9. Trauma

463 84 1
                                    

Bab ini di revisi, harap di baca ulang. Kalau nggak? Nanti nggak nyambung ke chapter-chapter berikutnya. Sekian, selamat membaca ..

🥀🥀🥀🥀



Windy baru saja menyelesaikan jadwal keduanya hari ini. Dia harus berangkat subuh untuk recording lagu yang rencananya akan di rilis dua bulan mendatang, kemudian menghadiri acara perilisan perdana film "Balas" di bioskop di sebuah mall. Tahun ini Windy begitu sibuk dengan karirnya, usai istirahat yang dia jalani bertahun-tahun karena keadaan yang begitu tidak memungkinkan, Windy baru benar-benar aktif akhir tahun lalu. Menyapa penggemar Windy Amerta yang kadung rindu.

Usai memberikan tanda tangan dan melakukan sesi foto bersama Windy memilih pamit ke toilet untuk menenangkan pikirannya sejenak. Ia mengecek ponselnya yang sengaja di silent karena pemutaran film.

Windy menemukan beberapa panggilan tak terjawab dan puluhan pesan masuk. Beberapa dari grup chat juri-juri Singer Star, beberapa dari teman-teman sesama artis nya, dan beberapa dari seseorang yang menjadi trauma masa lalunya. Termasuk panggilan tak terjawab yang semuanya dari kontak yang sama.

Sebelum Windy terpikir untuk menelpon balik kontak itu, orang itu lebih dulu menghubungi nya. Windy menarik napas dalam, kemudian menggeser pop up hijau.

"Halo!"

"Aku berniat menghubungi polisi kalau telepon kali ini nggak kamu angkat." Laki-laki itu tertawa renyah. Sementara di sini Windy nyaris gemetaran mendengar tawa nya.

"Saya sibuk."

"Ah, aku nyaris lupa. Kamu kan artis besar, padahal dulu aku manajer kamu."

Dia adalah Andri. Mantan manajer Windy.

"Kenapa nelpon, An? Kamu sudah dapat informasi?" Windy berusaha tenang dengan menarik napas pelan.

"Informasi? Kita bahkan belum menyepakati apa pun."

Windy menjauhkan telepon genggamnya dari telinga. Menoleh ke segala arah di toilet untuk memastikan tidak ada seorangpun yang mendengar nya.

"Kamu mau bayaran berapa? Saya akan kasih berapa pun asalkan kamu dapat informasi mengenai Rumah Bulan dan anakku."

Andri tertawa lagi. Windy pikir Andri percaya perempuan itu tidak paham dengan maksud nya? Tidak. Dulu Windy memang hanya perempuan muda yang baru menginjak usia dua puluhan, masih naif dan polos. Tapi setelah bertahun-tahun berada di dunia entertainment dan usianya yang telah dewasa Windy jelas telah paham banyak hal.

Termasuk soal cinta dan obsesi.

"Aku cuma mau jadi manajer kamu lagi, Windy."

"Kenapa? Saya bisa kasih kamu uang dengan nominal besar." Windy mengepalkan tangannya erat. Menghalau rasa takut yang sayup-sayup mulai merambati perasaannya.

"Bukan itu. Aku cuma butuh pekerjaan, aku di PHK belum lama ini. Aku butuh pekerjaan...," Andri menjeda kalimatnya, "dan aku mau membuktikan cinta ku."

"Kalau gitu coba buktikan, berusahalah yang gigih, An." Windy meremas ibu jarinya kuat, hitungan detik Windy menjauhkan ponsel dari telinganya. Menekan pop up merah dengan tangannya yang gemetar. Memutar kran air dan membasuh wajahnya di wastafel. Tidak lebay karena tidak ada yang menjamin make up waterproof nya tetap stay tanpa merusak penampilan nya meski hanya seujung kuku.

Ia masih memiliki jadwal hingga sore. Tidak sepadat biasanya yang membuat nya mau tak mau pulang dini hari. Ia harus menghadiri sebuah acara gosip harian di salah satu stasiun tv terkenal dan menjadi bintang tamu radio.

TimelessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang