Sudah begitu lama sejak Dasa mendamba kehadiran mama di sampingnya. Dasa bermimpi-mimpi perempuan itu menjemputnya bersama peluk erat dan kecup manis di pipi. Tak jarang dia terbangun tengah malam ketika suasana jalanan mulai lengang, menatap angkasa yang tak berwarna di atas kepala. Tidak ada bintang-bintang karena polusi cahaya, berganti jutaan lampu di kota yang sebetulnya tak mampu menyaingi gemerlap di angkasa yang kini pudar.
Lalu tiba-tiba ketika Dasa mulai mencoba lupa pada masa lalu nya yang pahit dan mencoba fokus pada apa yang ada di depan mata perempuan yang pernah membuangnya itu datang mencari. Bukan padanya, tapi pada orang yaang dia kira adalah Mahesa. Bahkan ketika Mahesa ada di depan matanya dia masih membuat anak laki-laki itu kecewa karena tidak mengenali siapa sosok di depannya.
Meski Ibu dan tiga temannya bilang wajah Dasa sangat berubah, rasanya aneh ketika seorang ibu tidak mengenali sama sekali wajahnya. Setidaknya begitu anggapan Dasa. Anak itu masih kecewa pada Windy yang tak kunjung mengenalinya.
"Kalau lo cuma nunggu, mama lo nggak akan pernah tahu lo itu siapa."
Sore itu tiba-tiba ibu Cakra menelpon. Harusnya itu bukan hal yang aneh, tapi alasannya menelpon membuat Dasa dan Cakra duduk di sana seperti sekarang. Di atap asrama yang lebih tinggi dari atap rumah pak lurah. Tempat dimana tak pernah dikunjungi penghuni asrama kecuali Dasa dan tiga temannya. Lantainya berlumut di beberapa bagian, tidak ada pembatas di pinggirannya. Sebuah tower air di bagiaan sudut bisa menyemburkan air sewaktu-waktu. Terlalu kotor.
Seseorang yang mengaku pengurus yayasan peduli anak jalanan yang dulu menyelamatkan Cakra dari kerasnya kehidupan jalanan datang mencari anak laki-laki itu. Katanya ibu dari anak itu mencari anaknya yang dulu dititipkan di sebuah panti. Itu jelas rumah bulan. Dan rumornya panti itu tutup bertahun-tahun silam. Dasa tertawa tanpa suara, bukanakah itu kisahnya?
Dasa meminta istri pak lurah untuk tetap berada dalam sambungan dan membiarkan Dasa mendengar obrolan mereka tanpa diketahui pengurus yayasan itu.
Hingga panggilaan di tutup setelah Dasa mendengar laki-laki itu pamait dengan sopan tanpa jawaban memuaskan Dasa bisa menyimpulkan satu hal. Mama mencarinya.
Dan hal itu membuat Dasa penasaran dengan alasan perempuan itu. Setelah bertahun-tahun melupakan anak nya, apa yang menjadi tujuan Windy kembali mengingat Mahesa dan membawanya kembali dalam hidupnya.
"Masa sih mama mau gue pulang? Bukan karena cuma mau memastikan apakah gue sudah mati atau belum 'kan?" tanya Dasa yang dihadiahi peluk erat dari sahabat yang telah dia anggap sebagai adiknya sendiri-- membuatnya semakin tak yakin.
"Lo kan yang bilang sendiri mama lo tuh orang baik." Cakra menyandarkan kepalanya pada lengan kurus Dasa.
"Gue harap juga gitu."
"Jadi sekarang lo mau gimana?"
Dasa mengedikkan bahu ringan. "Gue masih belum tahu." Hening sejenak, Cakra membiarkan Dasa larut dalan pikirannya. Sebelum cowok yang berada dalam pelukkan erat itu kembali bersuara rendah. "Waktu mau berangkat ke sini gue bilang sama Ibu kalau gue nggak akan ninggalin Ibu."
Rupanya Dasa tengah bimbang antara Ibu atau Mama. Janji yang telah buat atau rindu yang kadung menjerat.
"Menurut lo apa gue salah kalau milih sama Ibu?"
"Enggak. Tapi lo juga nggak salah kalau milih buat kembali sama mama lo." Cakra melepas dekap itu. "Semua keputusan yang lo ambil itu jadi tanggung jawab lo, karena elo yang memilih. Meski elo mengikuti apa kata orang, lo nggak bisa nyalahin orang itu karena pada kenyataannya elo yang memilih buat mengikuti kata orang itu, Dasa. Gue tahu lo tahu mana yang harusnya lo pilih."
KAMU SEDANG MEMBACA
Timeless
FanfictionMahesa yang terbuang. Mahesa yang merindukan kasih ibunya. Mahesa yang terlupakan. Untuk segala luka yang tertoreh. Untuk lelah yang tak kunjung usai. Untuk rindu yang tak pernah tersampaikan, dan untuk setiap sakit dari pupusnya harapan. Kisah ini...