Sudah dua malam hujan turun tiap pukul tujuh- seolah Tuhan sengaja menjadwalnya agar Dasa makin terjebak bersama patah harapannya. Sudah dua hari Dasa lebih banyak berdiam diri di kamar asrama. Dasa tidak mengatakan apapun setelah dia turun dari atap dan bertemu teman-temannya yang sedang menyantap siomay di meja makan.
Hanya wajahnya yang menjelaskan kusut perasaannya. Dasa tidak berniat menjelaskan apapun, pada dirinya sendiri pun dia masih meragu dengan apa yang dia dengar hari itu. Dasa masih berharap kalau itu cuma bunga tidur sialan yang tak perlu ia pikirkan sampai suhu tubuhnya meningkat dan membuat tiga sohibnya panik, seolah temannya sedang melawan penyakit kronis.
Dasa masih menolak bicara. Anak laki-laki itu sengaja menghindari pembicaraan ketika dia menyadari kemana arah pembicaraan itu. Dasa sakit, tidak hanya hatinya tapi juga berdampak pada kesehatannya.
Pada hari ketiga menjelang maghrib, Dasa mengobrak-abrik tas nya untuk mencari minyak aroma terapi. Tapi dia justru mendapati sebuah kertas lecek yang ditindih berbagai barang nggak jelas milik tiga temannya. Dasa juga nggak habis pikir kenapa barang-barang nggak berguna itu ada di sana.
Dasa tahu apa yang disentuh ujung jemarinya. Seratus persen dia tahu itu akan menyakiti nya lebih jauh, tapi seperti orang bodoh yang lebih mirip masokis Dasa menarik nya keluar. Foto itu lecek tak karuan meski belum lama berada di sana. Itu foto biasa yang harusnya dia taruh di bingkai, terpajang di dinding kamarnya jika tidak ada sebuah tulisan besar; cita-cita : bilang sayang mama seperti dulu, di belakangnya.
Mama merangkul bahunya erat, senyum keduanya lebar layaknya ibu dan anak kebanyakan. Foto itu diambil ketika mama mengajaknya dan Elano makan di restorannya. Elano tukang fotonya, dan tidak ada seorangpun yang tahu tentang selembar foto itu kecuali Elano.
Lalu ketika Dasa berada di titik ini. Dimana dia benar-benar tak diharapkan hadir apalagi kembali, rasanya Dasa ingin marah langsung di depan mama. Dia ingin berteriak tentang betapa marahnya anak yang dia sia-siakan. Dasa ingin menuturkan seberapa banyak luka yang dia dapatkan agar perempuan itu sadar. Dasa ingin mengatakan bahwa kini dia membenci ibu kandung nya. Dasa tak peduli lagi pada dosa, biar dia membutakan sepasang matanya.
Siapa bilang Dasa melupakan tentang satu hari ketika dia diminta pergi oleh perempuan itu. Ketika Mahesa yang lebih tinggi dari waktu mama mengantarnya ke Rumah Bulan, di sebuah kawasan kumuh ibukota beberapa artis mengikuti kegiatan amal dan renovasi sekolah anak-anak sekitar. Dasa tidak tinggal disana, dia hanya mau mengambil buku pr nya yang dipinjam teman yang kebetulan berada di kawasan sama.
Ada beberapa kamera di depan rumah beberapa warga. Reporter tv meliput dengan seragam hitam dan oranye.
"Itu ada artis lima orang. Lagi pada bangun sekolah, bagi-bagi beras sama bagi-bagi buku." Renaldi memberi tahu soal kerumunan orang dan beberapa kamera disana.
"Ada siapa aja?"
"Nggak tau, taunya cuma Humaira Epita sama Windy Amerta." Renaldi mengedikkan bahu.
Dasa langsung berlari menghampiri kerumunan orang-orang tiga puluh meter dari tempatnya dan Renaldi berdiri.
"Mama! Permisi! Permisi! Mahesa mau ketemu mama Windy!" Tubuh kecil Mahesa menyalip-nyalip diantara orang-orang yang saling perdempet, dia tidak bisa leluasa lewat sana, tapi akhirnya tiba di barisan paling depan. Humaira Epita yang masih 17 tahun lagi menyanyi bersama gitarnya. Beberapa selebritis lainnya tepuk-tepuk tangan mengikuti melodi lagu tapi Mahesa tidak menemukan Windy di mana-mana.
"Kok nggak ada mama?" gumamnya.
"Kamu bukan anak sini ya?"
Mahesa mendongak. Seorang ibu-ibu bertanya dengan wajah mengingat-ingat sesuatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Timeless
FanfictionMahesa yang terbuang. Mahesa yang merindukan kasih ibunya. Mahesa yang terlupakan. Untuk segala luka yang tertoreh. Untuk lelah yang tak kunjung usai. Untuk rindu yang tak pernah tersampaikan, dan untuk setiap sakit dari pupusnya harapan. Kisah ini...