17. Bukan Dia

273 59 8
                                    

Windy baru saja menyelesaikan ritual mandinya yang memakan waktu nyaris dua jam. Arloji di atas nakas berdetak sesuai ritme, memotong detik demi detik waktu menuju fajar. Suaranya yang lirih mengisi kekosongan dalam ruangan yang lengang.

Perempuan itu membiarkan keheningan lebih lama mendominasi. Tangannya bekerja mengusap surai pirangnya yang basah, meneteskan sisa-sisa air ke lantai pualam. Kemudian, tiba-tiba ringtone ponselnya berbunyi keras, di atas nakas, menjerit-jerit di tengah sepi tengah malam.

"Siapa?" Windy bertanya pada dirinya. Diliriknya arloji di dekatnya, pukul empat pagi.

Nama Andri tertera di layar ponsel yang masih bernyanyi merdu. Windy mengeratkan tali kimono yang masih membalut tubuhnya, kemudian mendekatkan gawai nya ke telinga.

"Ini terlalu pagi buat nelpon orang yang bukan siapa-siapa kamu." Windy membuka pembicaraan dengan nada ketus.

"Haha, kamu lupa ya dulu kamu juga sering nelpon saya di jam-jam segini. Atau malah lebih malam," Andri tetawa tipis, "eh, tapi kamu keren sekali bisa bicara pakai nada seperti itu ke saya. Bukannya kamu punya trauma?"

"Kamu nggak pernah baca buku ya?" sarkasnya, meski tanpa sadar tangannya bergerak naik ke bahu, meremas pelan kimono nya. "Lagi pula nggak sopan membicarakan hal itu sama orang yang pernah mengalami nya."

"O-ow sekarang Windy sudah lebih dewasa dari saya ya." Bukannya tersinggung Andri justru ikut terkekeh.

"Nggak usah banyak basa-basi. Ada apa kamu nelpon jam segini?"

"Aku hampir lupa tujuanku menelpon kamu, untung kamu mengingatkan." Laki-laki itu tertawa lagi. Anoying, padahal nggak ada yang lucu sama sekali.

"Ya, jadi ada apa?"

"Saya ada di depan, ada yang mau saya bicarakan. Bisa keluar sekarang?"

"Kita bisa bicara di telepon." Windy menolak dengan halus, suaranya masih tenang. Kini perempuan itu berjalan menuju jendela, dimana halaman depan rumah berada di baliknya.

Tirai yang sengaja di tutup itu disibak sedikit. Hanya untuk mengintip keadaan di luar. Jalanan di sana lengang, tapi ada satu mobil sedan hitam yang terparkir di pinggir jalan. Benar, itu mobil milik Andri, namun Windy tidak menemukan pemiliknya. Mungkin ada di dalam.

"Saya mau bicara langsung. Ini soal Mahesa."

"Saya nggak mau, dan kita bisa bicara di sini aja. Sekalipun soal Mahesa." Kalimat Windy tegas. Dia enggan di bantah dan pikirnya Andri menurutinya kali ini karena laki-laki itu tidak bersuara, namun ketika nyaring bel rumah berbunyi Windy tahu akan ada sesi debat yang lumayan panjang akan terjadi beberapa saat lagi.

"Kamu ngapain?"

"Buka pintunya, dan lain kali jangan lupa kunci pintu gerbang rumah mu, Windy."

Perempuan itu tercekat. Mungkin Windy melupakan gerbangnya karena ia terlalu lelah setelah diserbu kegiatan yang seolah tak ada habisnya.

"Tunggu di sana." Windy mematikan telpon nya dan beranjak ke wadrobe room. Kurang dari lima menit dihabiskannya untuk mengganti handuk kimono nya dengan pakaian.

Sesaat sebelum membuka pintu besar di depannya Windy bergeser ke jendela. Mengintip Andri yang tengah bersandar di pendopo teras, menunggunya, hanya untuk memastikan bahwa pria itu tidak membawa sesuatu yang berbahaya.

"Kenapa ngotot ketemu?"

Andri berbalik.

"Kamu nggak boleh datang ke rumah Cakra."

"Kamu nggak berhak melarang saya. Lagipula kamu yang nyari tahu alamatnya, kenapa tiba-tiba berubah pikiran??"

"Itu terlalu beresiko, Windy. Jangan ngegabah!"

TimelessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang