Angin berhembus kencang malam itu, membuat dahan pohon bergoyang ringan dan menimbulkan suara berisik. Bermodalkan kaos tipis Dasa memetik dawainya di atap rumah pak Lurah, kurvanya bersenandung merdu. Berbaur dengan dersik angin dan ketongan tukang siomay yang lewat depan gang.
"Ku pejamkan mata ini, mencoba untuk melupakan segala kenangan indah tentang dirimu," di bawah langit ibukota yang penuh polusi udara Dasa merangkai mimpi-mimpinya yang sederhana.
"Tentang mimpiku."
Dulu Dasa bukan siapa-siapa, sampai sekarang ia juga tidak jadi siapa-siapa. Dasa hanya anak laki-laki penuh nestapa yang tidak seharusnya tumbuh besar di bumi. Ia mengatakannya berkali-kali pada ketiga sohibnya. Cakra, Elano, dan Aksara yang bernasib hampir sama dengannya.
"Halah maksud lo harusnya lo besar di Merkurius gitu? Omongan lo nggak bermutu!" Itu adalah tanggapan yang paling Dasa ingat dari Aksara.
"Semakin aku mencoba bayang mu semakin nyata,"
Merasuk ke dalam jiwa tuhan, tolonglah diriku."
"Galau terus, nggak capek apa?"
Dasa baru mengingat ketiga sahabatnya dan salah satunya muncul di balik tangga tak lama kemudian. Panjang umur buat Cakra yang akan berulang tahun minggu depan.
"Tak bisa aku ingkari, engkaulah satu-satunya yang bisa membuat jiwaku yang pernah berarti menjadi mati." Dasa sengaja melompati bagian reff, dia tidak menyukai liriknya. Dasa suka banget sama lagu ini. Dalam sehari ia bisa menyetelnya sampai delapan kali dengan salon di rumah tapi Dasa tidak pernah menyukai bagian reff nya.
"Kebalik, Dasa!"
Cakra adalah teman Dasa yang paling cerewet. Suaranya juga mirip speaker odong-odong. Bikin sakit telinga.
"Bener kok," tukasnya. Dasa terlalu sering menyanyikan dengan lirik yang dia tukar posisinya, kebiasaan itu membuatnya merasa kalau memang begitu liriknya.
Cakra membawa gitar Dasa ke pangkuannya lalu melempar sebotol yogurt ke arah Dasa. Dan jatuh di selangkangannya.
"Nih!"
"Terima kasih."
Setelah sholat isya Cakra mendengar samar-samar suara Dasa di atap rumahnya. Biasanya Dasa akan bernyanyi sambil main gitar di atap rumahnya ketika cowok itu merasa tidak baik-baik saja. Seperti malam ini, wajah Dasa tidak menunjukkan kalau ia tengah baik-baik saja apa lagi bahagia.
Cakra memutuskan pergi ke minimarket di depan gang untuk membeli yoghurt bulgarian yang sering Dasa minun ketika ia marah atau sedih. Sekalian membelikan bapak pulsa.
"Lo lagi ngegalauin Mama lo lagi, Sa?"
"Mana pernah sih gue ngegalauin cewek."
"Lo nggak suka cewek ya?"
"Ya suka lah!" bantah Dasa. Tangannya bergerak menimpuk kepala Cakra dengan botol yoghurt yang telah kosong tapi Cakra lebih dulu peka. Menggeser tubuhnya membuat botol yoghurt itu hanya berakhir memukul udara.
Cakra tertawa puas.
"Kalo gue suka cowok udah gue pacarin si Elano atau enggak si Aksara. Mereka kan ganteng."
"Lo beneran homo ya?"
Dasa membekap mulut Cakra sebab suara anak laki-laki itu keras sebelas dua belas sama toa mushola. Dasa anak baik yang dikenal rajin tadarus Alquran di masjid tiap Ashar. Apa kata orang-orang satu RT kalau mulut laknat Cakra menyebabkan berita Dasa homo. Bisa-bisa Ibu mengusirnya dari rumah.
"Enggak, Cakra! Mereka emang ganteng tapi jelas gantengan gue."
"Gue kan cuma memastikan kalau lo masih berada di jalan yang lurus."
Selanjutnya keheningan mengisi ruang kosong di atap rumah pak lurah. Cakra sibuk menggeser layar pada beranda instagramnya, sesekali memberikan like pada beberapa postingan. Sedangkan Dasa melamun sambil menempelkan mulut botol yoghurt ke bibirnya.
Melamun tentang Mama. Sesibuk apa kehidupannya sampai tidak sempat mengunjunginya, setidaknya sekedar buat memastikan apakah Esa masih ada di bumi atau sudah di telan tanah merah.
"Genjreng gitarnya, Ca," pinta Dasa.
"Dari bayi udah berapa kali gue bilang jangan panggil gue Ca! Gue bukan kawanan banci lampu merah!"
"Ya terus lo mau di panggil apa? Ra? Itu lebih menggelikan."
"Cak," kata Cakra dengan gaya sok cool yang dibuat-buat. Menyisir surainya dengan jari.
"Cak lontong maksud lo?" Kemudian Dasa terbahak.
"Cak, Dasa! Bukan Cak!"
"Udah diem, genjreng gitarnya bagian reff."
Cakra langsung diam. Dia tidak bicara lebih banyak lalu menggenjreng gitarnya seperti yang Dasa minta.
"Entah di mana dirimu berada, hampa terasa hidupku tanpa dirimu."
"Apakah di sana kau rindukan aku, seperti diriku yang selalu merindukan mu,"
"selalu merindukan mu."
Lewat lagu hampa milik Ari Lasso Dasa menyampaikan rindunya kepada dersik angin malam yang jadi teman setianya. Dasa terus kangen pada Mama meski api amarah dalam dadanya masih tak kunjung padam. Rasa kangennya justru seperti pemantik api amarah nya yang mulai menyala bertahun-tahun silam, saat Dasa sadar Mama membuangnya. Membuang Mahesa dan tidak mengharapkan dia kembali bersama perempuan itu.
To Be Continued
Dasa A Biru
Anaknya baru masuk SMA, hobi nya nyanyi dan ngegalauin Mama
Thank you so much buat semua pembaca yang udah vote, aku terharu banget waktu liat ada yang vote😢. Terus dukung cerita ini ya... jangan sungkan buat komentar dan jangan lupa share ke temen-temen yang suka baca wattpad! Bisa lewat screenshot dan dipajang di status WhatsApp (kaya aku biasanya)!
Finding My Son akan di update setiap hari Sabtu!
See you di chapter berikutnya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Timeless
FanfictionMahesa yang terbuang. Mahesa yang merindukan kasih ibunya. Mahesa yang terlupakan. Untuk segala luka yang tertoreh. Untuk lelah yang tak kunjung usai. Untuk rindu yang tak pernah tersampaikan, dan untuk setiap sakit dari pupusnya harapan. Kisah ini...