Sudah lebih dari satu minggu Windy berlagak tuli. Seolah-olah matanya buta dan bibirnya bisu tak bisa bicara. Padahal berita itu sudah meledak dimana-mana. Namanya jadi perbincangan dalam siaran berita selebriti tiap pagi siang sore---bukan lagi pujian-pujian memabukan, sudah basi.
Layar gelap tv berubah jadi berwarna setelah Sekar menekan tombol remot dari sofa seperti yang Windy minta. Beberapa meter dari tempatnya Windy terbaring di atas brankar berselimutkan selimut rumah sakit dengan infus menggantung di samping brankar. Perempuan itu tak berdaya ketika Sekar membawanya ke rumah sakit ketika manajernya itu menemukan dirinya nyaris pingsan di kamar mandi.
Windy menghela napas pendek melihat layar tv. Berita itu lagi. Windy cukup lelah melihat sekar mendapat begitu banyak telepon yang membuatnya teramat sibuk beberapa hari ini. Begitu juga Andri yang terus-terusan bicara pakai nada tinggi gara-gara berita itu sampai membuat Sekar terheran-heran awalnya tapi terbiasa lama-kelamaan. Meski Windy tak pernah mengatakan apapun perihal Andri lebihh dari laki-laki itu adalah mantan manajer nya.
"Sekarang dia dimana ya?" gumam Windy nyaris seperti bisikan.
"Eh?"
"Mahesa. Anak itu dimana ya sekarang," tukas Windy.
"Mbak Win nggak perlu mikirin itu dulu, mbak win harus fokus buat pulih dulu baru-"
"Aku mau ketemu Mahesa."
Sebagaimana penyesalan yang selalu ada di akhir, harapan ingin mengulang waktu pasti ada pada urutan selanjutnya.
Entah sebanyak apa penyesalan yang Windy rasa, pada akhirnya dia hanya mengulangi kesalahan yang sama. Keputusan yang dia kira benar nyatanya pada halaman terakhir tak lebih dari sebuah kesadaran akan kesalahan. Kemudian menyesal lagi.
Dia terlalu bodoh untuk terlahir dan menghadapi hal-hal tak pasti. Windy terlalu lugu untuk memilih jalannya sendiri.
"Aku ingin memastikan, apa Mahesa punya hidup yang layak."
Tapi dia bahkan ragu, kalaupun Windy datang apa Mahesa masih mau menerimanya? Apa anak itu masih menunggunya?
Sejenak Windy terlempar pada waktu dimana dia tidak merasa kebas meski tamparan kuat mendarat di wajahnya.
"IBU MACAM APA KAMU?!!"
Itu adalah tahun ketiga lebih dua bulan tepat sejak Windy menitipkan Mahesa di Rumah Bulan --- kemudian memutuskan menitipkan anak itu untuk waktu yang lebih lama atau justru selamanya disana.
Malam sebelumnya Windy masih berbincang hangat dengan wanita paruh baya. Kalimat-kalimat penuh sayang masih bersahutan, beriringan dengan klakson kendaraan di jalan. Windy bisa mendengar nada rindu dari suara yang sesekali diselingi batuk ringan yang membuatnya khawatir. Tapi nenek bilang kondisinya sangat sehat dan batuknya hanya faktor usia.
Windy sudah mempersiapkan segalanya ---dengan berat hati untuk kedatangan nenek ke Jakarta. Setelah tiga tahun, ini adalah kedua kalinya mereka akan bertatap muka, tentunya tanpa Mahesa.
Pertemuan yang pertama nenek kecewa. Dia tidak bisa memeluk cucunya yang terlampau lama tak ia tatap. Tapi Windy meyakinkannya kalau Mahesa tumbuh dengan baik di kota maju sana. Perempuan itu beralasan Mahesa sedang sakit dan membuatnya tidak bisa melakukan perjalanan jauh untuk menemui neneknya. Seorang baby sister merawatnya. Ya tentu saja itu tak lebih dari bualan yang sudah dia rencanakan jauh-jauh hari sebelum Windy benar-benar pulang ke kampung halamannya setelah nenek bersikukuh merayu.
Lalu suatu hari nenek menelponnya hanya untuk menyampaikan keinginannya bertemu Windy dan Mahesa. Windy bersikeras menolaknya dengan ribuan alasan yang dia pikirkan bersama Andri. Lagi-lagi pria itu.
Dini hari setelah telepon itu sebuah nomor tak dikenal menelponnya. Itu sebuah panggilan dari tetangga Windy yang mengabarinya bahwa nenek jatuh di kamar mandi.
Wanita paruh baya itu bicara padanya dengan suara setengah bergetar. Suaranya serak seolah tenggorokannya lebih kering dari sungai yang dilanda kekeringan menahun. Nenek memintanya pulang.
Pagi itu juga Windy terbang menggunakan maskapai paling dielu-elukan.
Windy mengingat apa saja yang dia lakukan di kampung halamannya waktu itu, tapi yang paling ia ingat adalah suara nenek yang penuh amarah dan kecewa. Suaranya tidak bisa setinggi tahun-tahun sebelumnya, usia yang terus bertambah membuatnya makin menua, merengut sedikit demi sedikit apa yang dulu dia punya. Tubuhnya terbaring lemah di atas ranjang. Kaki kirinya dibalut perban, tulangnya patah.
"
KAMU INI BODOH SEKALI!!! IBU DURHAKA KAMU!!"
Entah siapa yang memberitahu nenek perihal Mahesa. Rahasia paling besar yang selama ini terkubur dengan rapi. Yang paling ia tutup-tutupi.
"Mahesa masih sekecil itu, Windy ... dia belum ada sepuluh tahun. Belum ada sepuluh tahun kamu jadi ibunya, tapi kamu sudah jadi ibu yang gagal." Patah patah kalimat nenek dia utarakan. Suaranya nyaris habis hanya untuk meneriaki Windy.
"Mahesa itu--" wanita itu terbatuk pelan diantara amarahnya yang masih berkobar. "Tanggungjawab kamu. Kamu nggak bisa meninggalkan tanggungjawabmu cuma demi angan-angan kamu!"
"KAMU GAGAL JADI SEORANG IBU!!"
Lebih berengseknya lagi Windy bukan memikirkan ucapan nenek. Tidak memikirkan Mahesa sama sekali. Lebih dari hal itu yang hanya seujung kuku di kepala, Windy lebih penasaran dengan siapa si pembongkar rahasia. Siapa yang membuat nenek semarah ini padanya.
"Pulang kamu ke Jakarta! Jangan pernah pulang ke sini lagi,"
"Jangan berani-berani!"
.
.
.TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Timeless
FanfictionMahesa yang terbuang. Mahesa yang merindukan kasih ibunya. Mahesa yang terlupakan. Untuk segala luka yang tertoreh. Untuk lelah yang tak kunjung usai. Untuk rindu yang tak pernah tersampaikan, dan untuk setiap sakit dari pupusnya harapan. Kisah ini...