1. Rumah Baru

1.3K 144 5
                                    

Dalam pekatnya langit malam mobil sedan itu melaju membelah jalan protokol yang cukup padat. Angin berhembus kencang menerbangkan helai-helai daun yang berserakan di pinggir jalan ketika mobil itu berbelok di persimpangan.

"Kita mau ke mana, ma?"

Windy mengelus sayang rambut anak lelaki di sampingnya. Bibirnya mengulas senyum meski matanya tergambar kaca-kaca tebal yang berkilauan di timpa tiap lampu jalan yang dilewati. "Rumah baru, Esa."

"Kita pindah rumah lagi?" tanya bocah bernama Mahesa dengan lesu. Ia cukup lelah berpindah rumah lebih dari empat kali dalam kurun waktu tiga bulan ini. Mahesa baru mengenal teman-teman baru di lingkungan barunya lalu tiba-tiba besoknya Windy mengatakan mereka akan pindah. Padahal Mahesa suka sama teman-teman barunya yang menyenangkan. Begitu terus.

"Iya, sayang. Tapi kali ini Mahesa aja yang pindah ke rumah baru, mama mau cari uang buat Esa. Nanti waktu uang Mama sudah banyak Mama jemput Esa. Mama bawa robot-robotan yang besar dan banyak, Nanti Esa boleh beli boneka beruang lagi yang lebih bagus." Windy meraih boneka beruang kumal yang ditimpa air liur Esa saban anak laki-laki itu memeluknya kala tidur.

Dia memberikan nya pada Mahesa. Anak laki-laki itu langsung mendekapnya erat.

"Aku mau sama Mama." Mahesa bergumam, suaranya turun satu oktaf.

Di langit kilat menyambar satu dua lalu jendela mulai dihiasi titik titik air hujan, tak lama hujan deras mengguyur di sepanjang jalan. Pak Sopir menyalakan windscreen wiper, tidak membiarkan air hujan yang jatuh ke jendela menghalangi pandangannya.

"Nanti Esa juga sama Mama, kok. Mama baru, sama baiknya seperti Mama. Sayang juga sama Esa." Windy membiarkan sesak menyiksanya tapi tidak membiarkan air matanya luruh seperti hujan di luar.

"Aku nggak mau kalau nggak ada Mama." Anak laki-laki itu melemper bonekanya ke belakang dan beralih mendekap perempuan yang ia panggil Mama.

Windy bohong kalau ia bisa menahan tangisnya. Ia balik mendekap putranya, menyalurkan kasih sayangnya sebelum rasa sayang itu tidak bisa dia tumpahkan lagi pada pemiliknya. Windy merangkai kata demi kata dalam kepalanya, membuat janji manis untuk meyakinkan bocah empat tahun dalam pelukannya kalau semuanya akan baik-baik saja.

"Mama janji nanti seminggu sekali Mama datang ke rumah baru Esa. Nanti Mama bawa roti bakar selai kacang kesukaan Esa, ya, sayang?"

"Janji?" tanya Mahesa seraya mengacungkan jari kelingking.

Jari kelingking mungil itu dibiarkan cukup lama. Windy hanya menatapnya lalu dengan berat hati ia menarik senyum manis dan menautkan jari kelingkingnya pada jari Esa yang hampir kecewa.

"Bawa martabak telor juga, ya?" Esa menawar. Tak apa lah meminta lebih, Mama nya bilang dia akan mendapat banyak uang.

"Iya sayang."

Dalam hati Windy menggumamkan maaf beribu-ribu kali. Netranya menatap nelangsa pada Esa yang kini duduk rapi di jok sebelahnya, kembali menarik boneka beruang itu ke dalam pelukannya. Anak itu memandangi titik titik hujan yang jatuh di jendela sebelum kemudian merosot satu persatu. Membayangkan seperti apa rumah barunya.

"Esa jadi anak baik, ya?"

Usapan lembut di kepalanya membuat Mahesa mengalihkan atensinya pada Windy. Anak itu mengangguk polos.

"Mama nanti masuk TV lagi?"

"Iya. Esa lihat Mama di tv ya kalau lagi kangen sama Mama."

Esa menatap tepat pada kedua bola mata jernih perempuan itu. Tapi dia hanya seorang anak kecil yang tidak mengerti arti sebuah tatapan, baginya Mata Mamanya cantik. Selalu seperti itu tapi Mahesa tidak pernah tahu mata perempuan itu selalu jujur. Dia akan mengatakan bahwa hatinya hancur ketika hatinya hancur. Tidak seperti lidahnya yang penuh dusta. Tapi bagi Mahesa mama adalah Mama yang cantik jelita dan menyayanginya sama seperti Mahesa menyayangi Mama.

TimelessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang