"Kamu harus tahu satu hal."
Siang itu restoran tempat Windy makan siang sepi. Padahal mereka menyuguhkan makanan yang enak dan interior yang cantik. Windy tidak benar-benar paham dengan selera makan orang-orang, tapi di lidahnya semuanya terasa enak.
Perempuan itu hanya mengangguk sekilas setiap Andri, manajernya, menjelaskan sesuatu yang belum ia tahu soal dunia entertainment yang tak pernah ia sangka-sangka sesulit dan ini.
"Di "dunia kita" semuanya harus terlihat sempurna. Semuanya tanpa celah sedikitpun, itu kalau kamu mau jadi orang besar di dunia kita. Yah meski sebenarnya kita tetap punya kemungkinan buat punya karir bagus di dunia entertainment kalau punya celah ...., tapi kemungkinannya begitu kecil. Terkadang kita harus mengorbankan sesuatu kan, Win buat dapat segalanya?"
Andri adalah sosok laki-laki yang baik. Dia membantu Windy dalam banyak hal, bahkan siap direpotkan dengan hal-hal kecil yang seharusnya bisa Windy kerjakan.
Semua yang Andri bicarakan tidak salah. Windy paham kenapa menjadi seorang entertainer memiliki begitu banyak tetek benek yang harus dijalankan.
"Kamu ingin karirmu sebersinar apa untuk sepuluh tahun ke depan?" tanya laki-laki itu sambil menyeruput kopinya.Lalu dengan yakin Windy berucap. "Yang paling bersinar di antara yang lain."
Andri tersenyum puas. Lalu ia mengangguk-angguk. "Kalau begitu korbankan hal yang membuat karirmu jelek."
Windy cukup cerdas untuk memahami kata demi kata Andri siang itu, tapi Windy tidak tahu apa yang harus ia korbankan dan apa yang membuat karirnya jelek ketika Andri mengatakan bahwa laki-laki itu yakin jika karir Windy akan tetap ada di atas, meski puluhan tahun berlalu dengan potensi yang Windy miliki. Seperti yang Andri pinta Windy memikirkan ucapan pria itu setiap hari. Setiap dalam perjalanan menuju lokasi syuting sampai ketika ia menceritakan dongeng pada Emi setiap anak itu mau tidur.
Dan hasilnya nihil. Tidak ada yang perlu perempuan itu korbankan. Hingga suatu malam, di perjalanan pulang, Andri mengantarkan perempuan itu pulang karena jam sudah menunjukkan pukul dua belas dini hari. Terhitung satu bulan sejak obrolan mereka di restoran siang itu dan Andri menyadari Windy tidak menyadari hal penting yang harus dia korbankan ada di depan matanya. Entah karena perempuan itu terlalu polos atau dia hanya tidak ingin mengorbankan nya.
"Berkorban memang sulit. Tapi dari berkorban kita bisa dapat hal lain dan jumlahnya berlipat." Di antara suara penyiar radio yang terdengar masih semangat meski hampir tengah malam Andri mulai membuka obrolan.
Dan sepertinya Windy peka dengan arah pembicaraan mereka. Perempuan itu menyahuti. "Benar. Tapi aku nggak tahu apa yang harus aku korbankan."
Andri menoleh kurang dari dua detik, lalu kembali fokus menatap jalanan di depan. "Nggak tahu atau nggak mau?"
"Maksudnya?"
"Mahesa. Sebenarnya kamu cuma nggak mau mengorbankan dia 'kan?"
Windy menatap nanar Andri yang masih memasang wajah tanpa ekspresi. Seakan-akan Andri baru saja menyuruh Windy membuang mainannya yang jelek jika dia ingin yang lebih baru dan bagus.
"Maksud mu yang harus dikorbankan itu Esa?! Kamu gila, An!!" Windy berteriak dengan suara lantang. Tangannya mengepal tidak terima.
"Kamu sempurna, Windy. Cuma anak itu yang bikin kamu jadi jelek. Kamu nggak tahu setelah sebulan lamanya aku ngasih kamu kode?"
"Aku nggak akan pernah mengorbankan anakku sendiri!" Bagaimanapun juga salah satu alasan Windy datang ke ibu kota adalah buat Esa. Dan hanya ibu tidak tahu diri yang membuang anaknya demi setumpuk uang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Timeless
FanfictionMahesa yang terbuang. Mahesa yang merindukan kasih ibunya. Mahesa yang terlupakan. Untuk segala luka yang tertoreh. Untuk lelah yang tak kunjung usai. Untuk rindu yang tak pernah tersampaikan, dan untuk setiap sakit dari pupusnya harapan. Kisah ini...