11. Notebook Sampul Biru

285 61 4
                                    

Pukul dua dini hari Windy terbangun tanpa alarm. Tidak ada alasan kuat yang membuat nya memilih beranjak ke dapur alih-alih meneruskan tidurnya. Dimana terlelap di atas ranjang empuk pukul sepuluh dan bebas bangun hingga subuh jarang terjadi terutama setahun terakhir.

Wanita itu beranjak ke dapur untuk memenuhi kebutuhan perutnya yang keroncongan. Sekedar potongan buah di dalam lemari pendingin agar menjaga tubuhnya tetap ideal. Enam potong buah pir Windy habiskan dalam sunyi tengah malam, setelah dirasa cukup ia beranjak dari sana. Namun derit singkat pintu di ujung ruangan membuat langkah Windy terhenti.

"Sekar?" Windy memastikan bahwa manajernya lah yang membuka pintu, karena perempuan itu menginap di rumahnya hari ini.

Tapi Windy tidak mendapat jawaban. Tidak ada kejelasan siapa yang membuka pintu ruangan di pojok rumah itu. Sekar tidak mungkin pergi ke gudang tengah malam begini. Daripada mati penasaran Windy merubah arah, ia berjingkit-jingkit ke pintu gudang yang dibuka sedikit. Membuat seberkas cahaya dari dapur mengintip lewat celah pintu.

Derit pintu terdengar lagi ketika Windy mendorongnya. Tidak ada siapapun. Asisten rumah tangga nya pasti lupa menutup pintunya dengan benar.

Debu tebal menyeruak ke indra penciuman Windy, dia sampai nyaris batuk dan bersin. Diraihnya saklar di samping pintu. Lampu ruangan berkedip dua kali kemudian menyala terang. Lantainya bersih mengkilap menandakan rutin dicumbu kain pel, namun barang-barang yang tidak ditata rapi berselimut debu lima centi. Ada sarang laba-laba bergantung mengusik mata di ujung-ujung langit-langit gudang.

Tapi yang paling menarik perhatian Windy adalah sebuah tas merah delima di atas lemari yang warnanya tak lagi sempurna. Memudar setengahnya, ditutup debu seluruhnya. Miliknya.

Windy menarik kursi kayu di samping etalase. Menggunakan nya sebagai pijakan yang memudahkannya meraih tas itu. Ada rasa risih ketika jemarinya menyentuh permukaan tas yang penuh debu.

"Udah rusak," gumamnya menyadari seleting tas nya tidak lagi berfungsi. Ditarik ke arah manapun mulut tas nya akan tetap melompong. Membuat bagian dalamnya disusupi debu dan sarang laba-laba. Bagian bawahnya nyaris koyak dan talinya hampir putus.

Windy kembali ke dapur untuk mengambil lap yang sudah ia basahi. Ia duduk di sana, bersimpuh di antara barang-barang yang tidak lagi digunakan. Bertahun-tahun tidak melihat tas itu membuat Windy penasaran dengan isi nya. Ketika mulut tas terbuka lebar Windy bisa melihat beberapa note book di sana, satu lembar uang dua ribu rupiah dan beberapa bungkus permen kopi kesukaannya.

Dia hanya mengambil beberapa notebook, membiarkan yang lain tetap berada di dalam tas lebih lama. Totalnya ada tiga buah notebook dengan sampul yang berbeda. Buku agenda kegiatannya, buku agenda pengeluaran nya ....., dan buku kenangan yang entah bagaimana bisa ada di sana. Windy baru ingat dia punya buku seperti ini. Ia meletakkan yang dua dan membuka yang satu. Notebook bersampul biru.

Notebook bersampul biru telah mengusam, dulu mungkin sengaja ia buat untuk mengenang masa lalu atau mungkin Windy hanya iseng. Dia tidak ingat.

Ada sebuah foto Mahesa bayi yang terbaring dengan setelan pink. Kaos pink lengkap dengan empengan warna serupa. Ditempel dengan lem kertas seribuan tepat di tengah-tengah. Ada sebuah tulisan di bawahnya yang membuat Windy melebarkan senyumnya.

Anak laki-laki harus mau pink! Pink ≠ anak perempuan!

Sampai sekarang Windy masih memegang teguh sudut pandangnya mengenai warna yang dinilai feminim oleh sebagian masyarakat itu. Windy mengamati foto itu lama, mencoba menerka wajah Mahesa lewat sana, sayangnya wajah seseorang yang tumbuh terus berubah. Mungkin tidak juga. Tapi yang jelas Windy tidak pernah menemukan seseorang yang mirip dengan Mahesa.

TimelessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang