23. Janji dan Ingkar

276 51 5
                                    

Jauh di atas kepala langit malam terlihat gelap tanpa gemintang, terbentang jauh memayungi lautan sempit bernama selat yang dilintasi kapal-kapal.

Kapal itu melaju lima menit lalu, menjauhi daratan Sumatera dan hendak menuju sebrangnya. Lampu-lampu kemuning di pesisir semakin jauh dipandang mata hingga sekedar jadi titik-titik cahaya yang jatuh di air di bawahnya.

Windy hanya fokus kesana-- tanpa melupakan anak kecil di pangkuannya yang asyik menyesap sekotak susu. Seingat Windy beberapa hari lalu dia begitu yakin mengambil keputusan meninggalkan tanah kelahirannya, bahkan merayu nenek demi mengizinkannya pergi memperbaiki hidupnya. Mencari nasib baik di ibu kota, meninggalkan luka lama yang masih tersisa di rongga dada.

Tapi sekarang entah kenapa rasanya begitu nelangsa. Windy tak rela jauh dari rumah, kekhawatiran yang pernah dia tepis kini membumbung di kepala. Bagaimana nenek setelah dia pergi meninggalkan wanita itu sendiri? Bagaimana kehidupannya di ibu kota hari nanti?

"Mama ... "

Paanggilan sumbang karena pilek Mahesa membuat Windy menundukkan kepala. "Kenapa, Sayang?"

"Disini dingin."

"Ah iya," Windy bangkit, beranjak dari geladak kapal agak tersenggal-senggal. Dia bahkan baru saja melupakan anaknya yang masih flu. Angin malam sudah tidak baik, apa lagi angin malam di laut.

Windy menurunkan Mahesa dari pelukannya, menggantinya dengan menggandeng tangan anak itu. Tangan satunya membawa tas jinjing berisi pakaian. Mereka beranjak masuk ke dalam, memilih membaur dengan kepulan asap rokok dimana-mana daripada ditusuk-tusuk angin kencang. Cuma itu pilihannya.

Ruangan itu ramai orang-orang sampai penuh sesak. Beberapa kelompok orang yang tidak mendapatkan bangku memilih duduk di lantai beralaskan tikar. Windy masih berdiri di dekat pintu. Dia mengedarkan pandangan ke seisi ruangan dan benar-benar tidak ada bangku kosong di sana. 

Windy terpaksa menarik Mahesa diantara orang-orang yang duduk beralaskan tikar, di jalan setapak yang melingkari bangku-bangku panjang.

"Bu, bu!" Windy menepuk bahu ibu-ibu bertubuh gempal yang jadi salah satu orang yang duduk di lantai.

Orang itu menoleh dengan senyum ramah. "Iya, neng?"

"Tikar nya pinjam dimana?"

"Nyewa ini mah, Neng. Tuh di sana!"

"Oh ... terima kasih, bu." Windy tersenyum kecewa dan menjauhi ibu-ibu tadi. Tikar itu mungkin harganya tak seberapa, tapi Windy tidak tahu apa yang dia hadapi besok. Dia tak punya banyak uang dan dia harus mencari banyak. Untuk itu dia menghela napas- yang tak ia sadari menarik perhatian seseorang.

"Permisi, Mbak."

Windy menoleh kemudian sejenak terperangah dengan seorang laki-laki yang kini berdiri di depannya.

"

Duduk, Mbak," memberinya dua bangku kosong.


"Sampean ibu nya si adik toh?" tanya laki-laki berlogat Jawa. Dia merasa sedikit keheranan dengan perempuan yang masih tak berkedip menatapi wajahnya.

TimelessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang