31. Sudah Berakhir

284 56 5
                                    

Dasa pernah mempertanyakan apakah hidup itu ditentukan oleh takdir atau kita sendiri yang menentukan di mana kita berakhir. Orang-orang membicarakan takdir ketika yang datang adalah hal buruk, tapi mereka membicarakan perjuangan ketika yang datang adalah keberhasilan. Atau sebetulnya orang-orang hanya bingung menyalahkan siapa ketika mereka gagal? Tapi mereka begitu sombong ketika berhasil, seolah takdir tidak pernah ikut campur tangan seperti ketika mereka membawa-bawanya saat gagal.

Dasa juga begitu. Dia bingung siapa yang harus dia salahkan sekarang? Apa ini salah mama? Salahnya? Atau justru Dasa harus memgatakan ini semua karena takdir semesta?

Hari ini Dasa akan pulang. Kompetisi ini telah membawanya sampai ke 10 besar dan Dasa sama sekali tidak puas dengan itu. Barang-barangnya yang tidak begitu banyak sudah jadi satu di dalam koper, teman-temannya yang membantunya packing semalam. Sesi packing penuh drama karena Aksara menyembunyikan koper Dasa di atap asrama, padahal kan ketika mereka semua selesai di kompetisi ini empat anak curut itu juga akan teta tinggal di lingkungan yang sama.

Bahkan Aksara memaksa mereka berempat tidur berpelukan di kasur Dasa. Masalahnya ranjang Dasa bukan dipan ukuran king size dan mereka harus tidur serupa bayi dalam perut ibunya yang berujung adu mulut dan mengganggu tidur teman sekamar Dasa yang lain. Pukul tiga dini hari mereka berempat pindah tidur di lantai, beralaskan selimut.

Hari ini Coach Windy datang lagi untuk latihan rutin mereka, harusnya Dasa juga ikut jika dia tidak tereliminasi. Sebagai tanda terima kasih dan mungkin juga tanda perpisahan Dasa membeli sebuket bunga ukuran besar untuk Windy.

Anak laki-laki itu sedang menunggu kedatangan Windy karena dia ingin memberikannya langsung. Dasa ingin mengucapkan selamat tinggal secara langsung, bukan hanya lewat surat yang sedari tadi dia remat pelan.

Tin tin!!!

Nyayian klakson itu membuat Dasa mendongak. Dia menemukan mobil Windy memasuki pekarangan dan jendela mobil yang hitam mengilap turun perlahan menampilkan wajah Windy yang tersenyum hangat pada Dasa.

"Dasa sudah mau berangkat?"

Dasa berdiri untuk meraih sebuket bunga di atas meja. Dasa menyelipkan suratnya di antara buket bunganya sebelum melangkah menghampiri Windy. Kali ini Dasa tersenyum hangat, tidak ada lagi gelagat gerogi yang seolah melekat padanya ketika dia berada di dekat Windy, atau senyum canggung. Karena ini yang terakhir kali, Dasa ingin membuat ... kesan yang indah, karena ini bukan perpisahan ini hanya tekad Dasa untuk menyudahi.

"Iya, Coach. Kebetulan Coach dateng sebelum Dasa pulang jadi Dasa bisa ngasih ini ...." Dasa memberikan buket bunganya. "Buat Coach Windy, sebagai tanda terima kasih  Coach Windy udah ngajarin Dasa menyanyi."

"Terima kasih ya. Semoga kamu sukses kedepannya." Buket bunga itu berpindah dari tangan Dasa ke Windy. 

"Coach Windy penyanyi hebat, guru yang hebat juga, Dasa seneeenggg banget bisa kenal Coach Windy langsung."

"Kamu juga bisa jadi begitu kok. Semangat ya!"

" ... kalau gitu Dasa pamit pulang ya, Coach."

Windy mengangguk. "Hati-hati."

Dasa berbalik, dan saat itu juga Dasa  benar-benar melepaskan apapun impiannya tentang mama. Mimpi-mimpi sederhana tentang mama dan semua amarah yang berkobar-kobar dalam dada Dasa bunuh. Karena meski cinta seorang anak pada ibunya tidak pernah pupus, harapan-harapan tanpa tepi yang tak pernah terwujud juga lama-lama menyesakkan bukan? Dan buat apa Dasa mendaki sebuah gunung yang begitu tinggi, penghalang matanya melihat apa yang tersembunyi di sebalik dinding besar yang agung jika ketika di puncaknya dia hanya melihat tandus nan gersang, bukannya ladang gandum yang dia harapkan. Hanya kenyataan yang tak diinginkan bukannya kasih sayang yang dia harapkan.

Mungkin bukan ini akhir yang Dasa inginkan, tapi begini lah akhir yang nyatanya dia dapatkan.

Bukankah tak selamanya kita mendapatkan apa yang kita mau?

Taksi online yang dasa pesan sudah sampai di lokasi. Dasa masuk dan kemudian mobil itu berjalaan meninggalkan gerbang asrama. Tentunya banyak kenangan yang Dasa punya selama tinggal di sana, termasuk soal cinta monyetnya yang menyenangkan, tapi kali ini yang paling Dasa butuhkan adalah pulang.

Dia bisa saja dengan lantang mengucapkan bahwa dia ikhlas melepaskan mimpinya tentang mama, tapi nyatanya kini Dasa menghela napas paling berat dan dadanya mulai dirambati sesak.

Kring kriiingg

Tapi dering ponselnya membuat fokus Dasa teralihkan pada handphonenya.

"Halo, Bu."

"Udah datang, nak, taksi onlinenya?"

"Udah, Bu. Ini Dasa lagi di jalan."

"Ibu minta tolong, belikan obat batuk di apotek depan ya."

"Iya, bu."

Selanjutnya perjalanan di dalam mobil itu hanya diisi keheningan. Dasa merasa kantuk begitu memberati matanya, hingga tanpa sadar mimpi menjemputnnya. Dasa terbangun ketika sopir taksi online itu membangunkannya dengan panggilan pelan. Dia beranjak, apotek di sebrang jalan jadi tujuannya mendapatkan obat batuk untuk Ibu Mentari yang sudah satu minggu batuk-batuk dan Dasa kembali dengan kantung berisi obat batuk sambil menyeret kopernya menuju gang rumahnya yang berjarak lima puluh meter.

Dasa menyeret kopernya dengan langkah ringan, sama seperti ketika Dasa membawa langkah kakinya ke panggung kompetisi. Datang membawa harapan dan pulang dengan melepaskannya.

Di halaman terakhir perjalanan mencari hangatnya pelukan mama ini Dasa masih tidak mendapatkan apa yang dia inginkan. Tapi setidaknya Dasa bisa memilih, kemana kakinya akan melangkah pulang. Ke rumah ibu Mentari, di dalam gang yang berjarak kurang dari sepuluh meter dari tempatnya berdiri, dari tempat dimana dia mendengar suara hantaman yang begitu keras setelah sebuah mobil mini bus melaju tanpa kendali. Saat itu Dasa tidak bisa merasakan apapun kecuali kebas di seluruh tubuhnya yang terlempar di tanah berdebu, sementara dia bisa melihat sebuah ruko yang tutup pintu besinya penyok dan rusak sebelum matanya seolah semakin berat, lebih dari kantuk di dalam taksi tadi.

Jika dia Dasa hari ini pun tak apa. Toh dia sudah menyampaikan siapa Dasa A Biru pada ibunya meski hanya lewat selembar surat---karena Dasa terlalu takut, takut jika keraguan itu datang lagi. Atau dia harus menghadapi kecewa lagi.

.
.
.

To Be Continued

TimelessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang