21. Undangan Merah Beludru

263 56 6
                                    

Satu kilo meter lagi Alphard hitam itu berhenti di halaman rumah Windy. Perempuan itu punya kesempatan mengistirahatkan tubuhnya setidaknya tiga jam di rumah sebelum melatih peserta menyanyi dan syuting beberapa varitey show hingga tengah malam menjemput. Namun ketika telepon nya berdering di dalam tas Louis Viutton yang baru dia dapatkan minggu lalu mobil itu terpaksa berbalik arah.

Perubahan jadwal yang tiba-tiba bukan sekali dua kali dia hadapi. Pekerjaan adalah pekerjaan. Apapun masalahnya kuncinya adalah tetap profesional.

"Kita makan dulu deh. Nanti baru ke practice room. Nggak terlambat 'kan, Kar?" Windy melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan. Pukul 11. Pantas perutnya sudah keroncongan.

"Oke!" Sekar mengacungkan jempol.

Mobil itu berbelok ke sebuah restoran vegan. Windy sempat membujuk Sekar untuk memperbolehkan mobil itu berhenti di sebuah restoran padang untuk rendang dan telur dadar yang lama tak dicecap lidahnya tapi Sekar melarangnya. Berat badan Windy naik sepuluh kilo karena baru-baru ini perempuan itu membiarkan Windy jajan seenak hati. Pipinya lebih berisi dan gara-gara itu Windy harus berolahraga lebih rutin dan meminimalisir porsi makan. Meski sebetulnya bukan masalah besar jika berat badannya bertambah tapi ini Windy Amerta lho.

"Jadwalku longgar kapan, Kar?"

"Masih lama. Mau liburan, Mbak?"

Windy bukan orang Jawa tapi dia membiarkan Sekar memanggilnya dengan embel-embel mbak.

"Iya. Pengen ke Eropa tapi kayanya nggak mungkin deh, jadi ya palingan Bali aja biar kerjaan tetep bisa kekejar."

"Nanti ajakin aku ya." Sekar tersenyum merayu.

Windy tertawa ringan sambil menganggukkan kepala.

"Eh, iya, mbak Win aku hampir lupa!" kata Sekar. Dia menaruh garpu nya dan mengambil sesuatu di dalam tas. "Ada undangan. Tadi pagi mau aku kasih tapi lagi sibuk banget."

"Nih, cantik banget ya undangannya." Sekar berseru takjub pada sebuah kotak merah beludru persegi yang kini diberikan pada Windy. Wedding invitation box yang warnanya senada dengan anggur merah. Berhias pita emas di atasnya.

"Dari siapa?" Windy menarik simpul pita dan membuka kotaknya. Sebuah gulungan kain dan kartu yang senada dengan warna box diletakkan di atas hamparan kelopak mawar di bawah kaca transparan. Sebuah bros emas berbentuk mawar mekar sempurna di sampingnya.

Dewangsa & Kanaya

Tertulis di kartu bertinta emas. Sepasang nama itu bagai sihir yang membekukan tiap inchi tubuhnya. Tubuh Windy membatu sementara jantungnya bereaksi lain. Debar itu sama seperti sebelumnya kecuali satu pukulan tak kasat mata yang membuat jantungnya berdentum lebih keras, kemudian ada perih yang menyusup pelan-pelan.

Windy berpura-pura melirik arloji nya kemudian meletakkan kartu itu ke tempat semula. Dia berdehem pelan. "Kayanya kita harus berangkat sekarang deh, Kar. Takut anak-anak udah nunggu."

"Masih jam sebelas lima belas kok, mbak. Latihannya kan nanti jam satu." Laras menatap sekilas pada makanan di atas piringnya yang belum tandas.

"Aku ada janji juga sama kak Sella. Baru ingat sekarang." Windy memilih langsung bangkit tanpa menunggu persetujuan Sekar lagi. Setelah membayar bill dia berlalu bersama kotak itu.

Sekar mengernyit bingung tapi memilih tak ambil pusing. Dia menyuap makanannya sekali lagi lalu beranjak dengan terburu-buru sebelum makanan di mulutnya habis ditelan.

"Tuhkan masih sepi, mbak. Tadi harusnya habisin dulu makanannya. Mbak Windy emang diet tapi makan juga harus tetep sehat dong." Laras berkomentar usai mobil itu berhenti di halaman practice room yang masih kosong.

Windy mengangguk. "Iya. Kayanya aku salah baca jam janjiannya deh. Berhubung kak Sella belum datang kamu langsung masuk aja, aku mau ke kamar mandi."

Windy mengedarkan pandangannya ke lingkungan asrama. Hijau dimana-mana. Rerumputan, pohon, tanaman-tanaman hias juga mayoritas berwarna hijau tanpa bunga. Dimana tempat yang tepat untuk menelpon Andri? Windy masih terus mengamati sekelilingnya hingga ia menatap tangga besi yang melingkar di salah satu bangunan paling barat.

Panas-panas begini tidak mungkin ada yang datang kesana kan? Ya tentu saja pengecualian untuk seseorang yang punya kepentingan mendesak seperti Windy.

Windy menatap kotak merah dalam tas nya yang dibiarkan terbuka. Mendadak kepala Windy penuh oleh bayang-bayang adegan dimana dia berlutut di depan seseorang dengan isak penuh permohonan, menyulut sesuatu dalam dadanya. Windy mempercepat langkahnya.

Pijakannya pada tangga besi juga sama cepatnya. Anak tangga yang berkarat dan bolong di beberapa bagian tak ia hiraukan. Heals Windy bisa saja memoerparah keadaan tangga yang mengenaskan dan membuatnya berakhir terjembab di tangga reyot itu.

Seperti tangga besi barusan keadaan tempat itu juga tak jauh berbeda. Ada lumut di beberapa bagiannya. Mengelupas-mengelupas seperti sengaja dibersihkan belum lama ini. Windy berdiri di balik tumpukan kursi yang tak lagi sempurna karena patah dan reyot. Dua sofa ditumpuk paling bawah.

Dia mengeluarkan wedding invitation box dan ponselnya.

"Halo!" sambarnya pada seseoraang di sebrang sana.

"Mulai sekarang kamu nggak perlu repot-repot cari Mahesa lagi. Kita nggak ada urusan mulai saat ini." Napas Windy memburu penuh amarah. Entah pada siapa.

"Kenapa, Win, ada apa?" Andri tidak tahu apa-apa dan tiba-tiba Windy memberondong nya dengan pernyataan tak mengenakkan.

"Kenapa?" Windy mendecih diantara tawa sinis. "Karena sebaiknya saya nggak pernah melahirkan Mahesa." Bersamaan dengan itu air matanya jatuh. Satu. Dua. Sebelum berkejaran diburu waktu.

"Apa maksud kamu?" Sumpah Andri masih belum paham meski kini dia mendengar isak perempuan itu.

"Maksudku Mahesa memang nggak seharusnya ada di hidupku." Kemudian dia menutup panggilan itu tanpa pamit. Windy menarik napas dalam. Dia menghapus air matanya sebelum beranjak dari tempat kotor itu.

Boleh 'kan Windy jadi jahat untuk satu hal? Satu saja.

.
.
.

To Be Continued

TimelessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang