Semilir angin berhembus melewati celah-celah dahan pohon. Berdesis merdu di antara senyap keheningan sore.
Di bawah rindang pohon oak dua insan terpaut usia itu duduk berdua. Menjatuhkan bokong di atas tempat duduk yang terbuat dari bambu. Menatap tanah becek baru diguyur hujan yang menyeruakkan aroma petrichor. Tempat itu terasa asing.
"Kenapa baru cari saya?" Yang lebih muda buka suara, bicara tanpa menatap lawan bicaranya.
"Maafkan mama." Perempuan di sebelahnya berkaca-kaca. Matanya tak lepas dari anak laki-laki yang menatap lurus ke depan. Surai hitam nya yang memanjang terbang dihempas angin, seolah mengusir nya. Meminta pergi.
"Saya bingung mau manggil apa," katanya seraya menggaruk hidung bangir nya. Mengabaikan kata maaf dari perempuan di sebelahnya. "Mama?" Dia tertawa pelan. Mempertanyakan panggilan itu.
"Mahesa ..." lirih Windy. Tangannya terangkat hendak menyentuh bahu anak itu yang hanya berakhir membelai udara.
"Mama masih ingat cita-cita saya?"
Kali ini Mahesa menoleh, menatap langsung kedua bola mata perempuan itu. Dia menyadari ada binar bahagia yang hadir di mata nya yang berlinang. Berikut secarik senyum yang tak luput dari pandangan.
"Apa cita-citamu masih sama?"
"Masih ... mama ingin tahu nggak alasam saya yang sekarang?" Mahesa tidak perlu menunggu jawaban Windy untuk melanjutkan, karena dia tahu Windy pasti ingin tahu. "Saya mau jadi pilot biar bisa pergi sejauh-jauhnya dari mama." Angin itu berhembus lebih kencang. "Ketika mama menemukan saya, saya akan pergi lagi, kalau mama menemukan saya lagi saya akan tetap pergi lagi. Sampai Mama nggak bisa mengejar saya."
Kemudian keduanya sama-sama diam. Windy masih menatapnya dengan tatapan tak berbeda dari yang sebelumnya sebelum kemudian tatapan itu jatuh pada kedua tangannya yang tersimpan di pangkuan.
Dasa masih diam namun dia merasakan jantungnya berdetak kencang. Ada perasaan tak enak yang tiba-tiba menyusup dada, kemudian dia membuka mata. Terbangun. Anak laki-laki itu terbaring di atas raanjaang tidurnya di asrama. Dia menoleh ke segala arah dan menemukan semua teman sekamarnya yang masih terlelap.
"Cuma mimpi ya," gumamnya seraya menyugar rambutnya yang berantakan.
Biasanya dia tidak akan bisa tidur lagi jika terbangun karena mimpi. Tak mungkin juga ia berdiam diri di kamar tanpa cahaya, mungkin penghuni kamar yang lain bisa terbangun jika ia menekan saklar lampunya. Jadi ia memutuskan untuk beranjak dari ranjang dan keluar dari kamar.
Jam dinding di ruang tamu berdetak, menunjukkan pukul dua pagi. Suasana asrama juga sepi. Dasa beranjak lebih jauh, ia membuka pintu belakang menuju taman.
Sebuah kursi di tengah taman dipilihnya karena cukup terang, lampu-lampu taman terang di sudut-sudut taman.
Dasa hanya duduk diam seraya menatap jauh ke langit kelabu di atas kepalanya. Tubuhnya rebah di atas kursi besi yang keras dengan tangan terlipat di atas perut. Seperti ketika dia berbaring di depan pertokoan yang tutup sambil menatap langit malam, menunggu kantuk datang seraya memikirkan apa yang bisa ia makan esoknya. Bedanya dulu Dasa terbaring di atas selembar kardus bekas.
Dejavu.
Tapi tiba-tiba tubuhnya terasa memberat ketika seseorang menindih pahanya tanpa permisi.
"Aahh.. empuknya kursi ini."
"Berat, Ra!" Cowok itu menabok pantat cowok yang dia hapal suaranya.
"Geser, gue juga mau duduk," ucap Cakra sambil berdiri, kemudian mendorong Dasa. Tubuh cowok itu terpental ke ujung kursi dengan wajah pura-pura kesakitan. "Nggak usah drama."
KAMU SEDANG MEMBACA
Timeless
FanfictionMahesa yang terbuang. Mahesa yang merindukan kasih ibunya. Mahesa yang terlupakan. Untuk segala luka yang tertoreh. Untuk lelah yang tak kunjung usai. Untuk rindu yang tak pernah tersampaikan, dan untuk setiap sakit dari pupusnya harapan. Kisah ini...