33. Maaf Yang Sia-Sia

255 53 1
                                    

Dini hari langkah Windy terseok-seok menyusuri lorong rumah sakit. Hatinya hergetar hebat tiap kali melewati tiap ruangan untuk sampai di tempat Andri memintanya datang.

Lorong rumah sakit sudah sepi. Hanya ada satu dua perawat yang berlalu lalang di sepanjang lorong dan masuk ke ruangan-ruangan pasien. Sudah begitu lama Windy tidak pergi ke rumah sakit. Sudah lama Windy tidak merasakan perasaan aneh seperti yang dia rasakan sekarang, sesak, takut, merasa bersalah.

Windy susah payah menahan air mata ketika tiba-tiba teringat waktu-waktu dimana dia hidup untuk Mahesa, untuk membelikan susunya, untuk membeli martabak telur kesukaannya. Windy seolah ditarik jauh ke masa dimana dia sering dibuat tertawa oleh kelakuan bocah itu di rumah kontrakan mereka dulu. Tiba-tiba Windy merindukan itu. Windy terlalu hanyut pada nostalgia hingga tak menyadari langkah lebar yang dibuat seorang perempuan, menghampirinya kemudian menarik lengannya dengan kencang.

"Ngapain kamu ke sini?!" Lorong rumah sakit yang sepi dan senyap jadi ricuh. Perempuan itu, Mentari menatap Windy dengan nyalang. Maatanya memerah penuh api amarah, sementara Windy masih mencerna kehadiran perempuan itu di sana yang tiba-tiba menariknya dan marah begitu saja.

Seseorang yang terlihat familier ini ... siapa?

"Kamu--"

"Aku Mentari, teman kamu yang dulu di Rumah Bulan. Ingat?"

Windy membeku, pupil matanya bergetar menatap wajah Mentari yang begitu kacau. Windy ingin menanyakan banyak hal tapi tenggorokannya terasa tercekat, bagai tersumpal batu. Windy berbalik badan untuk memastikan sesuatu, celingukan dan membaca tulisan di atas pintu ruangan di sampingnya lama seolah dia membaca dua kata itu dengan dieja. Tapi sebanyak apapun Windy mengulangnya, tulisan itu tidak berubah, dia berada di depan ruang ICU, bukan ruang jenazah, lalu kembali menatap Mentari. Dengan terbata-bata dia bertanya.

"Mentari ... Mahesa---dia belum meninggal kan?"

Mentari yang semula terlihat marah makin tersulut oleh pertanyaan Windy.

"Apa maksud kamu? Kamu berharap Dasa meninggal?"

"Bukan begitu." Windy menyanggah, tapi Mentari tidak mau mendengarnya.

"Belasan tahun kamu meninggalkan Dasa, Win, sekarang kamu datang ketika dia masih sekarat lalu tanya begitu? Kamu betulan pernah melahirkan anak itu?" Wajah Mentari diliputi kecewa yang besar.

"Belasan tahun kamu buat Dasa menunggu. Kamu nggak tahu kan, Win, apa aja yang dasa lalui selama kamu hidup enak sebagai artis ibu kota? Mengejar mimpi kamu yang katamu untuk sekolah Dasa, tapi ternyata kamu terlena, kamu lupa kamu siapa, kamu mungkin lupa jalan ke Rumah Bulan, kamu lupa Dasa selalu nunggu telpon dari kamu!"

Windy menggeleng. Semua yang dikatakan Mentari bukan semata-mata opini, tidak ada yang salah dari ucapannya, tapi Windy ingin sekali menepis itu semua. Kenyataan bahwa dia membuat anak itu berharap sekian lama membuatnya makin dirambati sesal. Windy bahkan tidak menyadari ada air mata yang jatuh begitu saja dari kelopak matanya.

"Tapi kamu pikir Dasa juga lupa seperti kamu? ... Lalu sekarang kamu mau apa?"

Dengan bibir bergetar Windy berujar,

"aku mau minta maaf sama Mahesa. Aku mau memperbaiki semuanya---"

"Semuanya apa?! Apa lagi yang bisa  kamu perbaiki?!" Mentari tak cukup bisa menahan untuk tidak meninggikan suaranya pada perempuan itu. Wajah sok tak berdosa itu semakin membuatnya muak.

"Biar Mahesa yang jawab keinginanku."

Secepat kilat Mentari menyanggah inginnya Windy. "Semuanya udah di jawab lewat surat itu. Kamu sudah baca 'kan suratnya?"

Tapi Windy tidak mengerti kenapa jadi sekacau ini, dan kenapa Mentari tahu soal surat itu.

"Dasa selalu cerita semuanya ke aku, di rumah bahkan di asrama."

"Mahesa tinggal sama kamu sekarang?"

"Dia anakku." Kalimatnya penuh penekanan, seolah sengaja semakin menyudutkan Windy.

Windy mengeratkan jemarinya satu sama lain. Dia seharusnya tidak merasa begini, merasa terkhianati. Namun ia tak bisa membohongi dirinya sendiri. "Aku juga mamanya, kamu tahu perasaanku."

"Setelah semua yang kamu perbuat, kamu masih berpikir kalau kamu punya perasaan seorang ibu?"

Windy menangis. Sedih sekaligus marah pada perempuan di depannya. Egonya tersakiti dan detik itu juga Windy tidak bisa untuk tidak meledak-ledak. "Kamu nggak pernah merasakan sulitnya hidup jadi aku! Semuanya pergi! Ayah Mahesa, Nenek, semuanya. Janji manis dari keluarga ayah Mahesa cuma tipuan! Hidupku sengsara karena miskin dan cemoohan! Aku cuma mau memperbaiki hidupku, tapi semuanya terus jadi salahku! Aku nggak pernah berhak memperbaiki apapun kah?!"

"Itu salah mu!"

Keributan itu masih akan terus berlangsung jika dua orang perawat tidak datang dan melerai, menyudahi keributan yang tidak seharusnya terjadi di lorong rumah sakit tengah malam begini.

Sekarang dua wanita itu hanya bisa duduk di ujung-ujung kursi. Mentari tak sudi lagi berada di dekat Windy, sementara Windy kini merasa egonya tersakiti. Tidak. Windy tidak sejahat itu. Ucapan Mentari hanya amarah kosong yang meluap-luap, tapi meski terus meyakinkan diri Windy tetap tak menyukai ucapan Mentari.

Alasannya tetap ada adi sini hanya Mahesa. Dia menanti siumannya anak laki-laki itu, Windy ingin mengucapkan kata maaf pada Mahesa yang ternyata selalu merindukannya.

Dia harus menunggu pagi untuk masuk ke ruangan itu karena Mentari melarangnya masuk sebagai keluarga. Wanita itu sudah begitu benci rupanya.

"Bu .. buu."

Windy tidak tahu ternyata rasa khawatirnya tidak cukup membuat wanita itu terjaga. Tidak tahu pukul berapa dia jatuh tertidur di bangku rumah sakit dengana posisi duduk. Wanita itu menguap setelah membuka matanya dan melihat laki-laki muda yang memintanya mengangkat kaki karena lorong itu sedang di pel.

"Maaf, mas. Ini jam berapa ya?"

"Jam delapan, Bu."

Windy menatap pintu ruangan ICU yaang tertutup rapat. Dia tidak bisa melihat apapun karena pintu itu hukan pintu kaca. Di mana Mentari?

"Ngapain kamu masih di sini?"

Mentari tiba-tiba muncul seperti hantu sambil membawa air mineral dalam kantung belanja. Wajahnya tidak selecek semalam, bajunya pun sudah di ganti.

"Aku mau masuk nemuin Mahesa."

"Nggak akan pernah."

....

"Kamu nggak akan bisa menemui Dasa."

.
.
.
.

To Be Continued

Haiiii
Udah lama ya nggak update. Maaf banget akhir-akhir ini aku cukup sibuk dan nggak sempat nengokin Dasa. Cerita ini nggak lama lagi bakalan end ----wah akhirnyaaaaa. Setelah Timeliss selesai bakalan ada cerita baru dari aku. Cast utama prianya juga Huang Renjun. Ceritanya bakal seru, manis, dan sepet. Ya ... kaya formula kehidupan manusia.


Oh iya, hari ini lebaran jadi Selamat hari raya idul adha ....

See ya di next chapter!!!

TimelessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang