Sore itu hujan deras mengguyur tiap sudut kota metropolitan yang masih asing bagi seorang Mahesa. Menjebaknya dibawah atap tinggi dari atas kepala yang menaungi dari rinainya. Terlebih lagi rumah barunya terasa begitu dipngin membekukan di tengah ramai ceria penghuninya. Terkadang rumah itu masih terasa asing, terutama ketika Mahesa menyadari tidak ada mama di sana.
Seperti sekarang, mahesa memilih sendirian menatap hijau rerumputan yang digenangi air hujan. Duduk di depan jendela yang disinggahi bulir-bulir air sambil bertopang dagu lagi setelah menolak tawaran salah satu anak laki-laki yang serumah dengannya.
Dia teringat mama. Sudah lama sekali sejak Windy membawanya ke rumah baru itu. Mahesa tidak tahu pasti berapa lama dia tinggal disana, yang jelas dia telah hapal dengan wajah-wajah penghuni rumah itu berikut namanya. Meski jarang main bareng anak-anak yang lain Mahesa tahu tabiat anak-anak itu dari mengamati yang lain bermain dari teras. Kebanyakan dari mereka banyak tertawa, tapi juga cengeng.
Rumah itu .... semua orang di sana menyebutnya Rumah Bulan. Hanya Mahesa yang menyebutnya rumah baru. Gara-gara itu Mahesa sampai harus berdebat dengan salah satu anak yang seumuran dengannya. Namanya Aksara.
Di antara puluhan anak yang ada di rumah itu Aksara lah yang paling banyak bicara. Banyak tanya, dan banyak tingkahnya. Mahesa tidak tahu kenapa rumah itu ramai anak-anak seperti sekolah TK, meski tidak semuanya seumuran, anak-anak jauh lebih banyak dibanding orang dewasanya.
Anak itu cerewet betul. Dasa sampai kewalahan menanggapi Aksara yang terus mengajaknya bercerita. Hobinya memaksa hingga berujung bertengkar. Menyebalkan lah pokoknya.
"Kamu masih kepengin punya mobil-mobilan baru? Kepengin banget ya?"
Itu dia anaknya. Tidak perlu menoleh Mahesa sudah hapal dengan suara cemprengnya yang khas. Di rumah baru cuma Aksara yang punya suara itu.
"Kenapa kamu disini? Kenapa nggak mainan sama teman-teman yang lain?" tanya nya sambil meliukkan jarinya pada kusen jendela. Seolah membuat coretan tak kasat mata yang hanya bisa dilihatnya.
"Ish, aku tanya kok malah tanya balik." Aksara menarik laci di samping ranjang tingkat tempatnya tidur. Berikutnya terdengar suara grasak-grusuk dari barang-barang yang di obrak-abrik.
"Nih buat kamu!"
Aksara nyaris membuat hidung mancung Mahesa copot gara-gara ditabrak mobil truk mainan yang tiba-tiba muncul di depan mata. Mahesa menatap Aksara bingung.
"Kamu kelihatan sedih banget karena nggak dapat mobil-mobilan. Jadi nih buat kamu, jangan sedih terus, Esa," ucap Aksara seraya memamerkan senyumnya. Niatnya tulus ingin melihat teman barunya tersenyum setidaknya sekali saja. Aksara bosan melihat wajah tertekuk Mahesa sejak pertama anak itu datang ke rumah bulan. Apalagi tiga hari terakhir ini, wajah Mahesa persis kertas yang diremas-remas, lalu dibentangkan.
Namun niat baik Aksara dibalas ketus oleh Mahesa yang menepis mobil truk mainan Aksara.
"Kok kamu begitu sih?! Aku berniat baik tahu!" Aksara jengkel. Wajahnya merah menahan kesal. Mahesa tidak pernah tahu Aksara berpikir semalaman untuk memutuskan memberikan mobil mainannya pada Mahesa atau tidak. Aksara sampai nyaris tidak tidur memikirkannya.
Itu semua gara-gara dia tidak sengaja mendengar pembicaraan Mahesa dan Ibu Mentari. Salah satu Ibu panti. Aksara mendengarnya sekilas. Mereka membicarakan mobil mainan yang sepertinya begitu Mahesa inginkan sampai anak laki-laki merengek.
"Terima kasih, tapi aku nggak kepengin mobil-mobilan punyamu kok, Ra." Melihat wajah Aksara, Mahesa sadar dia salah barusan.
"Kenapa? Kamu nggak suka mobil truk ya? Maunya mobil yang nggak ada bak nya, biar keren?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Timeless
FanfictionMahesa yang terbuang. Mahesa yang merindukan kasih ibunya. Mahesa yang terlupakan. Untuk segala luka yang tertoreh. Untuk lelah yang tak kunjung usai. Untuk rindu yang tak pernah tersampaikan, dan untuk setiap sakit dari pupusnya harapan. Kisah ini...