29. Seorang Pahlawan

237 59 3
                                    

Holaaaa! Apa kabar pembaca??? Semoga kita semua sehat terus ya. Sorry banget karena aku akhir-akhir ini update nya nggak sesuai jadwal. Jujur Finding My Son udah mepet ending, aku juga pengennya cepet nyelesaiin Finding My Son dan fokus di I am Yours, tapi ada beberapa hal lain yang perlu diselesaiin dulu dan bikin itu nggak sesuai keinginanku.

Oh iya, aku mau ubah judul Finding My Son!!!! Judulnya jadi Timeless setelah  kurang lebih satu minggu setelah chapter ini dipublikasikan.

Timeless : abadi.

Maksudnya? Penjelasannya di ending cerita.

Kenapa harus ganti judul? Aku merasa Finding My Son kurang tepat untuk cerita ini. Dan lagi pula inti dari sebuah cerita itu isinya 'kan, selagi isinya nggak belok kemana-mana dan judulnya masih sesuai sama ceritanya harusnya nggak masalah.

Semoga tetep pada suka ya!!

Happy Reading

🥀🥀🥀


"Boleh nggak sih aku tetep sayang mama?"

Aksara, Elano, dan Cakra hanya geming, mereka tidak tahu juga tidak mengerti anak laki-laki itu kenapa lagi. Mahesa sebenarnya juga tidak bertanya pada tiga temannya. Dia cuma bertanya-tanya---setelah untuk yang ketiga kalinya Andri menemuinya (entah sengaja atau tidak) menyuruhnya pergi dan mengancamnya untuk jauh-jauh dari mamanya.

Parahnya lagi tadi laki-laki itu mengejarnya dengan sebilah pisau cutter ketika Mahesa belum sempat menjual lebih dari seperempat dagangannya. Tidak ada tindakan lain yang terlintas dalam kepalanya kecuali berlari sejauh-jauhnya. Kemana saja, melompat ke kali sekalipun asalkan wajah bengis penuh kebencian itu tidak lagi ia lihat.

Mahesa hanya bisa berlari. Terus berlari dengan kaki kecilnya yang melangkah lebar. Sayangnya selebar apapun langkah yang mampu ia buat, itu tak sebanding dengan langkah orang dewasa. Meskipun rasanya dadanya mau meledak dan dia memohon Andri tidak akan berhenti mengejarnya begitu saja. Dia berbelok mencari jalan di pemukiman warga.

Sayangnya tidak butuh waktu lama saat mereka berada di kawasan sepi Andri langsung menyahut lengannya. Secepat kilat Mahesa terjatuh dalam kukungan laki-laki itu, kemudian ada perih yang menjalar saat cutter itu menggores lengannya.

"Jangan menemui Windy lagi!"

Andri meremas lengan Mahesa lebih kuat sampai anak laki-laki itu menangis, sebelum kemudian menghempaskannya.

"Om Andri nyayat tangan aku." Suara mahesa bergetar, sarat akan rasa takut.

"Kenapa?!"

"Aku nggak boleh ketemu mama."

Elano menyuruh Mahesa melepaskan kaus nya. Tanpa membantah Mahesa menarik keatas kain lusuh yang nembalut tubuhnya, menunjukkan luka goresan di lengan atasnya yang belum mengering. Hanya darahnya yang sudah menempel kering di kulit bercampur keringat.

"Kita harus lapor budhe Sikas." Elano berkata dengan nada tegas. Dia berdiri. Disusul teman-temannya yang lain. Berlari tergopoh-gopoh mendatangi wanita berbadan gemuk itu.

Budhe Sikas mengernyit kebingungan ketika dia melihat anak-anak malang tanpa orang tua itu berlarian dengan wajah sarat ketakutan. Apalagi ketika Mahesa muncul dari balik punggung Aksara yang lebih berisi daripada badan kurus anak laki-laki itu. Bagaimana tidak, Mahesa berlarian dengan badan telanjang dada. Tulang rusuknya terlihat jelas dibalik kulit dan dagingnya yang tak seberapa banyak. Tidak ada lemak yang menutupi seperti punya Aksara. Seperti baju elastis yang melekat di tubuh pemakainya. Seperti lemak-lemak di perut aksara seperti itu juga tulang rusuk Mahesa. Bedanya punya mahesa lebih dari lipatan-lipatan gemas berjumlah tiga empat.

"Mahesa tangannya disayat pakai pisau!" Elano langsung angkat bicara sambil menarik lengan Mahesa untuk ia tunjukkan pada wanita itu.

Wajah Mahesa pias ketakutan. Dia menatap Budeh Sikas seperti menatap seorang pahlawan, mengharapkan pertolongan.

"Ya ampun, Nak! Coba budhe liat." Perempuan itu berjongkok di samping Mahesa. Meringis pedih melihat luka sayat yang cukup panjang di lengan kurus bocah itu.

"Sakit ya?"

Mahesa mengangguk.

"Coba cerita sama budhe, kok bisa sih begini? Ya Tuhan ... anakku!"

Perempuan berambut sapu ijuk itu makin geleng-geleng----meringis ngeri ketika bocah dihadapannya bercerita. Berkali-kali dia menyebut nama Tuhan sambil mengusap surai Mahesa.

"Mahesa ganti nama aja ya?"

Empat bocah kumal itu saling pandang. Seolah bicara lewat tatapan mata.

"Kenapa? Mahesa suka sama nama itu, Budhe."

"Biar Mahesa nggak dicari lagi sama orang itu. Mau ya?"

"Mahesa masih bisa ketemu mama nggak?" Isi kepala anak itu memang cuma mama.

Budhe Sikas menghela napas pelan. Akan terlalu rumit menjelaskan kenapa bocah itu harus mau mengganti nama. Mahesa masih belum menyadari mama yang dia rindukan tiap hari tak ingin menatap wajahnya lagi. Buat apa dia ingin bertemu, padahal manajer perempuan itu tega sekali menggores cutter ke lengannya---yang artinya bukan tidak mungkin Windy lah yang menyuruhnya.

"Pokoknya Mahesa harus ganti nama. Mahesa mau ketemu mama 'kan? Kalau mau harus ganti nama dulu. Oke?" Budhe Sikas membohongi anak itu. Kalau saja Mahesa tahu, tujuan ganti nama justru agar anak itu seolah berada begitu jauh dari ibunya bocah itu pasti marah besar pada budhe Sikas.

Seminggu lamanya mereka memikirkan nama baru untuk Mahesa. Sebetulnya memberi nama tidak sesulit itu, ada banyak nama yang budhe sikas dan teman-temannya tawarkan, tapi Mahesa banyak maunya. Pokoknya nama barunya harus yang srek di hati, kalau tidak Mahesa tidak mau.

"Kamu Mahesa apa Aksara sih? Banyak mau deh!" Itu Cakra yang berkomentar.

Lalu suatu hari sepulang sekolah tiba-tiba Elano menyarankan sebuah nama. Lengkap dengan nama panjangnya.

"Dasa Amerta Biru."

"Artinya apa?" tanya Mahesa.

"Kalau Dasa nggak ada. Kalau Amerta itu nama mama kamu. Kalau Biru nggak tau sih artinya apa, tapi kan kamu suka warna biru."

Sangat nyeleneh, tapi entah kenapa Mahesa menyukainya. Terutama nama tengahnya.

Seolah tak cukup sampai sana budhe Sikas membawa empat bocah itu pergi dari tempat biasanya mereka tinggal. Pergi begitu jauh, di sebuah tempat yang terasa begitu asing meski masih dengan suasana hirik pikuk ibukota. Mereka pindah sekolah dan pindah 'rumah' hanya untuk menjauhi sosok gila Andri.

Waktu itu Mahesa tidak tahu mengapa harus begitu, tapi setelah dia lebih besar Dasa mengerti situasinya. Dia bahkan melepas nama Amerta dari nama tengahnya, dan menggantinya dengan huruf A. Lalu seratus persen nama Dasa tidak punya arti apa-apa. Hanya sebuah nama yang diciptakan demi sebuah kebebasan.

.
.
.
To Be Continued

TimelessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang