19. Harapan

320 55 11
                                    

Dia menyesal katanya.

Dasa tersenyum.

Katanya dia menyayanginya. Dia tidak lupa pada Mahesa. Mama benar-benar ingin Mahesa kembali sebagai anak nya. Mama ingin memeluknya seperti Mahesa ingin memeluk mama. Mama merindukan Mahesa sebagaimana Mahesa merindukan mama. Tapi ada satu hal yang mengusik bahagianya; makian Andri dan wajah Windy yang menyembunyikan paniknya.

"Apa mama nggak apa-apa dibentak begitu?" Dasa menghembuskan napas pelan. Suasana hatinya berubah dalam sekejap. Dasa tidak ingin mama terluka tapi sebentar saja tolong biarkan dia menikmati bahagia.

Jika perjuangan panjang yang selama ini dia lalui berakhir bahagia Dasa akan berterimakasih sebanyak-banyaknya pada semesta karena membiarkan langkah kecilnya yang tertatih tidak berakhir sia-sia.

Tubuh Dasa merosot pelan-pelan di balik lemari besar itu. Dia bersandar. Matanya memejam di antara hening yang tersisa setelah dua manusia itu menghilang di balik pintu yang disusul suara mobil yang menjauh tanpa menyadari kehadiran Dasa di sana. Anak laki-laki itu memeluk erat jaketnya. Membiarkan dirinya hanyut dalam lega dan bahagia yang telah begitu lama tidak ia rasakan hingga guncangan ringan pada bahunya membuat kelopak matanya terbuka.

"Heh!"

Wajah Aksara terpampang tepat di depan mukanya begitu Dasa membuka mata. Di belakang nya Elano juga menatapnya seperti ketika mereka mendapati Dasa ketiduran di depan toko yang telah tutup sebelum kemudian mengajaknya pulang dulu.

"Jangan tidur di sini," bisik Aksara yang kini berjongkok.

"Gue nggak tidur."

"Gue liat lo merem. Nggak usah ngeles." Dasa memutar bolaa mata jengah. Susah ngomong sama Aksara. Susah!

"Katanya ngambil jaket, kok malah di sini?" Dasa nggak habis di ajak main petak umpet sama wewe gombel 'kan? Harusnya sih tidak karena Dasa nggak punya indra ke enam.

"Ck." Dasa memicing. "Mikirin apa lo?" todong Dasa menatap Aksara aneh.

"Enggak," gelengnya dengan cengiran lima jari. "Jadi lo ngapain di sini?"

Dasa telah terbiasa membagi segalanya dengan tiga temannya. Tawa, bahagia, tangis, dan luka tidak ada satupun yang Dasa sembunyikan. Tak ada bedanya dengan sekarang. Dasa akan tetap berbagi cerita pada mereka tentang bahagia yang mengisi penuh rongga dadanya.

"Gue ... habis ketemu mama."

Elano dan Aksara saling melempar pandangan. Mereka bicara lewat tatapan yang bisa Dasa baca. Membuat anak laki-laki itu menghela napas.

"Mama nggak nyakitin gue lagi kok kali ini. Cakra bener, mama nyari gue beneran. Mama masih inget sama gue, Ra."

"Lo bicara sama mama lo?"

"Ya enggak lah." Dia tertawa. Lagi pula Dasa tidak punya cukup nyali untuk muncul terang-terangan ketika mama dan mantan manajer nya berdebat lalu mengakui kalau dia adalah Mahesa yang dicari. Meski Dasa ingin membalas makian mantan manajer mama pada kenyataannya Dasa cuma bisa diam dibalik lemari besar itu.

"Kenapa lo berdua ke sini, tau dari mana gue di sini?" Dasa berdiri membuat dua temannya harus mendongak untuk menatap wajahnya. Kemudian dia mengulurkan dua tangannya pada Elano dan Aksara.

"Gue kebangun mau pipis terus di suruh mami nyusulin lo, takut lo kenapa-napa. Lo lama banget sih, mami khawatir tahu!"

Dasa mengulum bibirnya. "Mami apa lo berdua?" godanya.

"Menurut lo?! Kalau lo diculik wewe gombel gimana coba, gue harus ngomong apa sama Ibu Mentari?"

Ya, Dasa tahu kok Elano orang paling tsunder sedunia.

TimelessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang