31

169 30 0
                                    

"Sudah selesai, Arkan?"

Lelaki itu menatap sayu netra coklat perempuan yang ada disebelahnya, tersenyum pucat memakai gaun putih panjang yang menutupi sampai ke bagian kaki juga rambut halus yang tergerai indah. Namun wajah tersenyum itu sama sekali tidak menunjukkan tanda kebahagiaan yang Arkan lihat. Layaknya berada dalam sebuah mimpi, tubuhnya seperti tembus pandang tetapi terlalu nyata untuk melihat keberadaannya.

Akan tetapi alih-alih menjawab pertanyaan yang dilontarkan, Arkan hanya tetap diam seraya menunduk ke bawah, entah mengapa pikirannya semakin berkecamuk.

"Nanti, kamu tanya sama gadis itu," ujarnya seakan bisa membaca pikiran dari sang lawan bicara yang sedang menampung semua peristiwa yang baru saja ia lihat. Jari telunjuknya menunjuk ke arah Nala yang sedang bertatapan dengan Arkan lainnya dengan tatapan kosong.

"Nanti? Maksudnya?"

"Kamu tidak mau kembali?"

"Kemana?"

"Ke asalmu."

Arkan mematung, tak sadar jika ada sosok lain yang mirip dengan dirinya di dekat ia berdiri, tepat di sebelahnya Nala serta Bian yang berada di samping gadis itu dengan setia mengelus surai itu dengan lembut mengucap beberapa kata penenang atau berkali-kali menanyakan 'sudah mau makan atau belum?'. Gadis itu tak seperti biasanya.

"Sudah lebih dua bulan, aku rasa sudah cukup kamu disini."

"Senna, tapi kamu—"

"Aku sudah tiada, Arkan." Arkan mengerjapkan matanya berkali-kali setelah mendengar penuturan Senna yang sejak dua bulan lebih ini menemaninya di ruangan sepi bernama rumah sakit, pikirnya ia telah ditinggalkan oleh semua orang karena sudah tiada, terpisah dengan dirinya sendiri. Lalu ia bertemu dengan Senna, satu satunya orang yang ada disampingnya hingga saat ini namun faktanya ia, perempuan itu sudah lama  pergi.

Mengerti Arkan yang nampak diam, Senna kemudian berucap "Kamu belum tiada, hanya aku."

"Jadi kamu sudah meninggal waktu itu? Dua bulan yang lalu?"

"Benar, aku yang memilih keputusan itu lalu aku akan berani bertanggung jawab atas semuanya. Aku benar-benar pendosa. Aku melakukan hal keji di Australia sampai seluruh berita tahu tentangku, aku juga tanpa sadar secara tidak sengaja telah membuatmu kecelakaan hingga amnesia waktu akan pergi ke bandara. Sebelum aku mengakhiri hidupku, aku juga sempat mendorong gadis tak bersalah di jembatan waktu itu karena ego dan emosiku telah bercampur, Nala memang benar aku tak pantas untuk dimaafkan."

"Dan kini, aku sudah tiada di sini." Matanya yang nampak berair itu memandang lelaki di hadapannya, lelaki yang pernah begitu ia cintai sebelum ia tahu betapa bejatnya seseorang bernama James itu dalam kehidupannya. Sungguh beribu maaf dalam hatinya, untuk semua kesalahannya, untuk Arkan.

"Aku mohon izinkan aku menebus dosaku setidaknya untuk hal yang satu ini. Kamu harus segera pulang, disini bukan rumahmu masih banyak orang yang senantiasa menunggumu, kamu tidak akan pernah kesepian. Jadi Arkan, aku antar sampai sini saja, ya?"

"Senna, tolong—"

"Jangan berharap denganku, Arkan. Pulang, ya? Aku mohon. Di sini bukan tempatmu, di sini tempatku. Akan lebih sakit jikalau kamu tetap di sini bersamaku, Arkan." Senna memberikan tatapan sendunya dengan harapan lelaki itu mau mendengar permintaan terakhirnya.

"Boleh aku menggenggam tanganmu sebentar saja? Untuk terakhir kalinya?" Tanpa ragu-ragu Senna mengulurkan tangan kanannya kemudian kedua telapak tangan itu menyatu menjadi sebuah kehangatan.

"Terima kasih, aku—"

"Jangan berterima kasih kepadaku, segeralah untuk kembali ke asalmu. Kamu terlihat sangat merindukan Nala. Ohh ya, aku harap kamu pelan-pelan bisa menerima semuanya, terutama hubungan Bian dan Nala." Terakhir, Senna mengelus surai hitam legam milik Arkan, ditatapnya dua bola mata kecoklatan nan indah tersebut, mengelus pipi lembut Arkan dengan tangan kirinya, ia tersenyum.

"Aku pamit, terima kasih dan maaf untukmu Arkan."



Pura Pura Lupa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang