27

148 11 2
                                    

Sudah hampir 3 hari Icha tak berangkat ke sekolah. Ya, semenjak kejadian malam itu Icha merasa semuanya selesai. Mungkin terdengar lebay bagi beberapa orang, namun membayangkan akan bertemu dengan Gio dan Clara saja ia tak sanggup. Kedua orang tua Icha juga hanya tau jika putri mereka sedang kurang sehat. Karena saat malam kejadian, orang tua dan adiknya memilih keluar rumah karena tak ingin mengganggu.

Sekarang Icha hanya bisa menyesap tehnya sambil menatap buku-buku pelajarannya. Ia tak pernah menyangka jika putus cinta akan seberat ini. Dunia seakan terhenti. Ia menjadi tak semangat melakukan aktivitas. Ya— hidup Icha seperti selesai begitu saja.

Tok tok

Ia menatap ke arah pintu kamarnya, tak lama munculnya sang adik.

"Kenapa?"

"Ada ka Bagas." jawabnya dan langsung kembali menutup pintu.

Mendengar itu Icha hanya terdiam. Ia menarik nafasnya panjang sebelum akhirnya bangkit dari duduknya. Sebenarnya ia malas bertemu dengan siapapun saat ini. Karena semuanya seperti penghianat di mata Icha. Namun di satu sisi, ia tak ingin Bagas khawatir akan kondisinya.

"Hai, Cha." Sapa Bagas saat melihat Icha yang datang di ruang tamu.

Icha tersenyum kecil." Duduk."

Suasana cukup canggung. Keduanya saling diam beberapa saat. Hati Bagas terasa sangat sakit saat melihat penampilan Icha yang berantakan.

"Apa kabar, Cha?" tanya Bagas.

Icha menggedikkan bahunya." Seperti yang lo liat, gue enggak baik-baik aja."

"Lo bisa cerita sama gue tentang perasaan lo, Cha. Jangan di pendam sendirian."

Mendengar penuturan Bagas membuat Icha tersenyum miring. Ia menatap Bagas lalu berkata." Emang kalau gue cerita lo paham sama perasaan gue? Emang kalau gue cerita lo bisa hilangin rasa sakit yang lagi gue rasain?"

"Mungkin gue enggak bisa sembuhin rasa sakit lo, tapi biarin gue redain rasa sakitnya."

"Gimana bisa reda kalau lo salah satu alasan rasa sakit ini hadir?"

Damn! Bagas terdiam. Bibirnya seketika kelu. Ucapan Icha sangat amat menohok hatinya. Ia semakin merasa bersalah akan gadis itu.

"Kenapa di lindungin?"

Bagas diam. Ia tak menjawab pertanyaan itu. Karena ia tau bagaimanapun dirinya salah.

"Kenapa? Karena dia temen lo? Terus gue bukan, Gas?" tanya Icha.

Bagas menggelengkan kepalanya." Enggak gitu, Cha."

"Terus gimana Gas? Kasih tau gue alasan lo supaya gue enggak benci lo."

Bagas meremat jarinya, ia mulai menatap Icha." Gue sayang sama Clara— bukan sebagai sahabat, tapi sebagai wanita."

Mendengar itu membuat Icha terkejut. "Lo suka Clara? Tapi kenapa—"

"Sama kaya lo, Cha. Pada akhirnya lo akan lepas Gio saat tau bahagianya bukan sama lo. Gue juga lakuin hal itu ke Clara, gue lepas dia, gue biarin dia bahagia. Gue emang cinta sama Clara tapi gue engga mau jadi penghalang kebahagiaan dia."

Icha menatap ke arah lain, ia merasakan matanya mulai berkaca-kaca. "Bodoh. Harusnya lo utamin kebahagiaan lo." ucap Icha dengan suara gemetar.

Bagas tersenyum kecil."Harusnya ya? Tapi saat kita jatuh cinta sama seseorang, kebahagiaan kita menjadi nomor sekian, Cha. Karena yang paling penting kebahagiaan orang yang kita sayang."

"Bodoh!" ucap Icha dengan mata yang berkaca-kaca. Ia tak sanggup melihat senyum Bagas. Terasa sangat menyakitkan.

Bagas mengeluarkan satu plastik dari tasnya lalu meletakkannya di hadapan Icha." Gue kesini cuma mau bawain lo mochi. Besok sekolah lagi ya? Cha, patah hati boleh tapi jangan sampe hidup lo berenti. Secinta apapun lo sama dia, jangan biarin hidup lo berantakan. Jangan biarin diri lo hancur karena manusia, ya Cha?"

Icha tak menjawab apapun. Ia hanya diam dengan air mata yang kembali menetes. Ia benci melihat laki-laki itu peduli terhadapnya padahal Icha sendiri tau bahwa Bagas sebenarnya hancur juga. Namun ia selalu menomor duakan dirinya. Ia benci sikap Bagas yang seperti itu. Laki-laki itu selalu berusaha memahami orang lain namun orang lain selalu lupa memahami keadaan Bagas. Seperti dirinya.

Sementara Bagas, ia hanya tersenyum lalu bangkit. Sebelum melangkah pergi, ia mengusap surai Icha lalu berucap. "Nyisir biar cantik lagi."

"Thanks."

Langkah Bagas terhenti, ia berbalik lalu menatap Icha. "Besok gue tunggu ya nyai!" ucap Bagas di akhiri kekehan.

Mendengar itu membuat Icha terkekeh pelan." Dasar." ucap Icha.

Ah, akhirnya selama 3 hari gadis itu mengeluarkan tawanya. Meskipun masih di iringi air mata.

—————————

Selama 3 hari ini hubungan Gio dan Clara tak baik. Mereka berdua saling menyalahkan satu sama lain. Dan kini memutuskan untuk berhenti berhubungan. Bahkan di sekolah Gio, Clara, dan Bagas seperti orang yang tak saling mengenal. Mereka seketika asing begitu saja.

Namun hari ini Gio memutuskan untuk datang ke rumah Clara. Entah hal gila apa yang terlintas dalam pikirnya namun Gio merasa tak nyaman berjarak seperti ini dengan Clara.

Terhitung sudah hampir 10 menit ia menunggu di depan rumahnya. Kata mbok Darmi, Clara sedang bersepeda. Dan setahu Gio, Clara akan berolahraga saat dirinya merasa sedih. Jika begini, ia semakin tak enak karena telah menyalahkan Clara. Sampai akhirnya tak lama sepeda berwarna biru itu tiba. Dari kejauhan Gio sudah bisa menangkap eksperesi kaget Clara.

"Ngapain?" tanya Clara.

Gio menghampiri gadis itu lalu memeluknya erat." Maaf..."

"Untuk?"

"Udah cuekin kamu."

Clara melepaskan pelukannya." Jahat." ucap Clara dengan mata yang berkaca-kaca.

Gio terkekeh." Aku minta maaf harusnya aku engga salahin kamu."

Clara memanyunkan bibirnya lalu memeluk Gio erat." Maafin aku juga."

"Iya." jawab Gio sambil mengusap surai hitam Clara.

"Aku mau makan." cicit Clara.

Gio tersenyum." Mau makan apa?"

"Makan masakan kamu?"

"Mau di masakin apa?"

"Apa aja."

Gio terkekeh lalu mengusap rambut Clara, ia mengecup kening Clara lembut lalu menggengam tangan kecilnya." Ayo aku masakin."

"Asik di masakin pacar."

Gio dan Clara pun masuk ke dalam rumah meninggalkan satu laki-laki yang sejak tadi terdiam sambil menatap mereka dari kejauhan. Disana— Bagas hanya tersenyum kecil. Ia tak tau mengapa dua orang jahat hidupnya selalu bahagia dan di permudah akan segalanya. Sementara kini Icha dan dirinya sedang mati-matian menyembuhkan diri.

——————

Icha mulai kembali menyisir surainya, ia tersenyum dengan air mata yang terus menetes. Saat memegang rambutnya ia ingat saat pertama kali Gio mengajaknya berpacaran, saat itu tangan Gio terasa sangat nyaman. Namun saat mengingat momen itu hatinya terasa sangat hancur.

"Cha!" Panggil Kirana dari luar.

Mendegar panggilan Kirana membuat Icha langsung menghapus air matanya. Ia berusaha tersenyum saat menatap pintu yang mulai terbuka itu.

"Cha!" panggil Kirana sambil membuka pintu.

Icha tersenyum." Ya ma?"

"Ada Gio di bawah."

Deg.

Ini Cerita KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang