26

148 16 5
                                    

Icha menatap Gio dan Clara secara bergantian. Ia masih tak menyangka apa yang ia baru dengarkan. Dua orang yang paling ia sayang justru menjadi luka terhebatnya saat ini. Saking sakitnya, Icha sampai tak bisa berkata apapun. Ia hanya bisa menatap keduanya sendu dan tak percaya. Berjuta kali Icha menyadarkan dirinya bahwa ini hanyalah mimpi. Namun sayangnya semuanya terasa sangat nyata.

"Cha aku jelasin dulu ya." ucap Gio sambil menggenggam tangan Icha. Namun sayangnya, gadis itu langsung menepis tangan Gio dan mundur.

"Gio... gue keliatan menyedihkan banget ya sekarang?"

Gio menggelengkan kepalanya." Cha dengerin gue dulu."

Icha menitikkan air matanya. "Gue harus denger apa lagi? Lo sama sahabat gue punya hubungan di belakang gue? Perasaan lo ke gue cuma sebatas kasihan? Gue harus denger apa lagi, Gio? Kenapa dari semuanya harus Clara? Kenapa harus sahabat gue? Kenapa?"

Gio tak bisa berkata-kata. Ia hanya bisa mengutuki dirinya yang jahat ini.

"Cha maafin gue." ucap Clara tiba-tiba.

Icha menatap Clara, ia tersenyum miris dengan tatapan mata yang kosong." Lo sahabat gue, Ra... kenapa? Kenapa dari semua yang gue punya, lo pilih ambil pacar gue?... "

Clara menitikkan air matanya, ia melangkah mendekat dan berusaha memeluk Icha. Namun sayangnya gadis itu kembali menjauh membuat langkah Clara terhenti.

Icha terkekeh dengan air mata yang terus keluar, ia menatap keduanya." Ketawa aja, kalian pasti mau ketawain cewek bodoh ini kan? Ayo jangan di tahan, gue pasti kelihatan menyedihkan banget kan sekarang? Liat muka gue, ini kan yang kalian tunggu?" tanya Icha.

Clara menggelengkan kepalanya." Cha maafin gue...maafin..."

Icha meremat gaunnya erat, sungguh hatinya terasa sangat sakit saat ini." Gue yang seharusnya minta maaf karena jadi penghalang buat kalian sejak awal. Harusnya gue ga bodoh, harusnya gue enggak perlu maksain hal yang gabisa, harusnya gue enggak pernah ketemu kalian." ucap Icha.

Gio menjatuhkan dirinya ke depan Icha." Gue minta maaf, Cha.. gue minta maaf..."

Icha kembali terisak, ia menatap lama laki-laki yang selalu menjadi alasannya hidup."Kita selesai, ya? Lucu banget saat gue bilang kata selesai. Padahal dari awal lo engga mulai apapun sama gue."

Icha menatap Clara, ia tersenyum kecil." Selamat bahagia sama Gio, Ra. Gue seneng kalau sahabat gue seneng."

Mendengar ucapan itu membuat hati Gio semakin hancur. Ia berharap setidaknya Icha memukulinya. Semakin melihat Icha yang berlapang dada seperti ini semakin membuatnya sakit dan merasa bersalah.

"Ulang tahunnya selesai, kalian bisa pulang, terima kasih kejutannya. Gue enggak akan lupa." ucap Icha.

Setelah mengucapkan itu, Icha melangkah pergi dari sana. Ia melangkah masuk ke dalam. Dan saat masuk ia menatap Bagas. Laki-laki itu melihat semuanya, ia hanya bisa merengkuh gadis itu erat dan menepuknya lembut.

"Gas... sakit..." keluh Icha dengan isakan tangis.

Tangan Bagas terus menepuk pundak Icha. Bahkan hanya mendengar suara tangisnya saja sudah terasa sangat sakit.  Dalam hatinya ia mengucap seribu maaf. Namun rasanya itu semua tak cukup. Karena maaf tak cukup untuk membuat gadis itu kembali bangkit dan tersenyum lagi.

———————-

"Puas kamu?" tanya Gio.

Clara terdiam, ia tak bisa menjawab. Ia tak menyangka Icha akan mendengar suara percakapannya. Dan ia tak menyangka bahwa ini semua terjadi malam ini.

"Setidaknya, Ra, jangan malam di saat dia ulang tahun." ucap Gio.

Clara menatap Gio." Terus kamu salahin semuanya sama aku? Aku juga kaget kalau Icha bakal tau secepat ini."

"Kamu harusnya sabar dan ga suruh aku buat temuin kamu! Kamu bikin aku jadi jahat sekarang!"

"GIO DARI AWAL KAMU UDAH JAHAT! DARI AWAL KAMU UDAH BOHONGIN ICHA!"  Teriak Clara.

"SETIDAKNYA AKU GAMAU HANCURIN DIA DI HARI ULANG TAHUNNYA!" ucap Gio.

"TERUS KAMU FIKIR AKU MAU? AKU JUGA KAGET GIO!"

Keduanya saling melemparkan amarah. Tak ada yang mengalah. Tak ada yang memilih opsi tenang. Saling menyalahkan adalah hal yang bagus menurut mereka.

"Salah kalian." ucap seseorang yang baru keluar dari rumah Icha.

"Gas gue mau ngomong sama Icha!" ucap Gio.

Bagas menarik kerah baju Gio. Ia menatapnya tajam." Lo tau sehancur apa cewe itu? Bangsat tau ga lo!"

"Iya gue emang bangsat. Tolong, Gas, gue mau ketemu dia sekarang."

"Lo ketemu dia cuma nyakitin dia monyet." ucap Bagas kesal.

Bagas menghempaskan tubuh Gio, ia menatap Clara." Gue salah nilai lo, Ra. Ternyata lo bodoh, lo jahat, lo udah bukan jadi Clara yang gue kenal lagi."

Mendengar itu, Clara langsung menahan tangan Bagas." Gas, lo sayang gue kan? Gas!"

Bagas terkekeh lalu menatap datar Clara." Dulu, Ra. Sebelum lo jadi jahat kaya gini." ucap Bagas.

Setelah mengucapkan itu Bagas melangkah pergi. Ia meninggalkan dua manusia itu di sana. Persetanan dengan persahabatannya saat ini.

Sementara Clara, ia menatap Gio lalu menggengam tangannya." Ayo pulang."

Gio menghempaskan tangan Clara." Enggak."

"Ayo pulang."

"AKU BILANG ENGGAK CLARA!"

Clara tersentak kaget, ia menatap Gio tak percaya." Kamu bentak aku?"

"Terserah, sekarang kamu pulang sendiri aku masih mau nunggu Icha."

"You love her?" tanya Clara.

Gio menggelengkan kepalanya, netranya menatap lampu kamar Icha yang gelap." Aku ngerasa bersalah... aku takut karena aku Icha jadi kehilangan hidupnya..." Gio menghentikkan ucapannya sejenak, ia menatap Clara." Aku takut..."

————————————————

Diruang gelap, Icha memeluk dirinya sendiri. Gadis itu menangis sejadi-jadinya. Kenangannya dan Gio seolah berputar-putar dalam pikirnya. Ia tak pernah menyangka hubungannya dan Gio akan berakhir seperti ini. Ia tak menyangka bahwa sahabatnya masuk ke dalam hubungannya seperti ini. Ia tak menyangka orang terdekatnya menjadi luka hebatnya.

Gadis itu marah, ia marah karena terlalu memaksa Gio untuk menjadi miliknya. Icha bertanya-tanya apa yang ia perbuat hingga ia mendapatkan rasa sakit sehebat ini. Ia bertanya-tanya kenapa dari sekian banyaknya orang, dirinya yang di pilih tuhan untuk merasakan seperti ini.

Rasanya baru kemarin, Icha tersenyum hingga giginya mengering. Namun sekarang, ia merasa tak bisa tersenyum sedikitpun. Terkadang tuhan secepat itu membalikkan keadaan, ya?

Harusnya Icha memang tak terlalu bahagia, tak terlalu mengharapkan kebahagiaan panjang.

Di temani malam dan dinginnya, Icha hanya bisa mendekap dirinya sendiri. Di sisa jam ulang tahunnya, ia hanya berharap kematian menjemputnya saat ini juga. Ia hanya berharap—

Ia bisa lupa dan tak melihat langit besok.

Ini Cerita KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang