6. Antrian

390 83 3
                                    

"Kita nggak jadi satu aja nih?? Band aja gitu, kaya biasanya biar kalau menang 1 menang semua?"

Aksara langsung dihujani tatapan mencibir oleh teman-temannya.

"Lo takut kalah?" Dasa memberikan tatapan mengejek yang disahuti tawa oleh Cakra dan Elano.

"Gue kalah dari kalian?" tanya aksara terdengar meremehkan. Senyum miring nya tersungging berlebihan membuat dia persis kelihatan seperti remaja nakal yang hobi bolos sekolah dan menantang guru. "Mimpi! "

"Ya udah ngapain lo ajakin kita ikutan audisi bareng-bareng? Dipikir ini audisi grup? "

"Gue mau membantu lo biar bisa terus dekat sama Mama Windy, Sa!" Aksara tersenyum lebar. Awalnya Aksara hanya berniat membuat alasan asal, tapi sepertinya Dasa tidak menyukai ucapannya.

"Nggak usah ngomongin itu di sini." Dasa menatap Aksara nyalang. Tidak senang membicarakan nama wanita itu di keramaian.

Seraya mengibas-ngibaskan sobekan kardus Aqua yang sengaja Cakra selipkan di pinggangnya dari rumah sebagai bekal ngantri seharian di lokasi audisi, Cakra mengamati orang di sekelilingnya. Orang-orang masih berjubel dalam antrian panjang, berkurang cukup banyak sejak ia mengantar ketika matahari masih malu-malu, kira-kira pukul jam 6 pagi. Tapi meski begitu nomor yang masih jauh dari antrian yang akan dipanggil, kira-kira 10 sampai 20 nomor lagi.

"Perjuangan memang keras, bro."

Celetukan asal Cakra menarik perhatian beberapa peserta yang sedang mengantri sama sepertinya. Cakra sengaja. Wajah sepet Dasa sama sekali membuat suasana antrian berubah. Untungnya usahanya berhasil.

"Malu anjing!"

"Siapa sih dia?? Gue nggak kenal!"

Aksara dan Dasa wajah kesembarang arah. Berapa tidak kenal dengan anak laki-laki berwajah oriental yang acungkan jari telunjuk dan tengahnya
seraya memamerkan deretan gigi nya seperti anak TK.

"Panas banget ya ampun, Jakarta apa Padang Mahsyar sih ini?" Seolah tak malu dilihatin orang Cakra menyeletuk lagi.

"Omongan lo nggak membantu sama sekali, Ra!" Dasa merebut sepotong kertas kardus dari tangan Cakra. Mengipasi wajahnya yang memerah karena kepanasan, juga setengah kesal dengan Aksara.

"Bacot banget dah! Giliran kita udah Deket nih, bangun cepetan!"

Aksara mengingatkan, wajahnya yang semula tampak lelah dan bersalah mulai dihinggapi gerogi dan gairah. Keringat yang mengucur di dahi dan pelipis bukan lagi hanya karena cuaca yang panas tapi karena rasa nervous nya yang muncul.

Ia menunjuk antrian di depan yang terus berkurang. Mengulurkan tangan pada satu-persatu teman nya. Membantu mereka berdiri.

"Bokong gue kotor nggak?"

"Kalau lo lupa cebok ya kotor."

"Serius, Aksara!"

"Enggak, Elano!"

"Muka gue masih ganteng nggak? Apa bedaknya udah luntur?"

Cakra, Aksara, dan Elano melotot. "Lo pakai bedak?!"

"Lo mau mangkal di lampu merah?" Elano menimpali.

"Lo pakai bedak nya siapa, Sa??"

Dasa cuma bercanda. Tapi memang tiga orang itu suka nggak bisa membedakan mana candaan dan bukan. Dasa bahkan tidak tahu aroma bedak kecuali bedak bayi yang sering kali dipakai teman-teman perempuan dikelasnya. Dibawa ke sekolah. Saat bedak ditaburkan di atas telapak tangan sebelum kemudian diratakan di wajah aromanya semerbak memenuhi ruang kelas.

"Gue enggak."

"Tapi muka lo ...," Aksara serius memperhatikan wajah Dasa yang dia sadari lebih kinclong dari biasanya. Bikin tiga orang itu makin curiga.

"Muka gue emang kinclong dari sana nya, cuma kalian aja yang baru sadar. Jangan bandingin sama muka kalian yang cuci muka nya pakai sabun colek!"

"Enak aja elo pikir muka gue piring prasmanan?!" Cakra nyolot.

"Emang lo pakai apa? Garnier?? Senka?"

Dasa menggeleng. "Pakai sabun Lifebuoy anti kuman yang warna kuning!"

"Bagusan muka gue dong pakai sabun Giv!" Elano berbangga diri. Meski sebetulnya dua merek sabun itu tidak jauh berbeda. Tapi setidaknya lebih nyambung daripada sabun anti kuman, karena sabun Giv adalah sabun kecantikan.

"Bagusan Lux yang gue pakai!"

"Aksara pakai Lux tapi gosok wajah nya pakai tepes." Mereka tertawa, kecuali Aksara tentunya.

Empat remaja itu tak lelah dulu tak jelas. Aksara memukul pantat Elano kesal. Cakra tertawa lebar, orang-orang mendelik risih.

Tak kehabisan ide membunuh bosan mereka berdiri berhadapan dan mengepalkan tangan sejurus kemudian melepaskan batu gunting kertas untuk menentukan siapa yang akan menraktir makan.

Awalnya Elano protes. Biar yang berhasil lolos yang menraktir, katanya. Cakra lantas berkacak pinggang, menentang. Semua dari mereka berempat akan lolos, kata Cakra optimis. Dua lainnya menyetujui.

Elano, Dasa, dan Cakra mengeluarkan batu. Aksara mengeluarkan gunting.

"Kenapa gue?" Aksara menatap tangannya yang gunting dramatis.

Tiga yang lainnya mendesis senang. Tersenyum lega karena uang jajan yang tak seberapa masih utuh. Namun kehebohan mereka tak berlangsung lama, jerit histeris di barisan depan mereka membuat mereka berbalik. Dasa melebarkan mata, tidak ada aba-aba sebelumnya, tiba-tiba seorang gadis tubuhnya melemas. Tak kuat menopang badannya sendiri. Doyong, lalu jatuh menimpa Dasa.

Dasa hampir oleng, namun tubuhnya cepat merespon. Ia menangkap lengan gadis itu sebelum jatuh beradu dengan tanah. Namun sialnya jepit rambut milik gadis itu mengenai alisnya. Perih namun Dasa tidak begitu peduli. Hingga cairan kental merah turun melewati kelopak matanya. Dasa melotot, refleks tangannya menyentuh alis.

Orang-orang di sana memekik untuk yang kedua kali, disusul debum yang mengagetkan Dasa. Sebelum adegan heroik terulang gadis itu sudah jatuh menubruk paving blok.

"Dasa!"

.
.
.

To Be Continued

TimelessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang