30

190 11 6
                                    

Icha membuka matanya saat sinar matahari menerpa wajahnya. Gadis itu mengerjap sebentar sebelum akhirnya bangkit dari tidurnya. Kepalanya kini terasa saat pening, matanya juga terasa perih. Mungkin terlalu sering menangis atau mungkin tubuhnya kini ikut merasa lelah.

"Huh enggak sekolah lagi gue..." ucapnya.

Tok tok

Icha mengernyit heran saat mendengar suara ketukan pintu. Ia menatap jam dinding yang menunjukkan pukul 10 pagi." Reno udah pulang?" gumamya.

Dengan malas Icha bangkit dan pergi ke depan pintu rumahnya. Ia memutar knop pintunya." Ren ko udah pula—" seketika ucapannya terhenti saat menatap seseorang yang ada di pintu itu. Bibirnya kelu, matanya seketika kembali berair.

"Pagi, Cha." ucap Gio.

"Keadaan lo udah membaik? Gue khawatir jadi gue bawain bubur kesukaan lo."

Icha terdiam. Netranya terfokus pada plastik yang Gio genggam. "Jangan kaya gini. Jangan bikin gue berharap lagi. Jangan bikin gue ngerasa di cintain lagi. "

"Cha gimanapun juga lo temen gue, kita—"

"Gue enggak mau temenan sama lo lagi, Gio. Gue enggak mau ketemu lo lagi. Jadi tolong stop dateng dan lakuin hal bodoh yang bikin gue semakin terlihat menyedihkan." ucap Icha.

Gio terdiam. Ia menatap Icha yang kini enggan menatapnya. Sebenarnya Gio tau sejak awal bahwa kejadian ini akan terjadi. Namun— Gio tak menyangka akan secepat ini. Gio tak menyangka hubungannya dan Icha akan selesai sesingkat ini.

"Thanks buburnya, dan—" Icha menghentikkan ucapannya sejenak. Ia memberanikan diri untuk menatap Gio.

Icha meremat baju tidurnya, matanya kembali berkaca-kaca." Gio terima kasih karena lo bikin gue ngerasa di cintain, terima kasih karena lo udah warnain hari-hari gue, terima kasih karena lo pernah bikin gue ngerasa kalau gue wanita paling beruntung di dunia. Gue bahagia Gio. Sangat bahagia. Jadi tolong jangan datang lagi Gio, jangan baik lagi, gue enggak mau hati gue goyah dan jatuh ke lo lagi. Jadi ayo hidup masing-masing. Jangan saling kenal lagi, jangan saling sapa lagi, dan jangan berharap untuk bertemu lagi. Karena gue terlalu takut untuk ketemu dan jatuh cinta ke lo—"

Icha memeluk Gio erat, ia kembali meneteskan air matanya. "Bahagia, ya?"

Sementara Gio, ia hanya diam dengan air mata yang menetes. Ia menyadari perbuatan bodohnya yang menbawanya kesini. Perbuatan itu membawanya ke hubungan hancur seperti ini. Kini ia tak punya kesempatan untuk menyapa Icha lagi. Karena kini Icha benar-benar menghapus Gio di ingatannya.

Icha memeluk Gio sangat erat, ia menangis tersedu-sedu. Tangannya meremat kemeja Gio erat. Hari ini adalah hari patah hatinya. Karena ia benar-benar melepaskan laki-laki ini. Ia membiarkan laki-laki ini bahagia dan berkelana dengan pilihannya. Karena nyatanya, titik tertinggi Icha sampai disini. — iya, titik tertinggi dalam mencintai sudah sampai. Ia harus melepaskan dan mengikhlaskan Gio.

Rasanya kini hatinya sangat hancur. Seperti baru kemarin ia dan Gio berkelana mengelilingi malamnya jakarta, seperti baru kemarin Icha dan Gio melemparkan gombalan maut satu sama lain, seperti baru kemarin Icha dan Gio saling melemparkan rasa sayangnya satu sama lain. Namun— waktu tak pernah punya prediksi. Perpisahan tak pernah ada tanda. Akhir selalu pasti. Dan kini mereka sudah berada di garis itu.

"Bahagia ya, Cha? Maafin gue. Maaf..."

Hanya kata maaf yang terucap di bibir Gio. Ia tak tau mau mengucapkan apa lagi. Rasanya terlalu memalukan.

Icha menarik nafasnya panjang sebelum akhirnya melepaskan pelukannya. Ia menatap Gio dalam, perlahan bibirnya tertarik membentuk senyuman kecil nan tulus, ia menatap wajah Gio lama sebelum akhirnya berbalik dan menutup pintu rumahnya.

Saat pintu tertutup, di situ juga tangis Icha pecah. Ia terjatuh lalu memeluk dirinya sendiri. Tak pernah ia sangka ikhlas ternyata sesakit ini. Semua kenangannya dan Gio seolah terputar dalam pikirnya membuat tangisannya tak terbendung.

Sementara Gio, laki-laki itu meremat kemejanya sebelum akhirnya berbalik meninggalkan rumah Icha. Ia menatap halaman tempatnya dan Icha bercanda dan menyatakan cinta. Seketika hatinya terasa sakit. Entah kenapa ia merasa benar-benar putus cinta saat ini. Kakinya melangkah pelan meninggalkan rumah bertembok putih itu. Kali ini ia tak ingin menegok lagi. Karena jika ia menengok. Ia akan mendobrak pintu itu dan memeluk Icha. Rasanya terlalu egois dan memalukan saat ia masih ingin Icha saat ia menyakitinya sebegitunya.

"Bye... Cha." gumamnya pelan.

——————————————

"Ra perkenalkan tante—"

"Gak." ucap Clara cepat. Ia mengepalkan tangannya kuat. "Gak akan. Sampai kapanpun wanita jalang itu enggak akan ada di keluarga ini."

Mendengar itu mata Hutomo terbelalak. Ia langsung bangkit dari duduknya dan menunjuk Clara." CLARA!"

Tak takut akan bentakan itu, Clara ikut bangkit dan menatap tajam Hutomo." Padahal baru kenal tapi papa udah telantarin Clara sama mama."

"Papa enggak pernah telantarin kamu dan mama, Ra papa—"

Clara tertawa kecil." Enggak pernah? Papa selalu lupain Clara saat papa senang sama wanita itu. Apa pernah sekali aja papa tanya kabar Clara? Apa pernah sekali aja papa tanya gimana perasaan Clara? Enggak kan? Papa selalu egois, papa selalu utamain kebahagiaan dan kepuasaan papa tanpa pernah mau tau rasa sakit Clara dan mama. Sekarang lakuin seperti biasanya, papa yang enggak pernah peduli, dan Clara yang terbiasa dengan itu."

Setelah mengucapkan itu Clara melangkah pergi dari sana. Ia pergi keluar rumah tanpa tau arah meninggalkan Hutomo yang kini terdiam membeku.

"Jangan salahin sikap Clara terhadap kamu. Dia bersikap seperti itu karena sikap kamu ke dia. Kamu boleh benci aku, kamu boleh selingkuh sesuka kamu, kamu boleh marahin dan buang aku. Tapi tolong jangan buang anak kamu sendiri. Jangan buang dia, dia enggak salah. Kita yang hadirkan dia di dunia ini harusnya kita bikin bahagia. Tapi justru kamu bikin dia hancur. Pergi dari rumah ini. Saya akan kirimkan berkas perceraian."

Setelah mengucapkan itu Marina melangkah pergi dari sana dan meninggalkan Hutomo. Marina keluar rumah mencari putrinya. Namun sayangnya, ia tak bisa menemukannya juga. Clara seperti menghilang begitu saja.

"Clara kamu dimana nak..."

————————

Clara mengetuk pintu rumah Bagas kencang. "BAGAS!" Panggilnya.

Tak lama Bagas keluar dengan wajah yang sembab. Ia menatap Clara heran. Gadis itu terlihat berantakan dengan piama dan sendal jepit tipis yang putus.

Sementara Clara, ia hanya menatap Bagas dengan mata yang berair lalu memeluk Bagas erat.

"Gue cape... gue cape hidup, gue mau pulang Bagas. Dunia jahat, gue enggak suka ada disini."

















Halo maaf baru update.

Semoga suka🤍

Ini Cerita KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang