Inilah masa SMA Gio, Clara, Bagas, dan Icha. Menyenangkan namun sedikit luka. Mereka bertemu untuk sama-sama mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan malang yang mengisi pikirannya seperti cita-cita dan masa depan.
Tentang kebersamaan masa SMK yan...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Clara menatap datar ke arah orang tuanya yang baru tiba di ruang tamu. Ia mendecih pelan saat melihat mereka kembali bergandengan tangan. Lagi-lagi drama.
"Sayang udah pulang? Semalam kemana? Ke rumah Tasya, ya?" tanya Marina lembut.
Fyi, Tasya adalah teman kecil Clara.
Clara tak menjawab. Gadis itu justru melayangkan tatapan tajam ke arah Hutomo. "Pa, papa sayang sama aku?" tanya Clara.
Hutomo mengerutkan alisnya bingung saat tiba-tiba mendapatkan pertanyaan seperti itu. Alhasil ia hanya menganggukkan kepalanya kecil." Ya iyalah, kok kamu tanya gitu?"
Mendengar jawaban Hutomo membuat tawa Clara pecah. Entah kenapa ia merasa lucu dengan semuanya. Sayang? Namun menghianiti keluarganya? Bentuk sayang macam apa? pikir Clara.
Clara melirik ke arah Marina lalu menggengamnya erat. "Cerai ma, lakuin apapun keputusan mama. Clara dukung." ucap Clara dengan mata yang berkaca-kaca.
Clara menarik nafasnya dalam-dalam. Ia menatap mata Marina dalam. Bahkan hanya dengan bertatapan seperti ini Clara bisa merasakan sakit yang di alami mamanya. "Aku bebasin mama—" Clara menjeda ucapannya. Melihat Marina membuat hatinya semakin terasa sakit." Aku bebasin mama dari papa. Aku gapapa. Aku— merelakan kalian cerai." lanjut Clara.
Marina masih tak paham apa yang di bicarakan oleh Clara. "Nak kamu kenapa? Mama sama papa udah baik-baik aja kita—"
Clara menghembuskan nafasnya panjang. Ia mengusap wajahnya kasar. Sungguh, kali ini Clara benar-benar terlihat hancur." BAIK-BAIK AJA DARI MANA? BAIK-BAIK TAPI MAMA SELALU NANGIS SETIAP MALAM? BAIK-BAIK TAPI MAMA SELALU NGALAH SAMA PAPA! AKU TAU MAMA TAU KALAU DIA—" Clara menjeda ucapannya dan menunjuk ke arah Hutomo tajam. "Dia selingkuh kan?"
Mendengar itu Marina terdiam. Ia merasa sangat shock dengan ucapan putrinya. Namun sebisa mungkin ia mengotrol ekspresinya untuk tetap tenang." Sayang kamu denger dari siapa? Kamu tau—"
"Aku lihat pake mata aku sendiri, ma. Aku liat..." Potong Clara.
Clara kembali menitikkan air matanya. Ia mengusap wajahnya kasar. Rasa hancur, kecewa, sedih, marah menjadi satu dan berhasil mengikat Clara dengan sangat menyakitkan.
"Clara sayang—"
"Ma! Udah!—" teriak Clara frustasi." Jangan jadiin aku alasan untuk kalian gak pisah."
"Clara cukup!" timpal Hutomo. Ia menatap Clara tajam." Berapa usia kamu? 17 tahun gak jadiin kamu dewasa? Dengerin papa, papa itu gak punya selingkuhan. Bahkan papa gak sempet mikirin kesehatan papa. Come on Clara, papa terlalu sibuk untuk lakuin hal seperti itu."
Clara mengepalkan tangannya kuat. Perlahan kakinya melangkah mendekati sang papa. Ia menatap Hutomo dingin lalu tertawa kecil. "Come on pa, aku bukan anak kecil yang percaya sama orang yang udah berkhianat."