Desember, periode yang tepat untuk hujan deras turun nyaris tiap hari. Malam ini awan pekat yang berbaur dengan kelam langit malam, menumpahkan titik-titik air ke bumi dengan jiwa puas, beringas menjebak orang-orang tetap berdiam diri di bawah atap bagi yang punya.
Windy belum kunjung pulang setelah acara Singer Star episode pertama selesai sepuluh menit lalu. Windy sudah kembali dengan riasan tipis seperti ketika ia datang kemari.
Tidak melupakan janjinya pada orang yang kehilangan ponselnya di ruang make up peserta. Ia setia menunggu balasan chat yang ia kirimkan tepat setelah Windy turun dari panggung pada kontak Aksara.
Hari ini Windy tidak memiliki jadwal apapun lagi. Semua yang ia kerjakan hari ini cukup membuatnya kelelahan. Punggungnya meronta-ronta direbahkan, tapi Windy harus menempuh perjalanan satu jam untuk sampai rumahnya sebelum kemudian dengan leluasa berbaring mengistirahatkan tubuhnya yang cukup capek. Mungkin ketika jarum pendek jam nyaris menunjukkan angka dua belas.
Drrt
Getar singkat dari ponsel dalam genggamannya menginterupsi Windy. Ia membuka pesan baru itu.
Aksara
Saya tunggu di ruang peserta C sekarang ya. Nggak nyaman kalau di waiting room peserta yang ramai
Terima kasih udah menjaga hp nya
"Aku ke ruang peserta sebentar ya. Mau ngasih hp ini ke pemiliknya." Windy pamit pada Sekar yang tengah sibuk menggunting kuku, kemudian beranjak pergi menemui si pemilik ponsel.
Ruang peserta C sudah kosong ketika Windy sampai di sana. Hanya ada seorang peserta yang duduk di ujung sofa. Tangannya sibuk meremat jari-jarinya yang saling bertaut, seakan gugup menanti undian keberuntungan.
"Halo, Dasa!"
Anak laki-laki itu menengok kearahnya, ada kaget yang kentara dalam bola mata nya yang sebening kaca. Kemudian tersenyum canggung pada Windy yang ikut duduk di sofa. Senyum yang selalu sama dan membuat Windy bertanya-tanya. Kenapa?
"Kamu kok masih di sini?" tanya Windy. Dia menilik ke sekeliling ruangan yang lengang. Hanya ada Dasa -dan sekarang dia disana.
"Umm, saya mau ngambil ponsel yang ketinggalan di ruang make up, Coach."
"Ponsel yang seperti apa?"
"Warna putih yang pakai case kuning gambar jerapah. Ada stiker huruf "a" di pojok kanan atas. Juga ulasan foto yang judulnya Rumah Bulan." Dasa menjabarkan ciri-ciri benda yang dia cari.
Windy menarik benda pipih dalam kantung dress nya sebelum bertanya untuk memastikan, "jadi ini ponsel punyamu?" Karena Windy tidak mengira itu milik Dasa, dia kira justru Cakra -jika itu milik peserta bukan staf.
"Bukan." Dasa menggeleng dengan senyum yang sama. "Punya teman saya, saya pinjam."
"Tapi kamu bilang di chat ini punyamu," Windy baru saja mau membuat asumsi baru bahwa Dasa adalah Mahesa tapi anak itu membantah.
"Ah- itu cuma supaya orang yang nemu hp ini percaya kalau saya yang kehilangan hp ini." Dasa harap Windy percaya pada dusta nya yang nyaris sempurna.
Windy mengangguk. Dalam kepala bertanya-tanya apakah teman yang dia maksud adalah Cakra? Jika iya ini adalah kebetulan paling ajaib karena apa yang dilihatnya dalam ulasan kenangan dalam ponsel pintar yang kini berpindah ke tangan Dasa adalah petunjuk jelas bahwa pemilik ponsel itu memiliki keterkaitan dengan Rumah Bulan.
Namun tak mungkin baginya meminta Dasa untuk bilang pada temannya kalau Windy mau bicara. Meski Dasa menyebutkan ulasan Rumah Bulan bukan berarti dia bisa bbertanya seenaknya. Anak itu pasti penasaran, dan semuanya bisa terbongkar. Dinding yang ia bangun tinggi-tinggi untuk menyembunyikan sebilah pedang penuh darah, menjadi latar belakang suci yang terbentang di balik punggungnya, runtuh dalam sekejap mata, menguak dosa yang membuatnya dipandang tak pantas berdiri di dihadapan semesta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Timeless
FanfictionMahesa yang terbuang. Mahesa yang merindukan kasih ibunya. Mahesa yang terlupakan. Untuk segala luka yang tertoreh. Untuk lelah yang tak kunjung usai. Untuk rindu yang tak pernah tersampaikan, dan untuk setiap sakit dari pupusnya harapan. Kisah ini...