25. Kabar

289 55 4
                                    

"Aku benci mama, Bu."

Bermenit-menit waktu berlalu tanpa jawaban dari sebrang telpon. Dasa terisak pilu, membiarkan segala isi hatinya tumpah lewat air mata. Biar basah wajahnya. Biar terbasuh hati nya yang penuh luka.

"Pulang." Hanya itu satu kata yang terdengar sebelum sambungan diputus.

"Gue nggak nyangka Windy yang dipuji-puji setengah mati itu tega bilang begitu. Dia nggak pantas punya anak seperti elo." Cakra se-emosi itu. Dia adalah orang paling marah ketika Dasa menceritakan semua yang dia lihat di atap ini. Cakra ingin sekali memarahi perempuan itu.

"Cakra," peringat Elano. Mencubit kecil paha Cakra. Kalimat cowok itu memperkeruh suasana hati Dasa saja.

"Sekarang lo mau gimana, Sa?"

"Nggak gimana-gimana."

"Maksudnya?"

"Biar gue disini sampai gue tereliminasi. Gue tahu tujuan gue kesini udah nggak ada, gue nggak perlu berusaha ngasih tahu kalau gue anak mama, juga nggak akan mengubahnya buat jadi juara. Terserah mau jadi apa, yang jelas gue enggak lagi mengharapkan mama. Biar gue menganggap dia sebagai Windy seperti yang dia mau---"

Bruk!

Tubuh Dasa nyaris terpelanting menubruk lantai kotor kalau saja tangannya tidak menahan peluk Cakra yang tiba-tiba.

"Lo bener, Sa. Gue emang nggak pernah ngerasain apa yang lo rasain. Lo pantas--"

"Dasa?"

Kali ini kalimat Cakra yang terpotong  oleh suara lembut dari balik punggung 4 remaja laki-laki itu. Mereka menoleh, mendapati wajah pias Soraya yang membuat mereka tak mampu berkata-kata.

"Coach Windy----mama kamu?" Matanya mengerlling tak percaya.

"Kamu dengar?" Suara Dasa masih sumbang, sisa tangis singkat yang berakhir beberapa saat lalu. "Simpan buat kamu aja ya, Soraya."

"A-aku nggak sengaja dengar."

Soraya hanya mendapat anggukan untuk jawabannya. Dia kira Dasa akan marah atau mendiamkannya karena mendengar rahasia yang dia tutup rapi.

"Nggak adil!" Soraya berujar lantang. Terlalu tiba-tiba dan begitu terang-terangan. "Kamu pernah jadi anak jalanan, tapi mama kamu hidup enak-enakan. Ini nggak adil, Dasa!" tukasnya dengan napas memburu. Marah.

"Aku tahu, Ya."

"Ini nggak bisa dibiarin gitu aja. Kamu berhak dapat keadilan."

"Iya, aku tahu."

"Aku bantu." Soraya berujar yakin. Kalimatnya masih abu-abu, tapi tidak dengan apa yang ada di dalam kepalanya. Sebuah ide gila yang sayangnya setimpal atas keterlantaran Dasa selama ini.

🥀🥀🥀

Tengah hari bolong seisi asrama dihebohkan dengan kabar dari sosial media. Rentetan headline berita penuh dengan topik sama. Kabar Mengejutkan! Windy Amerta Terlantarkan Anak Satu-satunya

Anak Windy Amerta Terlantar, Ibu nya Hidup Dalam Kemewahan

Katanya Enggan Terikat Hubungan, Ternyata Windy Amerta Punya Anak Diluar Nikah?

Hot! Windy Amerta Bertahun-tahun Terlantarkan Anak

Judul-judul artikel itu nyaris serupa. Khas judul berita hot selebriti pada umumnya, harusnya Dasa tidak tertarik seperti biasanya. Apa lagi dia sudah memutuskan untuk berhenti peduli pada segala hal tentang Windy. Tapi ini menyangkut dirinya! Cowok itu lantas tergopoh-gopoh beranjak dari kamar asrama setelah Elano membangunkannya hanya untuk melihat rentetan judul artikel dalam ponsel mengenai Windy Amerta.

Dasa tahu harus menemui siapa. Otaknya auto memikirkan satu nama. Soraya. Dia berlari menuju bangunan lain di sebelah bangunan asrama tempatnya tinggal.

"Soraya mana?" Dasa seperti orang kesetanan. Tak sabaran menilik ke ruangan-ruangan yang pintunya terbuka.

"Lagi di kamar kecil-- nah tuh orangnya!" Cewek berambut lurus itu lantas menunjuk Soraya.

"Ikut aku sebentar." Sebisa mungkin Dasa bersikap biasa. Ia berjalan lebih dulu meninggalkan bangunan itu menuju atap asrama. Hanya tempat itu yang bisa dia datangi untuk saat ini.

Soraya mengikutinya dengan langkah yang sama cepatnya. Namun tak sampai mensejajarkan langkahnya, dan Soraya tak perlu bertanya. Dia tahu apa yang membawa Dasa padanya dan membuat langkahnya berbeda dari biasanya. Tatapannya, air mukanya.

"Ini kamu 'kan, Soraya?" Dasa bahkan tidak tahu harus berbuat apa. Pikirannya buntu, perasaannya tak bernama. Terlalu runyam.

"Iya." Soraya memamerkan senyum manisnya. "Setelah ini mama kamu akan dapat balasan karena udah menelantarkankan kamu, meski nggak sesulit kamu. Tapi seenggaknya dia juga merasa hancur."

Sebaliknya, Dasa melongo.

"Jalan pikir mu lucu."


"Karirnya bisa hancur, dia mungkin punya banyak haters setelah ini. Dia pasti dapat puluhan ribu kalimat kebencian di sosial medianya ... sedangkan aku---aku nggak pernah dibenci orang sebanyak itu. Aku memang pernah hidup melarat sementara mama ku hidup enak, tapi nggak ada orang yang membenci aku kecuali---mungkin mama. Nggak ada kata-kata buruk yang bikin aku sakit sampai rasanya aku mau mati aja. Kamu mikir kesana nggak sih, Raya?"

"Aku cuma mau bantu kamu! Aku salah ya?"

"Kamu nggak salah, Soraya. Kamu cuma nggak seharusnya bertindak sejauh ini."

"Kamu marah ke aku?" Soraya lebih tidak menggerti dengan jalan pikir Dasa. Bukankah cowok itu yang seminggu lalu mengatakan dia membenci mama nya? Bukankah ia bilang dia sudah begitu banyak menderita karena perempuan itu?

"Kamu 'kan yang bilang kamu benci mama mu?"

"Tapi aku nggak bilang aku ingin dia menderita. Kamu sok tahu, Soraya. Kamu juga sok berkuasa sampe seenaknya begini. Apa keuntungannyaa buat kamu? Kalau kamu berpikir aku mau jadi pacar mu kamu karena kamu membantu aku dengan cara ini, kamu salah besar! Egois."

Kemudian perasaan itu tanpa permisi  menyergapnya. Dasa tidak menyadari dia telah menyakiti hati Soraya--malah berbalik memunggungi Soraya dan beranjak pergi tanpa ragu barang sedikit.

.
.
.
TBC

TimelessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang