3. Kangen Mama

662 100 5
                                    

Oktober ketika musim hujan dimulai karir musiman bocah-bocah kumal jalanan juga dimulai. Salah satunya empat anak laki-laki berseragam merah putih yang duduk di ujung tangga penyebrangan jalan. Salah dua dari empat bocah itu menengadah ke langit, memohon dengan sangat kepada pencipta semesta untuk menurunkan hujan dari gumpalan awan hitam yang menggelapkan seisi kota.

Bocah berambut keriting yang duduk paling ujung berkomat-kamit dengan mata terpejam. Tangannya mengepal di depan dada bersama payung yang ia dekap erat. "Hujan hujan hujan hujan hujan, yang deras yang deras yang deras ya tuhan." Namanya Aksara.

Lantas anak laki-laki bercelana bolong di samping Aksara mengaminkan dengan segenap hati.

Elano menepuk paha Mahesa si anak bercelana bolong itu ketika menyadari beberapa orang yang berlalu-lalang menyebrangi jembatann menggeleng prihatin ketika melihat kancut Mahesa mengintip dari balik celana merah khas anak SD yang ia kenakan karena kaki Mahesa yang terbuka lebar.

"Titit mu di lihatin orang, Sa!" bisik Elano berbaik hati memberitahu.

Mahesa langsung merapatkan kaki, pipinya bersemu merah. 

Aksara masih setia komat-kamit hingga ludahnya hampir memenuhi seisi mulut. Anak laki-laki itu begitu mengharapkan awan mendung di atas sana berbaik hati pada mereka. Aksara hanya mengharapkan receh untuk makan bukan dolar untuk membangun istana, apa ia serakah meminta hujan di antara ratusan ribu orang sibuk hari itu yang mengharapkan cuaca cerah?

Cakra menarik sepotong roti yang tersisa separuh dari saku celananya. Separuh lainnya sudah tenyap dalam perutnya kemarin sore. Cakra tidak munafik, ia ingin makan tiga kali sehari seperti dua tahun lalu, Cakra rindu rasanya nasi ayam goreng tapi Mahesa bilang mereka tidak boleh merengek untuk seporsi nasi ayam goreng karena mereka sudah besar.

Cakra tidak boleh mempermalukan sergam merah putihnya.

Tapi hari ini Cakra berharap dengan amat sangat hujan turun dengan deras. Dan banyak orang menggunakan jasa ojek payung mereka karena Cakra begitu mengidamkan nasi ayam goreng.

Tak lama hujan mengguyur bangunan-bangunan tinggi di sana. Jurus komat-kamit Aksara manjur. Empat anak laki-laki itu bangkit dan sigap membentangkan payung mereka kemudian satu demi satu di antara mereka berpencar.

Mahesa gesit berlari. Menyebrangi jalan ketika lampu merah menyala, bergabung bersama orang-orang yang menyebrang di bawah payung mereka. Tungkainya sigap menghindari genangan air kecil yang tercipta. 

Langkahnya terhenti pada seorang laki-laki dengan setelan kemeja yang disetrika hingga licin di halte bus. Dasa menebak-nebak mungkin laki-laki itu seorang pegawai kantoran. Rambutnya licin dan tertata rapi oleh minyak rambut.

Mahesa menyodorkan payungnya berikutnya payung itu berpindah tangan pada laki-laki berkemeja licin. Mahesa mengekori langkah lebar laki-laki itu. Sepertinya pria itu tidak begitu suka basa-basi. Ia tidak mengajaknya mengobrol sama sekali.

Mereka berbelok di persimpangan, lalu berhenti di sebuah restoran.

Laki-laki itu mengembalikan payungnya, mengucapkan terimakasih lalu merogoh saku dan memberikan selembar dua ribu pada Mahesa.

"Terimakasih, om." Sebelum berlari menerobos hujan Mahesa menyimpan selembar dua ribu itu dalam kantung kresek lalu memasukkan nya ke dalam saku celana.

Tapi sebelum langkah kecilnya berhasil meninggalkan pelataran restoran seorang gadis muda meneriakinya. Otomatis Mahesa berbalik.

"Dik, ojek payung!"

Ketika baru selangkah menerobos hujan dari teras restoran bersama payung nya si gadis muda berbalik badan pada Mahesa.

"Sini, ikut payungan!"

TimelessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang