28. Salah Paham

278 48 1
                                    

Setelah hari ketika berita itu muncul untuk yang pertama kali Dasa dan sohib-sohibnya tidak pernah datang lagi ke atap yang padahal baru mereka bersihkan itu-- kecuali satu orang. Aksara.

Cowok itu diam-diam nongkrong sendirian nyaris tiap malam bersama segelas teh hangat di sana. Meski suasananya tidak lebih menyenangkan dari ketika mereka nongkrong bareng disana. Tidak ada alasan barang satupun untuk Aksara berhenti mendatangi tempat itu seperti kenapa Dasa tidak pernah lagi datang kesana.

Dan lucunya lagi tempat itu justru sering didatangi oleh Soraya ketika matahari masih menyorot redup dari ujung barat. Gadis itu datang kesana hanya untuk memandangi langit penuh gradasi yang seakan sengaja dilukiskan dengan sebatang kuas. Oren dan kuning. Merah muda dan biru. Atau hanya kemuning yang memancar dari ujung ke ujung.

"Macam anak senja," komentar Cakra  ketika mendapati gadis itu duduk di sana bertemankan dua kotak susu rasa stroberi waktu dia berniat mencari Elano.

Lalu secara kebetulan Soraya dan Aksara bertemu disana. Aksara tidak pernah datang siang-siang atau sore, Soraya juga tidak pernah datang pukul empat lewat lima belas menit ketika matahari masih cukup terik. Tapi hari itu mereka tak sengaja bertemu-- yang kemudian berujung bincang-bincang sampai langit nyaris gelap.

"Maafin Dasa ya, Soraya. Dia mungkin sekecewa itu sama keadaan." Setelah mendengar ceritanya dari dua sisi Aksara baru mengerti apa yang membuat dua orang itu berselisih.

Waktu itu Soraya justru keheranan. "Kamu disuruh sama Dasa?"

"Enggak."

"Aku mana bisa nerima maaf Dasa kalau kamu yang mewakili tanpa dia minta."

"Ya udah, nggak usah dipikirin omongannya Dasa. Kalau itu kamu bisa 'kan?"

"Bisa. Karena kamu yang minta."

Entah kenapa ucapan Soraya justru terdengar seperti gombalan.

"Kenapa? Kalau Cakra yang minta kamu nggak bisa?"

Soraya tertawa pendek. "Karena kamu orang baik."

Setelah hari itu mereka diam-diam jadi teman dekat. Awalnya tidak ada yang tahu tapi lama-lama orang-orang mulai sadar, meski sebisa mungkin mereka sembunyi--- tapi sayangnya dua orang itu bukan penyimpan rahasia yang handal. Semua orang menyadari, termasuk Dasa. Apa lagi setelah cowok itu mendapati mereka berpelukan di panggung ketika Soraya yang malam itu tereliminasi mendapat kartu kesempatan emas untuk tetap berada di panggung kompetisi.

Sadar atau tidak Dasa terasa menjauh dari Aksara. Dasa memang tidak bicara sebanyak Aksara atau Cakra yang hobinya nyerocos meski kebanyakan dari apa yang mereka bicarakan tidak ada faedahnya. Tapi kali ini Dasa lebih diam dari biasanya ketika Aksara ada bersamanya. Ketika Aksara mencoba merangkul bahunya yang kurus itu Dasa terlihat tidak suka, dengan alasan yang dibuatnya Dasa berhasil melepas rangkulan Aksara yang cukup erat dan menjauh dari cowok itu.

Berkali-kali Aksara mendekat. Mencoba clingy seperti Aksara yang empat sekawan itu kenal. Tapi Dasa tetap tidak kembali jadi Dasa yang mereka kenali. Ini 180 derajat berbeda dari Dasa yang baik-baik saja.

"Saaa," panggil Aksara pakai nada diimut-imutkan. Mungkin kalau ada orang lain yang melihat selain Dasa orang itu akan muntah.

"Makan bakso yuk di depan. Gue kepengen banget."

Dasa menghela napas pelan. "Gue mules, mau ke toilet. Nggak boleh makan sembarangan dulu." Lalu cowok itu menarik lengannya dari dekapan Aksara.

"Sa, lo kenapa?" Aksara tidak mencoba meraih lengan Dasa untuk tidak pergi. Tapi pertanyaannya menghentikan pergerakan cowok itu.

Dasa menoleh hanya untuk menemukan wajah Aksara yang kini berubah serius. Dasa menatapnya tak suka.

"Elo yang kenapa, Aksara. Lo suka sama Soraya? Naksir sama dia?"

"Enggak tuh."

"Nggak usah bohong. Keliatan kok, Ra. Padahal lo tahu gue suka sama Soraya tapi lo malah nikung gue waktu gue masih ada selisih paham sama Soraya."

"Gue enggak."

"Lo iya."

Tipe pertemanaan yang kekanakkan. Aatau mungkin hanya Dasa yang kekanakan dalam urusan ini.

"Lo cemburu, Sa?"

"Gue nggak bilang gue cemburu."

"Tapi lo ngejauhin gue juga. Artinya lo cemburu. Tapi asal lo tau aja, Dasa, gue nggak naksir sama Soraya. Soraya juga nggak naksir sama gue. Kalo itu yang pengen lo tau dan lo ngejauh dari gue karena gue dan Soraya jadi dekat, lo salah. Harusnya lo ngedeketin gue, neraktir gue bakso biar gue kasih tau curhatan Soraya----itu sih kalo lo masih suka sama dia ...," Aksara mulai ngaco, tapi dia terus lanjut bicara. "Lo nggak bisa bersikap kaya anak kecil gitu, Sa. Lo perlu denger penjelasan Soraya dan nggak seharusnya lo menjauhi gue juga karena apa yang lo liat doang."

"Terus lo sama Soraya apa?"

"Temen doang."

"Keliatannya lebih." Dasa membuang pandangannya. Dia bisa melihat Aksara garuk-garuk tengkuk lewat ekor mata.

"Iya."

"Apa?!"

"Temen deket. Hehe," Aksara nyengir.

Dasa ogah menanggapi.

"Sa, waktu itu lo ngomong apa ke Soraya?"

Dasa masih diam meski kali ini keterdiamannya bukan lagi karena Aksara.

"Hubungan yang rusak karena salah satu pihaknya ngelakuin kesalahan, kunci supaya baikan lagi cuma satu. Maaf. Karena gengsi nggak akan ada habisnya. Bahkan masalah sebesar gunung bisa hilang separuh karena kata maaf."

.
.
.
To Be Continued

TimelessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang