Bab 11 - I Made Irzaldi kamandaka

2.5K 124 0
                                    

"Menikah itu bukan sekedar memulai hubungan baru dengan orang baru, tapi juga tentang kesiapan mental ke lembaran baru kehidupan"

-Pahlawandayy-

Happy reading!
.
.
.

Bagi seorang pria berstatus lajang di usia kepala tiga, bukanlah sesuatu yang aneh terjadi. Berbeda dengan wanita yang katanya, menurut sebagian orang akan terlihat tidak etis ketika belum menikah bahkan di usia penghujung kepala dua.

Banyak pula orangtua yang berambisi begitu besar, untuk putra dan putrinya menikah di usia yang sudah seharusnya mereka membina rumah tangga. Namun ada pula, sebagian orangtua yang tidak terlalu mempermasalahkan diusia berapa, seorang anak harus menikah dan dengan siapa mereka menikah.

Irza, merupakan satu diantara anak beruntung lain, yang bisa memiliki orangtua yang tidak mempermasalahkan dengan siapa dan di usia berapa ia akan menikah.

Pria bernama lengkap, I Made Irzaldi kamandaka atau akrab disapa Irza itu, sudah jelas putra kedua dari empat bersaudara, pasangan I Wayan Rhezaldi Kamandaka dan Ni Nengah Herlina Wirawan. Pria berusia 35 tahun yang lahir dan besar di Pulau Dewata. Bekerja sebagai seorang engineer di sebuah perusahaan asing yang bergerak di bidang pelayaran. Ia kerap kali hilir-mudik ke dalam dan luar negeri, tergantung situasi.

"Jadi keputusanmu gimana za?" Suara Ni Putu Stephanie---hanie, saudari kembarnya terdengar.

"Han, aku bingung." Jawabnya pelan.

Hanie menggelengkan kepalanya, bingung dengan persoalan yang di hadapi adik kembarnya ini. Ia juga tidak bisa bertindak apa-apa karena ini bukan urusannya. Namun melihat sang adik yang begitu gamang dengan keputusan apa yang akan ia ambil, membuat hanie mau tak mau harus memberikan solusi atau mungkin sebuah saran.

Keduanya kini tengah duduk berhadapan di stool bar, dekat dapur, di rumah hanie tentunya.

"Coba kamu temui dia, minta penjelasan dengan kepala dingin, setelah itu kamu baru ambil keputusan." Saran hanie.

Sama seperti Irza, hanie juga kepalang bingung dengan masalah sang adik. Ia tidak mungkin mendiskusikan masalah ini pada orangtuanya karena ini akan semakin menambah masalah baru.
Tidak, jangan sekarang, mereka---terlebih Irza, belum siap untuk menghadapi situasi tidak terkendali yang pasti akan terjadi.

"Kamu masih belum kasih tau, mami-papi?" Tanya hanie hati-hati.

Gelengan kepala Irza membuat hanie lagi-lagi mendesah nafas panjang. Ini tentu bukan jawaban yang ingin ia dengar dari sang adik. Hanya hanie, yang tau semua masalah ini dan sekarang ia buntu. Benar-benar tidak memiliki solusi apapun.

"Sayang kam---eh ada Irza ya," suara kakak iparnya terdengar, Rajandra.

Raja baru kembali dari kantornya, terlihat dari kemeja yang sudah ia gulung hingga siku, yang melekat di tubuhnya. Irza melemparkan seulas senyum, begitupun raja.

"Apa kabar, za? Kangen Jakarta ya?" Irza tertawa, meskipun matanya tidak menampakkan seperti itu.

"Baik, aku kangennya sama Risa," jawab Irza jujur. Balita perempuan lucu nan menggemaskan yang merupakan keponakannya.

"Eh iya, Risa mana yang, tidur ya?" Anggukan hanie menjawab pertanyaan raja, suaminya.

"Please, jangan di gangguin ya, aku setengah mati nidurinnya." Mohon hanie dengan muka memelasnya.

Sontak saja ucapannya mengundang tawa dua pria tercinta di hidupnya. Untung saja, ia menidurkan Risa di kamarnya yang terletak di bagian depan rumah, cukup jauh dengan dapur.

STRANGERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang