangan yang ia bisa. Nala mengeratkan pelukannya, bahunya masih naik turun tak ada tanda-tanda ingin berhenti.

"Puasin aja dulu nangisnya ya, La. Besok-besok jangan lagi."

Pura Pura Lupa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang