19

136 11 1
                                    

Clara bergumam. "Lo beneran suka sama Icha?"

Gio terdiam. Entah kenapa ia tak bisa menjawab pertanyaan itu. Rasanya ia ingin teriak bahwa ia sama sekali tidak mencintai Icha dan sampai saat ini masih Clara yang menjadi pemenang di hatinya. Namun di satu sisi, Gio tak mungkin mengatakan itu. Karena bagaimanpun, Icha juga teman Clara. Ah, dan temannya juga.

"Ternyata enggak." ucap Clara lagi.

Gio sontak menggelengkan kepalanya. Ia menatap Clara lama, bibirnya terasa sangat berat. "Gue— g-gue sayang sama Icha. Gue... gue cinta sama Icha."

Kini giliran Clara yang diam tak bergeming. Ia menatap Gio berusaha mencari kebohongan di sana. Namun nihil, matanya menunjukkan keseriusan. Dan saat tau kebenerannya hatinya terasa sangat sakit. Ternyata ucapan Gio waktu itu tak serius. Gadis itu merasa bodoh sekaligus jahat karena masih mengharapkan Gio.

"Ra? Lo nangis?" tanya Gio saat melihat air mata jatuh ke pipi Clara.

Mendengar itu Clara sontak menghapus air matanya. Bahkan ia tak sadar jika menangis. "Apasih enggak! Gue kelilipan tau!" Ucapnya.

"Masa? Orang enggak ada debu." ucap Gio.

Clara menjadi salah tingkah sendiri. Ia langsung memberikan jaket Gio dan berucap." Gue mau pulang." ucapnya.

Melihat itu Gio hanya diam sendiri. Ia bingung dengan tingkah Clara yang tiba-tiba berubah. "Aneh."

Sementara Clara, ia memutuskan untuk berjalan-jalan menyusuri jakarta yang masih nampak sepi. Kini ia tau jawaban dari segala pertanyaanya, bahwa Gio benar mencintai Icha. Huh, sekarang rasanya Clara menyesal karena mempertanyakan hal itu. Ia menjadi sakit sendiri.

Ya, mungkin tidak enaknya cinta sepihak itu seperti ini, ya? Tidak bisa jujur dengan apa yang kita rasa, hanya bisa melihat dia bersama wanita lain dari jauh, menyimpan segala rasa cemburu dalam hati tanpa ada jeda untuk memberontak. Namun anehnya, semakin tidak mungkin suatu cinta, justru semakin membuat Clara tak bisa lepas. Semakin ia tak ingin memikirkan Gio, semakin ia jatuh hati. Ah, jatuh cinta memang begitu membingungkan. Terlalu banyak teka-teki, terlalu banyak tanda tanya, dan terlalu banyak ketidakmungkinan.

Clara menghentikkan langkahnya, ia menatap ke arah dua pasangan yang baru saja keluar dari gedung hotel. Matanya menyipit memastikan apa yang ia lihat, dan benar saja. Dugaannya tak salah. Di sana papanya keluar bersama wanita cantik dengan dress merah yang mencolok. Namun itu bukan Tiara yang datang ke rumahnya beberapa hari lalu.

"Wah gila nih bapak-bapak." ucapnya tak habis pikir.

———————————————————————

Icha melangkah masuk ke dalam rumahnya secara perlahan-lahan. Ia menghelakan nafasnya lega saat rumahnya masih gelap, menandakan orang tuanya belum bangun.

"Ngapain kak?" tanya Reno sambil menyalakan lampu ruang tamu.

Icha tersentak, ia langsung mendudukkan dirinya di sofa. " Biasa, ketiduran di sofa." bohong Icha.

Reno mengernyit, ia jelas-jelas tadi mendengar suara pintu gerbang rumahnya terbuka." Tadi perasaan aku denger—"

"Tumben udah bangun pagi-pagi gini." ucap Karina yang baru keluar kamar.

Karina menatap Icha." Terutama kamu." ucap Karina.

Icha menggaruk tengkuknya yang tak gatal."Kebangun."

Karina mendecih lalu memberikan sapu ke arab Icha". Bersihin rumah, mama mau pergi sama papa nanti."

Icha langsung memberikan sapunya ke Reno." Gantian minggu lalu aku udah beres-beres."

"Eeeh kok nyuruh Reno? Reno kan anak laki-laki masa di suruh nyapu?" omel Karina.

Icha memutarkan matanya malas." Terus kenapa kalau anak laki-laki mah? Itu jadi alasan buat dia enggak belajar beres-beres?"

"Mama tuh nyuruh kamu! Tugas anak perempuan itu nyapu, ngepel, masak."

"Tapi mah kodrat anak perempuan itu cuma menyusui, melahirkan dan mensturasi. Nyapu dan ngepel bukan tugas kita aja, anak laki—"

"Suttt udah! Buruan rapihin! Jangan banyak bantah." Potong Karina.

"Mah laper..." keluh Reno manja.

Karina menatap Reno." Mau makan apa anak mama?"

Mendengar itu membuat Icha mendecih sebal. Ia merasa Karina pilih kasih hanya karena dirinya adalah seorang anak perempuan. Lagipun memangnya anak laki-laki tak boleh memegang alat kebersihan? Bukannya tugas rumah itu tanggung jawab bersama. Terkadang Icha ingin mengeluarkan banyak keluhannya. Namun ia tau mamanya pasti akan terus mengelak dan membenarkan dirinya sendiri.

Icha terkadang bertanya-tanya, kenapa anak laki-laki selalu di manjakan, selalu di bebaskan, dan selalu di dukung apapun pilihannya. Contohnya seperti anak perempuan selalu harus memasak makanannya sendiri, sementara anak laki-laki ia selalu di masakkan. Lalu contoh kedua, anak laki-laki bebas bermain hingga pulang larut tanpa di bicarakan macam-macam, sementara anak perempuan pulang jam 9 malam saja sudah di cap macam-macam. Dan terakhir, anak laki-laki di izinkan mengejar pendidikan kemanapun, sementara anak perempuan selalu mengalah dan menomor duakan pendidikan dengan alasan ujung-ujungnya di dapur.

Padahal kalau Icha pikir-pikir generasi muda yang hebat itu lahir dari ibu yang hebat, pintar, dan cerdas.

Ah, kalau memikirkan perbedaan anak laki-laki dan perempuan memang hanya bikin naik darah. Sebagai anak perempuan Icha merasa sangat tidak adil. Ia merasa bahwa perjuangan pahlawan dalam membela anak perempuan adalah hal yang sia-sia jika pemikiran rakyatnya masih kuno dan menganggap perempuan tak bisa melakukan banyak hal.

Tapi mau mengeluh bagaimanapun, ujung-ujungnya Icha harus mengalah. Ia mulai menyapu sekeliling rumahnya dengan perasaan sebal di hati.

———————————————————————

Bayu meletakkan formulir pendaftaraan kursus les di hadapan Bagas. Laki-laki itu langsung meletakkan pulpen seolah memerintahkan Bagas untuk segera tanda tangan. Namun Bagas, ia hanya diam dan tak bergeming.

"Tanda tangan." ucap Bayu.

"Enggak." tolak Bagas.

"Kenapa?"

"Papa yang kenapa? Selama ini Bagas selalu dengerin papa. Papa suruh Bagas masuk les, oke Bagas turutin. Papa suruh Bagas daftar ke sekolah itu dengan alasan biar beda dengan teman-teman papa dan biar Bagas bisa buktiin Bagas bisa masuk universitas meskipun hanya dari sekolah SMK, Bagas terima, Bagas ikutin. Tapi kenapa papa enggak pernah dengar Bagas sedikitpun? Bagas cuma mau kasus kematian mama di tindak lanjut. Udah." ucap Bagas.

Bayu menyesap kopinya. Ia menatap Bagas yang nampak kesal. "Kematian mama kamu udah jadi takdir enggak perlu di selidiki lagi."

"Papa pikir kematian mama wajar? Kebakaran itu wajar? Mama saat itu enggak lagi masak, listrik rumah kita juga baik-baik aja. Papa enggak ngerasa aneh? Atau papa emang enggak pernah peduli—"

"BAGAS CUKUP. Papa selama ini diam dengan sikap kamu yang seenaknya itu. Papa cuma minta kamu melanjutkan hidup kamu tanpa memikirkan kejadian itu."

Bagas mengepalkan tangannya kuat lalu merobek formulirnya." Kalau gitu biarin Bagas menjalani hidup seperti yang Bagas mau." ucap Bagas

Setelah mengucapkan itu ia langsung masuk ke dalam kamarnya. Bagas memilih mengurung diri di sana. Ia terlalu malas untuk bertatap wajah langsung dengan papanya.

Sementara Bayu, ia hanya diam sambil menatap kamar Bagas. Perlahan tangannya bergerak mengambil telfonnya. Tangannya menari di layar handphone hingga beberapa detik kemudian terdengar suara panggilan terhubung.

"Halo selamat pagi pak?"

Bayu mengehelakan nafasnya panjang. Ia menatap kamar Bagas lama lalu mengucapkan sesuatu." Saat kamu melakukan itu, tidak ada yang melihat kan?"

Ini Cerita KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang