Chapter 8

53 8 0
                                    

Istana Langit Selatan seakan berguncang karena tawa Moroha. Si kembar dan Moroha lagi-lagi mengunjungi Istana Langit Selatan. Jika mereka sudah berkumpul maka akan selalu ada derai tawa. Meski usia para gadis itu sudah lima puluh tahun lebih, tapi gayanya tetap saja seperti bocah.

"Sepertinya kuenya sudah habis, aku akan mengambilkan lagi," Hime Hyori berkata seraya beranjak dari futonnya.

"Tidak perlu repot Hime-Sama," ucap Towa tidak enak hati.

"Aku akan membantu," Setsuna menawarkan diri.

"Tidak apa-apa Setsuna, Towa, kalian bersenang-senang saja disini," Hime Hyori terkekeh lembut.

Setelah ditinggal Hime Hyori sementara Moroha masih malas-malasan, Setsuna tetap datar tanpa ekspresi, Towa mulai mengelilingi ruangan seraya melihat-lihat. Ruang tamu Hime Hyori untuk menerima orang-orang terdekat tidak terlalu besar. Namun ruangan itu sangat oriental. Terdapat lukisan-lukisan teratai dan dewa dewi tergantung di dinding kayunya. Di balkon luar terdapat alat musik kecapi. Di sudut dinding terdapat meja kecil, perkamen, dan peralatan menulis. Towa yang penasaran menghampiri meja kecil itu. Meja dan futonnya hangat, pertanda Hime Hyori biasa memakainya. Ia tampaknya seorang putri yang cendikiawan, ia ternyata banyak menulis syair-syair dan puisi-puisi kuno.

Towa membuka sedikit sebuah perkamen dan melihat tulisan syair disana, dilihat dari ketebalan tintanya, sepertinya hal itu baru saja ditulis. Ia pun tertegun saat membaca syair itu berulang kali, menghayatinya dalam-dalam.

"Kau kenapa Towa? Serius sekali," celetuk Moroha.

"Setsuna..." Towa memanggil kembarannya.

"Nani?" Setsuna menghampirinya

Moroha yang penasaran juga menghampiri.

Bertiga mereka membaca syair itu bersamaan kemudian saling pandang.

"Hadeh," Moroha mendesah, "Tanpa baca itu pun aku juga sudah tahu. Mengapa kalian begitu buta?"

***

Towa dan Setsuna menatap Istana Dingin dari kejauhan. Sesshomaru seperti biasa sedang menenggelamkan diri disana. Si kembar hanya di beri jatah setahun dua kali untuk memberi penghormatan pada mendiang ibu kandung mereka.

"Lima puluh tahun telah berlalu, namun tampaknya Chichi-oye tetap belum bisa melupakan Haha-Ue," Towa berkata.

"Ah," gumam Setsuna mengiyakan.

"Bagaimana menurutmu Setsuna?"

"Kau tahu tidak mungkin membujuknya, dia daiyoukai yang aneh,"

Towa nyengir, "Ya aku setuju,"

"Aku yakin dia tidak sedingin itu," Moroha yang mendadak muncul, tiba-tiba nyeletuk.

Si kembar memandangnya.

"Maksudmu?" Tanya Towa.

"Menurut pengamatanku, Oji-oye juga ada merasakan sesuatu, aku yakin itu. Namun ia takut merasa bersalah pada ibu kalian jika menuruti perasaan itu," jelas Moroha.

Towa pun berlari pergi.

"Kau mau kemana Towa?" Tanya Setsuna.

"Istana Selatan!"

***

Hime Hyori tengah termenung di kolam belakang istananya. Mata birunya mengawasi ikan-ikan koi yang berenang berkelompok di kolam. Namun tatapannya kosong. Pikirannya melayang entah kemana, hanya ia sendiri yang tahu.

"Bunga jatuh ketika angin bertiup. Sebuah jiwa tanpa tujuan menemukan labuhan. Wajah yang tiada ekspresi itu. Seluruh keabadian menjadi penantian..."

Hime Hyori tersentak ketika suara itu mengucapkan syair yang ditulisnya. Hime Hyori menoleh dan menemukan Towa berdiri disana.

"Towa?"

"Gomene, aku tanpa sengaja membaca syairmu Hime-Sama," ucap Towa.

"Tidak apa-apa," Hime Hyori tidak mempermasalahkan.

Towa menghampirinya dan berdiri mensejajarinya, "Hime-Sama,"

"Uhm?"

"Kau menyukai Chichi-oye?" Tanya Towa terang-terangan.

"Nani?" Hime Hyori merasakan pipinya memanas.

"Bunga jatuh ketika angin bertiup, itu maksudnya adalah Chichi-oye saat jatuh di istana ini. Wajah Chichi-oye juga tiada ekspresi. Sementara jiwa tanpa tujuan yang menemukan labuhan itu adalah Hime-Sama," jelas Towa.

Hime Hyori menunduk dan kembali memandang kolam dengan tatapan kosong.

"Hime-Sama, jika kau menyukai Chichi-oye, kenapa kau tidak membiarkannya tahu? Aku dan Setsuna tidak masalah," Towa menyampaikan restunya.

"Ayahmu hanya menyayangi ibumu, Towa," Hime Hyori berkata lembut padanya.

"Haha-ue sudah meninggal lima puluh tahun lalu,"

"Tapi ia akan selalu hidup di hati ayahmu dan aku yakin Sesshomaru tidak akan pernah bersedia mengkhianati perasaan itu,"

"Lalu bagaimana dengan dirimu Hime-Sama? Apakah kau ingin menggunakan seluruh keabadianmu hanya untuk menanti?"

"Itu adalah derita yang harus ditanggung para daiyoukai. Sesshomaru juga harus menanggung derita kerinduan sepanjang keabadiannya. Aku juga akan seperti itu,"

Towa tampak gemas, kenapa ayahnya dan dewi ini begitu bodoh? Menyia-nyiakan keabadian hanya untuk merindukan yang tidak kesampaian. Mengapa mereka tidak mau memperjuangkan kebahagiaan mereka?

"Aku bangga karena ibuku manusia, sehingga dalam darahku mengalir darah manusia. Darah yang egois. Manusia akan menyembuhkan luka dan berusaha memperjuangkan kebahagiaannya dalam masa hidupnya yang singkat. Aku tidak mengerti para daiyoukai, hanya menyia-nyiakan keabadiannya untuk meratap saja. Kalau seperti itu apa artinya keabadian?" keluh Towa.

"Ketika aku menyadari perasaan ini, aku sudah mengerti aku takkan pernah bisa memilikinya. Rin pasti wanita yang hebat, bisa membuat Sesshomaru sangat menyayanginya. Meski aku setengah dewi, aku bukanlah tandingannya Towa. Kau seharusnya bangga pada kesetiaan ayahmu terhadap ibumu,"

"Awalnya aku memang tersentuh dia masih sangat mencintai Haha-ue. Tapi setiap hari selama 50 tahun tenggelam dalam Istana Dingin, itu juga tidak baik Hime-Sama. Aku yakin bukan itu yang Haha-ue inginkan darinya. Haha-ue pasti ingin Chichi-oye bahagia. Dan jika kau bisa membahagiakannya, kenapa harus saling menahan diri?"

"Gomene Towa. Aku tidak bisa berbuat banyak. Bagiku bisa melihat dan bertarung bersamanya saja, itu sudah lebih dari cukup. Aku tidak mau merusak hubungan baik ini dengan keegoisan perasaanku,"

"Hime-Sama...." Towa tampak bergetar karena prihatin.

Hime Hyori merengkuh kedua bahunya, "Kau, Setsuna dan Moroha sering mengunjungiku dan menghiburku, itu juga sudah merupakan berkat untukku. Aku tidak berani meminta lebih,"

"Hime-Sama!" Towa memeluknya seraya berurai airmata.

Hime Hyori membalas pelukannya, "Aku baik-baik saja Towa. Tidak perlu khawatir," ia menenangkannya.

Love of The GoddesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang