Katanya, laut adalah tempat pelarian paling nyaman. Katanya, hanya melihat deburan ombaknya membuat masalah kita seolah ikut terbawa pergi di bawa laut. Namun saat melihat laut, pikiran Gio hanya satu... apakah ia harus menyerahkan hidupnya? Apakah ia harus membiarkan dirinya terbawa air? Atau— apakah ia harus membiarkan semua rasa sedihnya tersapu ombak?
Gio tak tau. Sejak tiba tadi, ia hanya diam menatap deburan ombak yang menyapu pasir. Saat melihat itu Gio menyadari satu hal, laki-laki itu sadar bahwa apapun yang kita punya bisa dengan mudah terambil. Seperti buliran pasir yang perlahan hilang namun tak pernah juga habis.
"Bengong aja lo!" ucap Icha yang baru tiba.
Gio tersenyum kecil." Yang lain kemana?"
"Biasa pesen makanan."
Gio hanya ber-oh ria lalu kembali menatap air laut. Ia menghelakan nafasnya panjang dengan mata yang perlahan terpejam rapat. Melihat itu membuat Icha terdiam beberapa detik. Ia mengamati wajah Gio yang nampak sangat lelah.
"Gio." Panggil Icha.
Perlahan mata Gio terbuka." Ya?"
Icha menepuk pundak kanannya." Hari ini gue kasih sandaran gratis."
Gio terkekeh pelan." Terus besok bayar?"
Icha menggeleng." Besok lo udah harus bangkit. Gio... sedih terlalu lama gak akan mengubah apapun. Jadi sini sandarin kepala lo di bahu gue biar beban lo terbagi sama gue."
"Beban gue berat, Cha."
"Pundak gue kuat. Gue anak pertama. Jadi jangan ragu buat bagi beban lo sama gue. Sini," ucap Icha sambil menepuk pundaknya.
Perlahan kepala Gio bergerak dan menyandarkannya di bahu kanan Icha. Matanya terpejam rapat membiarkan dirinya istirahat sejenak. Namun baru saja beberapa detik melepaskan bebannya, Clara dan Bagas datang dengan es kelapa di tangannya.
"Main air yuk!" ucap Clara yang baru tiba.
"Boleh mumpung lautnya lagi tenang."
Clara tersenyum kecil." Laut yang keliatan tenang, damai, indah, pasti menyimpan sejuta luka."
"Kenapa gitu?" tanya Gio penasaran.
"Karena— dia nahan banyak beban. Beban dari ikan-ikan, manusia, pohon. Tapi, dia gak bisa bilang kalau dia cape." Jelas Clara
Icha terkekeh lalu menepuk pundak Clara pelan." Ya mungkin karena dia gak bisa bilang capek."
Clara menggelengkan kepalanya." Bukan. Tapi dia menerima semua kehendak tuhan. Dia mengikuti semuanya. Dan bukan cuma laut— Gue, Bagas, Gio, ataupun elo, Cha. Pasti kita semua punya beban di pundak kita masing-masing. Tapi itu semua tergantung kita, kita mau kaya laut yang tetap tenang atau memberontak tanpa batas habis?"
Bagas membuang nafasnya kasar." Ternyata jadi makhluk hidup itu— rumit, ya?"
Gio terkekeh." Bukan hidupnya...tapi pikiran kita yang rumit."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ini Cerita Kita
Novela JuvenilInilah masa SMA Gio, Clara, Bagas, dan Icha. Menyenangkan namun sedikit luka. Mereka bertemu untuk sama-sama mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan malang yang mengisi pikirannya seperti cita-cita dan masa depan. Tentang kebersamaan masa SMK yan...