18

158 16 3
                                    

Gio menghentikan motornya di halaman rumahnya. Sedetik kemudian ia membuka helm dan turun dari motornya. Laki-laki itu nampak lemas, wajahnya pucat. Namun ia tidak merasakan apapun kecuali rasa sakit yang menggema dalam hatinya.

Hidup sendiri di usianya sangatlah berat. Kadang Gio berpikir, kenapa hanya ia yang menderita? Kenapa tidak anak lain saja. Kalau jawabannya adalah karena Gio yang kuat, itu salah. Gio membantah itu, ia tidak pernah kuat. Dinding rumah dan hawa dingin menjadi saksi bisu tangisan Gio.

Gio menatap rumahnya lama. Bahkan bangunan di hadapannya ini tak bisa membuatnya hangat. Bahkan rumah yang di katakan rumah ini tak pernah membuatnya aman. Lalu Gio bisa apa? Selain menerima semua jalannya dan kembali masuk ke dalam rumah itu, menikmati hawa dingin dan tangisan yang akan kembali datang. Namun baru melangkah, Gio mendengar suara mobil memasuki area halamannya. Laki-laki itu sedikit menyipit, mengamati 2 orang yang baru turun dari mobil. Seketika matanya membulat, bibirnya mengatup sempurna, ia tak bisa berkata-kata.

"Gio!" panggil seorang wanita dan langsung memeluk Gio erat.

Gio tak membalasnya. Ia hanya diam dengan mata yang perlahan berkaca-kaca. Pelukan ini mampu membuatnya darahnya berdesir hangat dan merasakan kenyaman yang tak di miliki siapapun.

"Maafin mama, ya? Mama lupa..."

Mendengar itu membuat hati Gio terasa sangat sakit. Aneh, padahal ia sering mendengar hal itu, namun kenapa rasanya kali ini sangat sakit?

"Maafin papa juga ya Gio? Anak papa—"

"Emang Gio bukan anak papa?" potong Gio dan langsung melepaskan pelukannya.

Bima menatap Gio." Kamu anak papa Gio, kamu tetap anak papa dan mama."

Gio tertawa sinis, lalu menatap kedua orang tuanya." Bohong. Kalau anak kenapa di lupain terus? Kalau Gio masih anak kalian kenapa Gio enggak pernah merasakan kasih sayang? Kalau Gio anak kalian kenapa kalian selalu ninggalin Gio? Kenapa?—" Gio menahan tangisnya, hatinya terasa sangat sesak.

"Kata orang hubungan anak dan orang tua enggak akan putus meskipun hubungan orang tua itu putus, tapi ternyata bohong. Setelah kalian pisah, hubungan kalian selesai, kalian memutus hubungan sama Gio juga. Mungkin mama dan papa masih bisa tidur nyenyak, makan, dan baik-baik aja karena udah menemukan keluarga baru. Tapi Gio? Gio enggak pernah baik-baik aja setelah perceraian kalian, Gio enggak pernah makan dengan baik apalagi tidur dengan nyenyak. Gio sakit ma, pa, tapi kalian enggak pernah mau tau tentang rasa sakit Gio..."

Celine— wanita itu terdiam. Hatinya seperti tertusuk mendengar pernyataan putranya. Ia selalu mengira bahwa Gio baik-baik saja. Namun saat ini, ia melihat sendiri bahwa Gio hancur.

"Gio... maafin mama... maaf..." hanya kalimat itu yang mampu keluar dari bibir Sinta.

Gio diam tak bergeming. Ia menatap keduanya sebentar lalu melangkah masuk ke dalam rumah. Kali ini ia memilih untuk berteman dalam rasa sepi dan sakit. Karena saat ini, rasa itu lebih baik. Ya, lebih baik jika di bandingkan tetap menatap dua orang yang membuatnya sakit. Dua orang yang selalu meninggalkannya.

Sementara Celine, la langsung berlari ke pintu rumahnya dan mengetuk pintu itu berulang kali. Namun sayangnya, semuanya seperti sudah usai. Kata maaf, seperti sudah tidak bisa di terima lagi. Kini kenyataannya, putranya benar-benar meninggalkannya. Dan itu semua— itu semua kesalahannya sendiri.

"Ayo pulang saya antar." ucap Bima

Celine menggeleng." Aku enggak mau, aku mau ketemu Gio."

"Jangan sekarang. Ayo kita pulang dan renungkan kesalahan kita. Kali ini kita yang salah, kita yang enggak baik, dan kita yang egois."

Ini Cerita KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang